Meskipun Sering Bermasalah, Metode Pembayaran COD di Indonesia Sulit Dihapus, Begini Alasannya
JAKARTA – Beberapa waktu lalu, ramai beredar video seorang pria memaki kurir yang sedang mengantarkan paket untuk layanan Cash on Delivery (COD). Mulanya, pria yang mengenakan kaos putih itu memaksa untuk membuka paket yang ia pesan dengan metode COD. Padahal, Standard Operation Procedure (SOP) mengharuskan pembeli membayar terlebih dahulu pesanannya sebelum membuka paket.
Alih-alih membayar paket, pria itu marah dan merendahkan kurir yang mengantar pesanannya. Sambil diolok-olok, akhirnya kurir tersebut membiarkan pria itu membuka isi paket.
Peristiwa ini bukan merupakan peristiwa yang baru. Sebelumnya, sudah marak peristiwa kurir dimaki oleh pembeli. Bahkan, terdapat kurir yang disemprot dengan cairan cabai dan diancam dengan pistol atau samurai.
Tentunya, kejadian ini menuai banyak kecaman dari publik, terutama warganet. Ada yang menyarankan untuk memproteksi kurir dengan lebih maksimal, meminta tanggung jawab pihak eCommerce, hingga permintaan yang paling ramai, yaitu menghapus metode COD.
Sayangnya, menghapus COD akan sangat sulit dilakukan. Berdasarkan laporan Statistik eCommerce 2020 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), COD merupakan metode pembayaran paling sering digunakan, yaitu sebesar 73,04 persen.
Data serupa juga pernah dikeluarkan oleh Bank Dunia dalam laporannya yang bertajuk “Beyond Unicorns: Harnessing Digital Technologies for Inclusion in Indonesia 2021.” Hasilnya, 58 persen yang bertransaksi secara daring akan tetap memilih pembayaran dengan COD.
Lebih lanjut, Bank Dunia mencatat bahwa hal tersebut terjadi karena financial exclusion di Indonesia. Financial exclusion merupakan kondisi ketika individu dan populasi tidak memiliki akses ke layanan keuangan.
Bank Dunia mencatat, hanya 52 persen rumah tangga yang memiliki akses ke rekening bank. Dari 52 persen tersebut, hanya 43 persen yang memiliki rekening bank dan sebesar 9 persen yang menggunakan layanan keuangan digital.
Pengguna metode pembayaran COD
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Jakpat untuk semester I 2021, pengguna COD didominasi oleh kalangan menengah ke bawah dan lebih populer di luar Pulau Jawa.
Hasil survei tersebut sinkron dengan data yang dikeluarkan oleh BPS. Menurut data BPS, Gorontalo menjadi provinsi yang paling sering menggunakan metode pembayaran COD, yaitu sebesar 93,48 persen. Kemudian, diikuti oleh Kalimantan Utara (90,48 persen), Bengkulu (89,78 persen), Kepulauan Bangka Belitung (89,05 persen), dan Papua Barat (88,97 persen).
Adapun alasan utama pembeli menggunakan COD karena mereka bisa memastikan menerima barang sebelum membayar. Alasan tersebut tercatat dalam survei Jakpat dengan angka 73 persen. Alasan selanjutnya adalah pembeli merasa COD merupakan metode pembayaran yang simpel (60 persen) dan malas pergi ke ATM (30 persen).
Sisi baiknya, lebih dari setengah responden yang disurvei Jakpat tahu bahwa tugas kurir hanya untuk mengirimkan barang.
Upaya mencegah masalah terkait COD dari berbagai pihak
Pada Rabu (15/9/2021), Komisi VI DPR RI melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan beberapa perusahaan eCommerce mulai dari Tokopedia, Shopee, dan Bukalapak serta perusahaan ride hailing, yaitu Gojek. Rapat tersebut membahas peningkatan perdagangan dalam negeri pada sektor eCommerce sampai program-program yang dapat dilakukan untuk mendorong UMKM naik kelas dan Go Digital.
Dalam kesempatan tersebut, pihak Shopee Indonesia sempat membahas mengenai metode pembayaran COD. Menurut Direktur Eksekutif Shopee Indonesia Christin Djuarto, sistem COD tidak bisa dihapus karena metode ini dapat memfasilitasi pengguna yang belum terakses layanan perbankan. Ia juga menambahkan bahwa banyak pembeli yang kurang memahami prosedur COD.
“Kan kemarin banyak pembeli yang kurang mengerti. Jadinya, mereka menyasar kurirnya ini kalau misalnya produknya tidak sesuai dengan yang mereka mau,” kata Christin.
Oleh karena itu, pihaknya melakukan banyak edukasi di aplikasi dan sosial media serta membuat iklan di televisi mengenai prosedur COD.
Sebelumnya, salah satu perusahaan ekspedisi, SiCepat, melaporkan kasus pengancaman terhadap kurirnya di Ciputat, Tangerang Selatan, ke Polsek Ciputat Timur.
“Saat itu pelaku tidak merespons dengan baik, justru mengambil yang diduga samurai dalam rumah dan mengancam kurir kami. Oleh karena itu kami merasa keberatan terhadap kejadian tersebut,” ucap Pengacara SiCepat Wardaniman Larosa, dikutip dari Detik.com.
Tak hanya itu, Wardaniman juga berharap kepolisian mengusut penjual terkait karena menurutnya, sumber permasalahan ini berasal dari penjual yang tidak memberikan barang sesuai dengan pesanan pembeli.
Langkah yang diambil SiCepat untuk melindungi kurirnya mendapat apresiasi dari berbagai pihak. Banyak perusahaan ekspedisi lain juga diminta meniru langkah ini karena kurir rentan mendapat ancaman atau tindakan merugikan lain ketika mengantarkan pesanan.
“Tugas kurir hanya menjemput dan mengantarkan kiriman dari pengirim ke alamat penerima yang dituju. Dalam bahasa sederhananya, ada uang ada barang. Jadi kalau memang ada hal yang tidak sesuai, harusnya ini dikomunikasikan kembali dengan si penjual karena itu menjadi tanggung jawabnya penjual,” kata Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres, Pos, dan Logistik Indonesia (Asperindo) M. Feriadi, seperti dilansir dari Tempo.co.
Menurut Asperindo, hal yang paling penting dan utama adalah bagaimana pihak penjual melakukan sosialisasi yang maksimal kepada masyarakat agar mereka lebih mengetahui konsep COD. Mulai dari paham apa itu COD hingga siapa yang bertanggung jawab jika ada barang yang tidak sesuai. []
Penulis : Lydia Fransisca