Menjadi Hamba Allah dan Menjadi Penyembah Allah itu Berbeda
JAKARTA – Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat 51: Ayat 56)
Ketika mendengar ini di setiap majelis yang membahas tazkiyatun nafs, yang terbayang di benak kita ialah tujuan penciptaan manusia hanyalah beribadah pada Allah saja.
Apa yang kita lakukan selama di dunia, adalah tabungan untuk kita laporkan kelak di Yaumil Hisab. Sebagian lainnya adalah sarana untuk hidup, bertahan sampai Allah memanggil, dan dengan bertahan itulah kita menjadi hamba yang bersyukur kepada Allah Ta’ala.
Jasad adalah amanah, makanya kalau diberi kesehatan, patut kita bersyukur. Lisan mengucap ‘Alhamdulillah’, raga menjaganya agar tidak terserang berbagai penyakit. Dengan begitu kita bisa beribadah pada Allah Ta’ala sepanjang waktu, dengan berbagai perbuatan yang biasa dilakukan manusia. Itu semua ada nilainya di mata Allah.
Begitulah sederhananya jika dikatakan bahwa hidup ini untuk ibadah. Dengan pemahaman yang sempit orang bisa saja :
*) Benar, bahwa shalat itu ibadah utama, dihisabnya pun pertama kali, sebelum ibadah yang lain.
Salah, jika persepsinya ‘ibadah = shalat’. Dalam *) Islam, ibadah bukan hanya itu saja. Masih ada dimensi lain yang seluruhnya terikat dengan Allah.
Misalnya mencari nafkah. Hukumnya wajib, termasuk ibadah, meski tidak melakukan gerakan dan lafazh tertentu. Tapi karena tujuannya untuk memenuhi hak keluarga, Allah berikan ganjaran untuk itu.
Demikian juga dengan berempati pada sesama manusia. Setiap orang bisa empati. Tapi jika diniatkan untuk meringankan beban sesama, menghibur sesama, mengajak orang mengingat Allah, dan mendekatkan diri kepada-Nya, nilai dari sebuah empati itu sangat berharga di sisi Allah.
Persepsi yang Harus Diperbaiki
Logika bahwa ibadah hanya shalat, sebetulnya dapat menimbulkan kerancuan yang berbahaya. Seringkali luput dari kita, bahwa kita adalah hamba Allah, bukan penyembah Allah. Memang apa bedanya?
Hamba Allah, hakikatnya kita harus siap dituntut untuk mengikuti perintah Allah, tanpa tapi, tanpa nanti. Bayangkanlah seorang budak yang diperintah tuannya untuk melakukan sesuatu, pasti takkan membantah, karena cambuk siap melukai tubuhnya. Ia punya pilihan, antara patuh atau membantah. Tapi ia memilih taat, karena konsekuensi membantah adalah cambuk.
Inilah analogi antara Allah dengan hamba-Nya. Bedanya, jika tuan dari kalangan manusia hanya memerintah beberapa aspek tertentu, Allah memerintahkan kita untuk patuh di setiap aspek. Kalau tuan dari kalangan manusia memerintah untuk kepuasan pribadinya, Allah memerintahkan segalanya untuk kebaikan manusia itu sendiri. Allah tidak butuh ketaatan kita. Tapi kita butuh taat kepada Allah, sebab kita tahu hikmah dari ketaatan pada Allah itu dahsyat tidak terbayang akal manusia.
Sedangkan penyembah Allah, berarti hanya mendatangi Allah pada waktunya saja. Waktu shalat ia shalat. Tapi muamalah dan hubungan sosialnya berantakan. Kehidupan beragama dipisahkan dari kehidupan keseharian. Agama hanya sebatas shalat 5 waktu dan puasa Ramadhan, sisanya terserah sendiri saja. Ini adalah penyembah Allah.
Terkait perbedaan antara penyembah Allah dan hamba Allah, Mohammed Faris dalam bukunya Muslim Produktif mengatakan sebagai berikut:
*) Seorang penyembah memiliki pilihan tentang kapan dia akan menyembah dan kapan tidak menyembah, tapi seorang hamba tidak memiliki pilihan sama sekali, dia selalu menjadi hamba.
*) Seorang penyembah memiliki waktu-waktu tertentu ketika dia dipanggil untuk menyembah, tetapi seorang hamba dapat dipanggil untuk melayani/ bekerja/ menyembah kapanpun.
*) Seorang penyembah melakukan tindakan-tindakan khusus (berdoa, bersedekah, berpuasa), seorang hamba melakukan itu semua ditambah apapun yang diminta dari Tuannya.
*) Penghambaan bersifat permanen. Di sisi lain, penghambaan tidak bersifat permanen.
Seorang muslim berada di antara kedua kondisi ini, apakah ia hamba Allah atau penyembah Allah. Sedangkan mukmin dan muttaqin, sudah pasti mereka hamba Allah. Inilah perbedaan kondisinya.
Pilihan berada di tangan kita, apakah hendak menjadi hamba Allah atau penyembah Allah?
Tahapan Menjadi Hamba Allah Sejati
Untuk menjadi hamba Allah yang sejati, kita perlu melakukan beberapa langkah berikut. Semuanya dilakukan dengan dasar cinta pada Allah, bukan semata-mata ingin menjadi mukmin atau muttaqin saja.
Niat
Segala sesuatu dimulai dengan niat. Coba kita niatkan hidup ini untuk mengabdi pada Allah lewat segala aspek kehidupan.
Belajar
Hamba Allah selalu terikat perkara hukum yang 5, yakni wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Maka pelajari, mana yang wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Sebab, kita tidak akan bisa merasa terhubung dengan Allah kalau 5 hukum ini tidak diperhatikan.
Kemudian, hubungan manusia dalam memanfaatkan benda dan juga harus diperhatikan, mana halal, mana haram. Sekali kita mengenakan dan makan yang haram, ibadah kita tidak akan dilirik oleh Allah Ta’ala.
Mulai Menjadwalkan Agenda Harian
Sistematika kegiatan bisa membuat kita semakin fokus ibadah pada Allah. Mengapa? Karena waktu yang terbuang dan tidak efektif akan mudah diidentifikasi untuk kemudian diisi dengan aktivitas yang membuat kita terhubung dengan Allah.
Minta kepada Allah agar Istiqamah
Istiqamah adalah anugerah yang Allah berikan. Meski begitu, kita bisa memohon pada-Nya untuk diberikan keistiqamahan dalam beribadah kepada-Nya. Maka mintalah, supaya dinaikkan derajat kita menjadi manusia yang istiqamah berhubungan dengan Allah.
Jadi, apakah kamu sudah siap menjadi hamba sejati? []