Menyoal Fenomena “Jilbooobs”
ApakabarOnline.com – Keberpihakan, bagi saya, adalah perkara bagaimana hati nurani dan akal sehat bersetia. Anda boleh pintar setinggi langit, cerdas luar biasa, tapi jika anda berdusta dan berkhianat pada hati nurani maka segala ilmu yang anda miliki boleh jadi tak lebih baik dari seonggok tinja di kakus. Tapi toh tinja punya manfaat, tapi tidak hati yang dengki.
Saya menolak jilboobs, menolak lema itu dan menolak praktiknya. Menutup aurat bukan cuma perkara menutup bagian tubuh, tapi juga menyembunyikan lekuk tubuh. Tapi ada yang salah ketika perempuan-perempuan yang sedang belajar untuk menutup auratnya dilecehkan. Perempuan ini dihinakan dengan kata-kata cabul, diambil fotonya tanpa izin lantas diperlakukan seolah mereka bukan manusia yang memiliki kedaulatan.
Saya percaya bahwa dalam perkara keimanan, posisi perempuan dan lelaki setara. Tidak ada yang membuat lelaki lebih istimewa daripada perempuan, dan tidak ada yang membuat satu dan lainnya dominan dalam perkara keimanan. Namun tugas dan kewajiban punya perannya sendiri, ini bagi saya, hanya perihal kesepakatan diri dan kedewasaan bersikap. Apakah dengan mengabdi pada suami membuat perempuan lebih rendah derajatnya? Atau karena lelaki menjadi kepala keluarga membuat ia jadi lebih mulia di mata Allah? Saya kira tidak.
Masing masing dari kita dinilai dari keimanan dan kebaikannya terhadap sesama manusia.
Agak mengganggu ketika belakangan saya melihat fenomena komikal yang merendahkan posisi perempuan. Perihal jilboobs, pemakai jilbab yang menunjukan kemolekan dadanya. Ada yang luput dipahami khalayak dari fenomena komikal ini. Posisi perempuan yang direndahkan karena ia memakai penutup (hijab) namun masih menunjukan keindahan tubuhnya. Di sini, lelaki, menempatkan perempuan perempuan tadi sebagai objek lelucon yang merendahkan.
Para lelaki (yang muslim) tersebut tentu saja tidak memahami bahwa perintah perempuan untuk menutup aurat dengan hijab, sepaket dengan perintah lelaki untuk menundukan pandangan. Bahwa perintah perintah perempuan untuk menjaga diri dengan penutup, jauh lebih sedikit daripada riwayat lelaki yang diperintahkan menahan diri. Jika para lelaki yang merendahkan tadi punya otak untuk berpikir, maka ia akan sadar bahwa dalam islam lelakilah yang semestinya menghormati dan menjaga, ketimbang perempuan menutup dan mencegah.
Jilboobs adalah kengerian fasisme dari lelaki yang gagal memahami keberadaan perempuan. Mereka berpikir bahwa perempuan boleh direndahkan, dihina dan dilecehkan karena bagian tubuhnya menonjol. Bahwa perempuan-perempuan ini dapat diinjak harkat dan haknya karena ia sedang belajar menutup tubuhnya, namun tidak sempurna karena ia sedang berproses perihal iman yang sebaik baiknya. Bukan tidak mungkin pelecehan dan penghinaan tadi malah meredupkan semangat perempuan tadi untuk konsisten beragama.
Beberapa lelaki yang kurang waras memang mudah merespon kegenitan dengan pelecehan alih alih menahan diri dan bersikap santun.
Dalam buku The Idea of Women in Fundamentalist Islam susunan Lamia Rustum Shehadeh, doktor lulusan Harvard dan dosen universitas Beirut, menelaah perihal relasi tafsir teks ayat kitab suci dan praktik patriarkhis. Ia menembak banyak nama besar seperti Imam Khomeini, Sayid Qutb dan Maududi yang dianggapnya standar ganda. Perempuan kerap dianggap sebagai angkatan kerja murah, tenaga domestik gratis dan pasukan tambahan yang berani mati. Namun kritik tersebut lebih menyoroti hak-hak politik dan bernegara ketimbang hak hak lahiriah perempuan.
Namun di sisi lain Syaikh Muhammad Abduh menulis: “Kalaulah kewajiban perempuan mempelajari hukum-hukum agama kelihatannya amat terbatas, maka sesungguhnya kewajiban mereka untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga, pendidikan anak, dan sebagainya yang merupakan persoalan-persoalan duniawi (dan yang berbeda sesuai dengan perbedaan waktu, tempat dan kondisi) jauh lebih banyak daripada soal-soal keagamaan.”
