Minimnya Dana Bencana Memperburuk Dampaknya
Minimnya dana yang dialokasikan untuk bencana, membuat bencana makin berdampak buruk. Selama ini, anggaran bencana di pemerintah daerah dan pemerintah pusat sangat minim, kurang dari 1 persen. Akibatnya, pemerintah bisa terjerat utang untuk memulihkan diri dari bencana.
Dalam kasus bencana tsunami di Banten misalnya, Pemerintah Kabupaten Pandeglang dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) sebesar Rp2,6 triliun, hanya menganggarkan Rp4 miliar untuk dana bencana. Porsi ini hanya setara 0,0015 persen. Sudah kecil, masih dibagi-bagi lagi untuk korban angin puting beliung, kebakaran, dan bencana lain, sehingga jumlahnya berkurang.
“Saya tidak tahu persis (sisanya), mungkin tinggal Rp200 juta,” kata Bupati Pandeglang Irna Narulita, seperti dinukil dari Media Indonesia. Belum diketahui bagaimana pembiayaan pemulihan bencana tsunami di Selat Sunda ini.
Satu kasus yang bisa dibaca adalah bencana di Sulawesi Tengah (Sulteng), September lalu. Pemerintah Provinsi Sulteng, pada 2016 menganggarkan Rp16 miliar dari APBD sebesar Rp3,397 triliun. Setara 0,004 persen. Alhasil, saat Sulteng kena bencana gempa, tsunami, dan likuifaksi, kerugian yang timbul Rp13,82 triliun. Untuk memulihkan diri, jelas tak bisa lagi berharap dari APBD.
Pemerintah pusat harus turun tangan, tapi belum tentu punya uang. Salah satu pembiayaan yang bisa diambil adalah utang. Salah satunya, utang sebesar Rp15 triliun dari Bank Dunia. Duit utangan ini juga dipakai untuk pemulihan gempa di Lombok, yang terjadi Juli lalu.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menilai, selama ini alokasi APBD secara umum dalam untuk Pengurangan Risiko Bencana (PRB) masih sangat rendah. Menurut Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Eko Yulianto menyebut masalah anggaran ini merupakan hal yang utama dalam PRB.
“Permasalahan utama bagi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam PRB adalah peningkatan anggaran nasional tidak diikuti dengan anggaran pengurangan risiko bencana di daerah. Pemerintah daerah banyak yang mengalokasikan dana hanya sebesar 0,1 persen dari APBD,” ujar Eko di Jakarta Selatan, Selasa (2/10/2018) seperti dikutip dari CNN Indonesia.
Kepala Pusat Data dan Informasi BNPB Sutopo Purwo Nugroho memiliki taksiran yang lebih kecil porsi APBD yang dialokasikan untuk bencana, hanya 0,002 persen.
Eko menceritakan saat bencana gempa mengguncang Padang dengan 7,9 skala richter pada 2009, kerugian yang timbul mencapai Rp21 triliun. Sedangkan anggaran yang disiapkan untuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah selama 2010-2013, hanya Rp2,1 miliar sampai Rp3,6 miliar.
“Kita tahu padahal investasi setiap (misalnya) Rp1 yang dikeluarkan bisa menghemat Rp4 yang dikeluarkan untuk penanganan usai bencana,” ujar Eko.
Selama ini, pemerintah daerah jarang yang memiliki alokasi dana untuk bencana. “Banyak daerah yang belum mempersiapkan anggaran untuk mengantisipasi bencana seperti banjir, erupsi gunung, gempa dan lain-lain,” kata Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo usai menyerahkan bantuan untuk korban bencana Lombok, di Mataram, Selasa (28/8/2018) seperti dinukil dari Antaranews.com.
Tak hanya pemerintah daerah, pemerintah pusat juga perlu meningkatkan anggaran bencana dalam APBN.
Sutopo menjelaskan, dalam lima tahun terakhir ini, anggaran penanggulangan hanya Rp4 triliun. “Anggaran untuk penanganan bencana harus ditingkatkan, idealnya Rp 15 triliun,” kata Sutopo di Jakarta, Rabu (10/10/2018) seperti dipetik dari Katadata.co.id. Idealnya, anggaran mitigasi dan penanganan bencana agar lebih berkualitas sebesar 1 persen dari APBN atau APBD.
DPR mengusulkan agar pemerintah daerah mengalokasikan dana untuk antisipasi bencana sebesar 1 persen dari APBD.
Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan, pihaknya meminta Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan untuk mendorong realisasi anggaran itu, Sebab, dengan adanya anggaran tersebut, bisa digunakan untuk pencegahan dan pengurangan risiko bencana. Atau bisa juga digunakan untuk pemulihan setelah bencana.
Bambang juga meminta BPBD di tiap daerah mengajukan anggaran pengadaan deteksi dini bencana. Bukan hanya anggaran pengadaan alat, tapi juga pemeliharaannya secara berkala. “Agar alat tersebut dapat berfungsi dengan baik dalam memberikan informasi awal kepada warga jika akan terjadi bencana,” kata Bambang seperti ditulis dari Kompas.com, Kamis (27/12/2018). []