Menjadi PMI, Selama 7 Bulan, Ribuan Wanita Blitar Menjadi Janda
BLITAR – Dalam waktu 7 bulan (Januari-Juli 2018), Pengadilan Agama (PA) Blitar telah menangani sebanyak 1.841 kasus perceraian. Inisiatif mengakhiri rumah tangga justru lebih banyak datang dari pihak wanita. “Sebagian besar perkara yang masuk adalah cerai gugat (CG) atau pihak istri yang menggugat suami, “ujar Humas Pengadilan Agama Blitar Muhammad Fadli kepada wartawan.
Data PA menyebutkan, dari 1.841 perkara yang ditangani sebanyak 1.129 di antaranya berstatus cerai gugat. Sedangkan 712 sisanya adalah cerai talak (CT) atau pihak suami yang menginginkan perpisahan. Apa penyebabnya?. Menurut Fadli beragam. Salah satunya perselingkuhan. Hadirnya pihak ketiga dalam rumah tangga menjadi faktor kuat perceraian.
Kehadiran pria idaman lain (PIL) mau pun wanita idaman lain (WIL) memicu ketidakcocokan berumah tangga. “Namun ada juga yang beralasan memang sudah tidak cocok sedari awal, ” paparnya. Motif cerai lainnya adalah persoalan ekonomi. Pendapatan tidak cukup memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Tidak tahan menghadapi situasi sulit itu, istri memutuskan menggugat cerai suami. Banyaknya suami atau istri yang menjadi pekerja migran Indonesia (PMI), kata Fadli juga menjadi faktor penyebab perceraian. Bahkan pekerja migran terkait erat dengan dua motif cerai yang lain (ekonomi dan selingkuh). “Bahkan tidak sedikit munculnya kasus serong justru disaat suami atau istri menjadi buruh migran, “paparnya.
Ribuan perkara cerai ini banyak yang sudah diputuskan. Sepulang dari PA bukan lagi berstatus sebagai pasangan suami istri. Namun tidak sedikit perkara yang masih proses mediasi, dimana petugas PA berharap rumah tangga utuh kembali. “Adapula yang awalnya bertekad bercerai, namun setelah dimediasi dan pertimbangan buah hati, akhirnya rujuk,” ungkap Fadli.
Menanggapi fenomena ini, Arifin warga Kecamatan Wonodadi berharap pemerintah tidak tinggal diam. Bahkan menurut dia harus segera mengambil langkah persuasif. Sebab tingginya angka perceraian di sebuah daerah, yakni terutama bermotif ekonomi, adalah cermin kegagalan pemerintah setempat. “Sebab kalau ada pekerjaan layak di daerah, tentu warga tidak perlu berbondong menjadi buruh migran, “ujarnya. [Solichan/Sindo]