Mengulik Tingginya Angka Pernikahan Anak dan Permohonan Dispensasi Menikah di Indonesia
JAKARTA – Indonesia menduduki peringkat keempat kasus kawin anak terbanyak di dunia. Setelah amendemen batas usia dalam Undang-Undang Perkawinan ditetapkan pada 2019, angka dispensasi perkawinan anak justru meningkat hingga 173% pada 2020.
Menurut data UNICEF pada 2023, sedikitnya 25,52 juta anak di Indonesia menikah usia dini. Kolaborasi organisasi perangkat daerah dengan organisasi masyarakat sipil setempat, TRACK Health menemukan rata-rata ratusan permohonan dispensasi kawin setiap tahunnya di Pengadilan Agama Garut, Jawa Barat dikabulkan sepanjang 2019-2022. Dispensasi kawin merupakan pemberian izin kawin oleh pengadilan kepada calon suami atau istri yang belum berusia 19 tahun untuk melangsungkan perkawinan.
“Permohonan dispensasi tidak ada yang ditolak,” kata Project Lead TRACK SDGs, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Fachrial Kautsar, baru-baru ini.
Penyebabnya, komitmen dan kerja sama lintas sektor antara Dinas Kesehatan dan Pengadilan Agama di Garut masih minim. Selain itu, prasyarat hasil pemeriksaan dan pendampingan dari layanan atau profesional hanya bersifat opsional.
Sementara di Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), Pengadilan Agama Taliwang memiliki nota kesepahaman dengan Dinas Kesehatan mengenai “Layanan Pemeriksaan Kesehatan Anak dalam Perkara Permohonan Dispensasi Kawin”. Melalui nota kesepahaman ini, Sumbawa Barat menekan perkara pengajuan kawin anak yang dikabulkan menjadi tiga perkara sepanjang 2023, angka terendah di Provinsi NTB.
Kapasitas aparat penegak hukum
Program Manager Yayasan Gemilang Sehat Indonesia (YGSI) Desrina menyebut penanganan isu perkawinan anak masih terkendala sejumlah faktor. Salah satunya, kurangnya kapasitas aparat penegak hukum dalam merespons pelaporan yang kini masih menjadi pekerjaan rumah terbesar dari implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
“Perlu penguatan kapasitas aparat penegak hukum melalui pendidikan dan pelatihan tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual sebagaimana diatur Pasal 81 UU TPKS,” ujar dia.
Peneliti Indonesia Judicial Research Society (IJRS) Marsha mengatakan perlunya petunjuk teknis dan pelatihan lanjutan terkait implementasi UU TPKS baik bagi kepolisian, kejaksaan, maupun Mahkamah Agung. Tujuannya, guna menghindari ketidakpastian penerapan hukum dan menjunjung penanganan serta pemulihan bagi korban.
“Selain itu, pelatihan kebijakan internal seputar pendekatan ramah perempuan, anak dan penyandang disabilitas dalam peradilan pidana masing-masing institusi perlu diberikan secara berkelanjutan,” ujar Marsha.
Menurut Marsha, penanganan permohonan dispensasi kawin masih banyak persoalan. Tak sedikit putusan hakim yang mengedepankan norma patriarkis dan belum sepenuhnya memperhatikan asas kepentingan terbaik bagi anak. Misalnya, temuan dari indeksasi putusan menunjukkan ada hakim yang memberikan dispensasi kawin kepada sepasang remaja berdasarkan alasan untuk menghindari zina karena mereka telah menjalin hubungan pacaran. Padahal, keduanya di bawah umur dan masih sekolah.
Pada kasus yang cukup ekstrem, korban kasus kekerasan berbasis gender justru mendapatkan tekanan untuk dinikahkan dengan pelaku.
“Ironisnya, tekanan kerap datang dari keluarga korban maupun pelaku yang memutuskan sepihak untuk menghindari aib,” katanya. []
Sumber Alinea