Meski Lebaran, Aku Tak Berani Pulang
4 min readJika aku punya banyak uang, ibuku selalu tersenyum mengembang, namun jika aku tak bisa memberi uang, muka masam selalu yang beliau berikan. Segala sesuatunya selalu dinilai dengan uang. Hubunganku dengan seseorang harus kandas di tengah jalan. Bahkan aku menjadi tidak berani pulang lantaran semua yang telah ibu lakukan padaku sejak aku dalam buaian sampai aku berangkat bekerja ke Hong Kong selalu dimintai ganti uang. Sering aku bertanya dalam hati, apakah sebenarnya aku ini anak yang tidak diinginkan.
Masyarakat luas mengenali ibuku sebagai seorang perempuan yang gemar “meng-anakkan” uang dengan cara illegal alias rentenir. Sedangkan bapaku berprofesi sebagai petani biasa. Sudah barang tentu penghasilan ibuku jauh melebihi keringat hasil jerih payah bapak. Hal yang demikian rupanya membuat ibuku menjadi dominan dalam segala-galanya di rumah tangga. Bapak yang merasa tidak bisa memenuhi kebutuhan finansial dari yang ibu inginkan meskipun sebenarnya penghasilan bapak sudah cukup untuk hidup layak kami sekeluarga, menjadi merasa inferior. Ibu selalu menuntut sesuatu yang lebih dari cukup. Apa yang sudah ada tidak pernah sekalipun disyukuri. Selalu kurang dan kurang.
Jiwa ibu seolah tanpa sedikitpun ada rasa kasih sayang. Dari aku mulai berakal hingga aku hampir sepuluh tahun bekerja di negeri beton, tak pernah sekalipun ibu bertanya keadaan dan kabar. Setiap aku nelfon ke rumah, setiapaku berkomunikasi dengan ibu, selalu uang dan uang. Selalu keperluan dan keperluan. Begitulah ungkapan lain cara ibu menginginkan uang hasil kerjaku.
Seolah manusia yang kehilangan karakter dirinya, entah kenapa aku selalu bertekuk lutut dibawah ancaman dan sifat ibu yang menurut aku menakutkan. Aku tidak berani menolak setiap yang ibu inginkan. Hal ini seringkali menjadikan aku harus merelakan banyak hal untuk kembali menjadi angan angan saat sebenarnya sudah hampir meraihnya.
Aku ingin seperti teman-teman BMI yang lainnya. Punya tabungan pribadi, punya investasi di kampung halaman, hingga punya suami dan rumah tangga yang memiliki kemerdekaan dalam mengelolanya. Namun sepertinya keinginan itu terlalu sulit aku wujudkan tanpa aku harus mengambil langkah bersebrangan dengan pilihan ibu.
Mempertimbangkan usiayang kian beranjak tua, mempertimbangkan keinginan untuk memiliki masa depan sendiri serta menjadi diri sendiri, aku nekat mengambil keputusan untuk mengelola hidupku sendiri tanpa campur tangan ibuku. Langkah pertama yang aku lakukan adalah mengurangi intensitas komunikasi dengan ibu. Selanjutnya pelan – pelan aku menyimpan seluruh hasil kerjaku dalam rekening pribadiku.
Sedangkan untuk urusan rencana membangun rumah tangga, aku mulai membuka diri terhadap laki-laki yang menurutku layak untuk menjadi imamku. Aku tidak mempermasalahkan darimana dia, kenal lewat apa atau dari siapa. Yang paling penting bagiku adalah seiman, memiliki wawasan dan bertanggung jawab sebagai imam.
Pilihan itu jatuh pada seorang laki-laki tetangga propinsi. Aku mengenal sosok laki-laki ini dari temanku sesama BMI yang sedaerah dengan dia. Sebut saja namanya Agus. Baik temanku maupun aku sama-sama belum pernah ketemu dengan Agus secara dzahir. Temanku mengenal Agus melalui jejaring sosial. Namun biarpun demikian prosesnya, perkenalanku dengan Agus berlanjut pada sebuah komitmen untuk hidup bersama. Dari komunikasi yang terbangun, aku merasa bahwa Agus orangnya smart, perhatian dan bertanggung jawab.
Setahun hubungan kami berjalan, komitmen berumah tangga semakin kuat. Obrolan kami sudah mulai serius mengarah pada membangun pondasi rumah tangga. Baik pondasi ekonomi, maupun pondasi lainnya. Suatu hari Agus menawari aku sebidang tanah yang dijual dengan harga miring lantaran si penjual sedang kepepet uang. Agus mengaku ingin membeli tanah itu sebab letaknya strategis. Dia tidak memiliki cukup uang untuk membayarnya sedangkan sipenjual meminta jika membeli harus dibayar lunas. Kemudian aku menerima tawaran Agus untuk ikut membayari tanah tersebut yang kata Agus harganya 120 juta rupiah sedangkan dia hanya memiliki uang sebanyak 70 juta rupiah dengan mentrasfer kekurangannya sebesar 50 juta rupiah.
Uang terkirim, kwitansi transaksi jual belipun dia kirim copy scannya. Tidak lupa juga foto-foto lahan tersebut dari berbagai sisi. Aku percaya sepenuhnya. Bahkan aku merasa ikut lega lantaran aku sudah ikut andil membangun masa depan kami berdua. Sebulan kemudian, Agus memintaiku lagi uang untuk biaya mengurus sertifikat. Agus bilang seluruhnya butuh 10 juta rupiah termasuk biaya pengacara. Tanpa tawar menawar, aku langsung memenuhinya.
Namun belakangan setelah uang dan beberapa kiriman barang sudah banyak tersalurkan kepada Agus, komunikasiku dengan Agus mulai bermasalah. Agus sulit dihubungi. Setiap kali bisa berkomunikasi, ada saja alasan untuk membuat keributan. Setelah hubungan kami berlangsung selama satu setengah tahun, tanpa sengaja hal mencengangkan sekaligus menyakitkan harus aku telan. Dibelakang hari aku baru mengetahui ternyata Agus bukanlah seperti yang aku kenal. Agus ternyata telah memiliki seorang istri dan seorang anak. Dan saat kedok tersebut terbongkar, melalui bantuan teman yang sedaerah dengan Agus, aku meminta tolong untuk difasilitasi berkomunikasi dengan Agus. Aku hanya ingin Agus mengembalikan dolar yang telah aku kirim. Namun beberapa kali temanku mencari, tak pernah berhasil menemukan hingga saat ini.
Dalam keadaan terpuruk seperti ini, konflik batin dalam diriku terasa kian menjadi-jadi. Perasaan bersalah telah memilih jalan bersebrangan dengan ibu disatu sisi membuat aku merasa telah kuwalat. Namun akal sehatku yang meruntut kembali perlakuan ibuku terhadap aku sejak kecil hingga sekarang, membuat aku memotivasi diriku bahwa kejadian ini sepenuhnya adalah musibah. Ujian dari Allah SWT. Entah apakah ini ujian atau apakah aku kuwalat dengan ibuku, wallahu’allam bishawaf. [seperti dituturkan MT kepada Asa dari apakabar]