December 23, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Menoleh Sejarah Hari Buruh di Indonesia

4 min read

Bermula dari insiden berdarah Haymarket Affair di Chicago, Amerika Serikat pada 1 Mei 1886, Indonesia juga ikut memperingati tanggal tersebut sebagai hari buruh.

Konon, hari buruh pertama di Asia diperingati pada 1 Mei 1918 di Hindia Belanda. Serikat Buruh Kung Tang Hwee Koan menggelar perayaan.

Sneevliet dan Baars dari Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda (ISDV) juga hadir. Tapi penduduk asli belum tertarik dengan isu ini.

Baru pada peringatan hari buruh tahun 1921, HOS Tjokroaminoto ditemani muridnya, Sukarno, berpidato. Ia mewakili serikat buruh di bawah pengaruh Sarekat Islam.

Pada 1923, Semaun, Ketua Umum Pertama Partai Komunis Indonesia (PKI), berpidato. Ia menyerukan pemogokan buruh.

Menjelang perlawanan PKI pada 1926–yang akhirnya gagal–hari buruh ditiadakan. Tekanan terhadap serikat buruh pun terjadi di mana-mana. Hari buruh tak lagi bisa dirayakan.

Baru setelah Indonesia merdeka, 1 Mei 1946, perayaan itu kembali diperbolehkan, bahkan dianjurkan oleh kabinet Syahrir. Begitu menurut peneliti dari Pusat Studi Asia Tenggara (CSEAS) Univesitas Kyoto, Jafar Suryomenggolo.

Pada 20 April 1948, pemerintah menetapkan UU No 12/1948 tentang Kerja. Isinya menetapkan pada 1 Mei buruh dibebaskan dari kewajiban bekerja. Selain itu juga sejumlah larangan yang melindungi anak dan pekerja perempuan, termasuk soal waktu menyusui, cuti melahirkan, dan cuti haid.

Kemeriahan pun mewarnai peringatan hari buruh 1 Mei 1948. Ada sekitar 200 sampai 300 ribu orang berkumpul di alun-alun Yogyakarta.

Euforia itu kemudian berkembang menjadi aksi demonstrasi. Pada 19 Mei 1948 ribuan buruh dan petani mogok. Mereka menuntut pembayaran upah yang tertunda setahun lamanya.

Layaknya api menyambar, satu aksi menyulut aksi lain. Baru setelah Perdana Menteri Mohammad Hatta mengadakan pertemuan dengan pimpinan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) pada 14 Juli 1948, pemogokan berhenti.

Tuntutan buruh tak berhenti di situ. Pada periode 1950-an berbagai serikat buruh konsisten melakukan aksi mogok. Kala itu mereka memperjuangkan Tunjangan Hari Raya (THR).

Pemerintah mengeluarkan Peraturan Kekuasaan Militer Pusat No 1/1951. “Aturan larangan pemogokan ini menjadi rangka awal keterlibatan militer dalam urusan perburuhan –dan menjadi pola umum dalam menundukkan kaum buruh, yang berlanjut hingga di masa Orde Baru,” ungkap Jafar.

Pada September 1951, pemerintah mengeluarkan UU Darurat No. 16/1951 untuk menggantikan peraturan sebelumnya. UU Darurat kemudian diganti menjadi UU No. 22/1957.

Di antara kurun waktu penggantian tersebut, tepatnya tahun 1954, perjuangan buruh memperlihatkan hasil. Keluar Peraturan tentang Persekot Hari Raya, Surat Edaran No. 3676/1954 tentang Hadiah Lebaran, dan puncaknya Permen No. 1/1961 yang menetapkan THR sebagai hak buruh.

“THR menjadi satu contoh bagaimana hasil perjuangan serikat buruh pada akhirnya dapat dirasakan oleh masyarakat luas, dan malah kemudian menjadi kebiasaan umum,” terang Jafar.

Isu tentang buruh perempuan juga mendapat perhatian besar pada periode ini. Hal ini terlihat lewat Panitia Sosial Buruh Perempuan yang dibentuk Menteri Perburuhan, Iskandar Tedjasukmana pada 1951.

Juga pengakuan pemerintah terhadap Konvensi ILO No. 100 tahun 1951 yang mengatur kesetaraan upah buruh laki dan perempuan pada 1957.

Istilah karyawan–karya (kerja) dan wan (orang)–mulai diperkenalkan lewat Operasi Karya pada 1960.

“Operasi Karya mengizinkan penggunaan ABRI dalam proyek-proyek pembangunan pemerintah di bidang produksi dan distribusi dalam semua tingkatan hingga rehabilitasi dan pembangunan pedesaan,” tulis David Reeves dalam Golkar: Sejarah yang Hilang.

Istilah karyawan mulai populer pada zaman orde baru. Pemerintah menggunakannya sebagai pengganti kata buruh yang dinilai politis karena lekat dengan gerakan kiri.

Sedikit cerah, kemuraman kembali menyelimuti dunia buruh dengan dimulainya era orde baru. Pada 1 Mei 1966, menteri tenaga kerja pertama era Orde Baru, Awaloedin Djamin, sempat menetapkan peringatan hari buruh.

“Tahun berikutnya langsung saya hapuskan,” tulis Awaloedin dalam Awaloedin Djamin, Pengalaman Seorang Perwira Polri. Ya, sejak itu sepanjang era orde baru, peringatan hari buruh dilarang.

Pemerintah bertindak represif pada buruh yang melakukan aksi mogok kerja. Pegiat hak buruh ditangkap, bahkan dibunuh. Marsinah, buruh PT Catur Putera Surya di Sidoarjo, Jawa Timur, adalah salah satu korban yang tewas pada Mei 1993.

Buruh tak gentar. Pada 1 Mei 1995, Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) menggelar aksi di Jakarta dan Semarang.

Lima orang ditangkap di Jakarta, 16 orang ditangkap di Semarang. “Waktu itu aparat sangat represif,” tutur Lukman Hakim, ketua departemen pengembangan organisasi PPBI Pusat yang ditangkap dalam aksi tersebut.

Aksi represif itu justru membuat buruh makin berani. Setiap 1 Mei, mereka rutin beraksi di penjuru Indonesia.

Era orde baru usai dengan lengsernya Suharto pada 1998. Buruh semakin leluasa bersuara.

BJ Habibie, presiden pertama era reformasi meratifikasi konvensi ILO No. 81 tentang kebebasan berserikat buruh. Ini diikuti keluarnya Undang-undang No. 21 Tahun 2000.

Gerakan serikat pekerja atau serikat buruh pun bermunculan. Ribuan buruh kembali beraksi pada 1 Mei 2000. Bukan hanya dari pagi sampai matahari terbenam, mereka beraksi tujuh hari lamanya.

Sejak itu, peringatan hari buruh 1 Mei selalu ditandai aksi demo buruh. Umumnya mereka berasal dari Jabodetabek, aksinya di Jakarta.

Bentrokan antara buruh dan aparat keamanan, bahkan buruh dengan buruh sering terjadi.

Akhirnya pada 1 Mei 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan, mulai tanggal 1 Mei 2014, hari buruh resmi jadi hari libur nasional. Kala itu, kata SBY delapan dari 10 negara ASEAN sudah menetapkan hari buruh sebagai hari libur.

Tradisi demonstrasi saban 1 Mei masih terawat hingga kini. Sementara Amerika Serikat yang jadi ‘inspirasi’ tanah air justru memilih hari Senin pertama September sebagai hari buruh nasional. []

Advertisement
Advertisement