Minim Sosialisasi Membuat Angka PMI Ilegal Tinggi
ApakabarOnline.com – Deputi Penempatan dan Perlindungan BNP2TKI Teguh Hendro Cahyono turut mengakui jika masih banyak terdapat PMI yang tidak berdokumen resmi.
“Saat ini banyak warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri, yang resmi berdokumen dan melaporkan kepada perwakilan Republik Indonesia, ada 2,9 juta,” kata Teguh
Sedangkan jumlah PMI yang tidak berdokumen resmi, Teguh mengatakan ada 6 juta, serta ada pula yang mengatakan lebih dari itu.
Para PMI yang tidak berdokumen resmi ini diakui oleh Teguh kemungkinan juga tidak melalui prosedur yang semestinya. Hal ini membuat mereka tidak tercatat sebagai pekerja migran Indonesia.
Adanya penempatan-penempatan secara tidak prosedural, diakui Teguh menjadi tantangan bagi pemerintah. Teguh mengungkapkan jika adanya orang yang menggunakan visa turis untuk bekerja menjadi kasus yang paling banyak dialami.
Menurutnya, hal itu terjadi dikarenakan minimnya pemahaman oleh calon PMI yang ingin bekerja di luar negeri, seperti perihal bagaimana cara bekerja di luar negeri yang aman.
“Atau karena juga kepepet, karena tidak mau ribet membuat paspor,” jelasnya.
Selain itu, kemungkinan adanya pihak yang memfasilitasi turut membuat terjadinya penempatan secara ilegal. Seperti ada kenalan kerabat yang berada di luar negeri lalu menawarkan pekerjaan dan adanya sindikat-sindikat yang juga dapat mengarah pada perdagangan manusia.
Teguh pun menyadari bila hal tersebut menjadi tantangan yang cukup serius sekaligus menyedihkan.
“Karena sampai saat ini masih terbukti penempatan-penempatan yang tidak resmi seperti itu yang berisiko kurangnya perlindungan bagi pekerja tersebut,” imbuhnya.
Guna mengatasi persoalan tersebut, pemerintah mengklaim telah melakukan sosialisasi kepada para calon PMI. Akan tetapi, Teguh turut mengaku jika sosialisasi yang dilakukan sejauh ini memang masih sangat kurang.
Ia beralasan hal itu dapat terjadi karena kondisi wilayah Indonesia yang luas dan banyaknya calon TKI yang tersebar di sejumlah wilayah Indonesia. Karenanya, ia berharap agar ada optimalisasi terkait perihal sosialisasi ke depannya.
Persoalan lain yang juga masih terjadi yakni perihal pengawasan. Saat ini, menurut Teguh, masih banyak masyarakat yang tidak tahu kalau kerabatnya bekerja di luar negeri. Menurutnya perlu pengawasan dari pihak lainnya.
“Begitu juga aparat instansi terkait. Ini juga berpengaruh dengan masih adanya penempatan-penempatan secara tidak prosedural,” katanya.
Teguh pun menyebut, rumitnya prosedur pendaftaran PMI yang selama ini dikeluhkan oleh masyarakat, sebenarnya telah disadari oleh pemerintah. Oleh karena itu, saat ini pemerintah coba menyederhanakan prosedur dan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat.
Untuk mengatasi persoalan pungli dalam pengurusan dokumen misalnya, Teguh mengatakan, pihaknya juga sudah melakukan transparansi.
“Itu cara-cara untuk memudahkan pelayanan dan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, serta mempersingkat waktu pelayanan,” katanya.
Teguh menambahkan, untuk mencegah terjadinya PMI ilegal, ia mendorong agar terus dilakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai cara prosedur pendafatran PMI.
Selain itu, ia juga mendorong agar koordinasi dengan pihak-pihak terkait juga memberikan pengawasan.
“Di pintu-pintu keimigrasian misalnya, kami berkoordinasi jika ada orang dicurigai akan bekerja di luar negeri dengan visa yang tidak sesuai, sebaiknya dicegah atau ditunda,” katanya.
Teguh berharap, upaya-upaya tersebut dapat mencegah terjadinya penempatan PMI secara non-prosedural.
Desa Migran Produktif
Carut-marut perihal prosedur pelayanan untuk PMI turut disadari oleh Kemenaker. Direktur Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri Kemenaker Raden Soes Hindharno membenarkan, jika status ilegal jadi penyebab kesesatan PMI di luar negeri.
Meski begitu, ia beralasan pihaknya kini sedang melakukan perbaikan. Terlebih setelah adanya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PMI).