Dalam fenomena Jilboobs, saya kira banyak lelaki (juga media) tidak adil menempatkan posisi perempuan. Alih alih melindungi atau merangkul, banyak dari kita yang mengecam dan melaknat. Padahal mereka, mungkin dalam hal ini, tidak berniat melakukan hal tersebut. Di sosial media banyak lelaki yang menyebarkan foto foto seronok tersebut, seolah hal ini adalah kewajaran dan lelucon belaka padahal ada hal serius di sini, perihal penerobosan privasi dan kedaulatan diri.
Orang orang tersebut menyebarkan foto-foto tersebut tanpa ijin, menyertakan caption yang tidak senonoh lantas bercanda bahwa hal ini adalah sesuatu yang wajar. Saya paham bahwa di Internet, ketika sebuah foto beredar, ia tak akan pernah hilang. Namun jika konteks menjaga pandangan dan menjaga diri diposisikan kepada tiap laki laki, maka sepatutnya mereka tidak menyebar, merendahkan atau bahkan menghinakan keberadaan para perempuan itu.
Muhammad Al-Ghazali, salah seorang ulama besar Islam kontemporer berkebangsaan Mesir, menulis: “Kalau kita mengembalikan pandangan ke masa sebelum seribu tahun, maka kita akan menemukan perempuan menikmati keistimewaan dalam bidang materi dan sosial yang tidak dikenal oleh perempuan-perempuan di kelima benua. Keadaan mereka ketika itu lebih baik dibandingkan dengan keadaan perempuan-perempuan Barat dewasa ini, asal saja kebebasan dalam berpakaian serta pergaulan tidak dijadikan bahan perbandingan.”
Murtadha Mutahhari dalam kitab klasiknya Hak Hak Perempuan Dalam Islam, menuliskan perihal sikap terbaik manusia terhadap sesamanya. Menurutnya Islam menentang konservatisme yang beku maupun kenaifan yang jahil. Bahaya yang mengancam Islam datang dari kedua kelompok tersebut. Orang orang yang terobsesi dengan kemurnian berusaha menegakan aturan dengan kekerasan, sementara orang orang yang naif dengan kemajuan menolak hukum Allah dengan dalih perkembangan zaman.
Lebih lanjut Murtada Mutahhari mengutip fragmen Al Baqarah ayat 187. “Hunna libaasun laum wa antum libaasun lahunna”, mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Menurutnya Islam menempatkan perempuan sebagai rekan setara yang kehormatannya mesti dijaga. Karena masing masing dari lelaki dan perempuan merupakan pakaian bagi yang lainnya. Ide semacam ini mungkin akan susah dipahami apabila salah satunya mengalami superior sindrom.
Amal Kassir, seorang penyair keturunan Amerika dan Syiria, menulis sajak indah berjudul This is for The Ladies. Ia bicara tentang bagaimana perempuan selalu menjadi objek tertindas oleh kebudayaan yang berpihak kepada laki laki. Ia berusaha mempertahankan kehormatannya dengan memakai hijab, yang ia sebut sebagai, “I have the freedom to succumb to your fashion magazines,” Kassir dengan cerdas bisa menjadi jawaban bagi perempuan-perempuan pemakai Jilboobs untuk menundukan pandangan lelaki-lelaki yang cabul itu.
“Here’s to you,
You can go ahead and call me a girl who’s oppressed
But I assure you
The weight of that institutionalized word
Will not make me expose my chest
I am already perfect
And I will cover so you can’t see
I am damn happy living with my
Dignity”
Tentunya bagi pecundang misoginis yang besar dalam paradigma patriarkis dungu, menyalahkan perempuan karena memakai penutup yang tak sesuai kaidah agama lebih mudah, ketimbang menundukan pandangan dan menegur baik baik. Ini perkara mental,kita tak bisa memaksa semua orang untuk menggunakan otak mereka. Terkadang mereka lebih suka memandang, menikmati dan merendahkan keberadaan perempuan. Ketimbang belajar menjaga diri dan selangkangan, lagi pula kalaupun terjadi pelecehan seksual, salah si perempuan. Siapa suruh pakai pakaian seksi? []
Penulis : Arman Dhani Bustomi adalah penulis dan jurnalis. Saat ini bekerja di tirtoi.id