Soes menyebut mengingat UU Perlindungan PMI baru dilegalkan, pihaknya kini masih pada sebatas tahapan persiapan untuk menjalankan aturan tersebut. Dengan cara membentuk lembaga-lembaga baru sebagaimana yang diamanatkan UU baru tersebut.
Kemenaker juga menargetkan, pada akhir tahun 2019 dapat membuat peraturan menteri untuk mendukung pelaksanaan dari UU Perlindungan PMI.
Soes memaparkan dalam setahun sejak UU ini telah dilegalkan, sejauh ini pihaknya tengah mendorong pembangunan Desa Migran Produktif. Program yang digagas oleh Menteri Tenaga Kerja Hanif Dakhari ini ditujukan agar desa juga aktif memberikan sosialisasi informasi awal kepada warganya yang ingin bekerja di luar negeri. Harapannya, warga yang ingin menjadi PMI tak lagi menempuh cara yang ilegal.
Langkah lain yang tengah dilakukan oleh pemerintah yakni dengan membangun Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA). LTSA ini merupakan mekanisme di mana instansi terkait seperti imigrasi dan ducakpil berada dalam satu ruang yang sama, sehingga calon PMI tak perlu harus bolak-balik mengurus dokumen dengan mendatangi setiap instansi.
“Jadi sistem Kemenlu, sistem Dukcapil semua dijadikan satu, tidak lagi bersifat parsial,” jelasnya
Soes juga menyadari masih masifnya praktik calo jasa PMI ilegal atau mafia di lingkungan masyarakat. Meski sulit untuk memberantasnya, pihaknya juga berupaya memperkecil pergerakan mereka lewat koordinasi antarsektor.
“Sayang saat ini masih kental dengan ego sektoral. Harusnya semua satu suara dalam menanggulangi hal ini,” ungkapnya.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Mita Noveria mengungkapkan, sebetulnya dari tahun ke tahun terlihat ada upaya pemerintah memperbaiki masalah TKI. Secara regulasi, ia mengungkapkan ada perubahan yang bertujuan pada perbaikan.
“Hanya saja, implementasinya tidak optimal. Masih ada beberapa daerah yang terlihat tidak menjalankan aturan pemerintah,” paparnya.
Selain itu, banyak daerah yang menghiraukan program-program yang telah dijalankan demi keberlangsungan PMI yang lebih baik.
Contohnya program Desa Migran Produktif. Menurut Mita, pengadopsian program Desa Migran Produktif merupakan bukti bahwa pemerintah telah serius untuk menangani kesejahteraan PMI dalam hal apapun.
Hanya saja, lanjut Mita, program ini dirasa masih kurang optimal dijalankan di berbagai daerah. Penyebaran program ini juga dirasa kurang merata.
Padahal program ini dikatakannya sangat positif untuk membantu PMI dalam konteks pembekalan sebelum mereka di lapangan. Program ini juga menjamin kesejahteraan para PMI dan keluarganya .
“Di program ini kan nantinya pemerintah desa bisa memastikan kondisi warganya yang bekerja di luar negeri,” ungkapnya.
Bagi Mita, dengan adanya masalah tersebut, pemerintah harus menambah ketegasannya agar setiap daerah mau menjalankan program Desmigratif.
Selain itu, pemerintah juga dikatakan Mita harus mengencangkan sosialisasi hingga akar rumput. Harapan ini agar para calon PMI mengerti bahwa maksud dan tujuan dilaksanakannya program ini untuk keamanan mereka semua dalam menjalankan pekerjaannya di luar.
Menurut Mita, hingga sekarang masih banyak para PMI yang berangkat tanpa prosedural karena minimnya sosialisasi yang mereka dapatkan di berbagai daerah atau desa. Oleh sebab itu, keberangkatan mereka menjadi terancam karena datang dengan modal pengetahuan yang kosong.
Lebih lanjut, Mita mengatakan, pemerintah harus memastikan para calon PMI memiliki keterampilan yang kompleks. Dalam arti pemerintah harus memberikan pelatihan lebih pada pelatihan dalam bentuk pekerjaan, melainkan dalam bentuk bahasa dan budaya atas negara-negara tujuan PMI itu.
Pasalnya, banyaknya kekerasan yang dialami oleh PMI diakibatkan karena ketidakpahaman budaya dan bahasa dari majikan di negara tempat mereka mengadu nasib.
“Butuh sistem pelatihan yang optimal dan rekrutmen yang ketat, dalam arti lebih spesifik kepada kebutuhan mereka. Bukan hanya formalitas pelatihan,” tutup Mita.[vn]