Modusnya Semakin Canggih, Sindikat Perdagangan Orang Kian Disentuh
JAKARTA – Kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) kembali berulang. Akhir April lalu, Bareskrim Polri mengungkap setidaknya ada 20 orang warga negara Indonesia (WNI) yang diselundupkan ke area konflik di Myanmar dan dipekerjakan secara paksa. Saat ini, Bareskrim tengah memburu para dalang kasus TPPO itu.
“Kami sudah langsung koordinasi dengan kementerian terkait serta melakukan penyelidikan terkait TPPO,” ucap Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Djuhandhani Rahardjo Puro saat dikonfirmasi awak media, Jumat (05/05/2023).
Perkara itu mulanya terendus dari sebuah video yang diunggah seorang perempuan berinisial NIS. Dalam video itu, NIS mengaku diselundupkan untuk bekerja sebagai pelaku kejahatan online.
Bersama rekan-rekannya, NIS terkurung di kompleks bangunan yang dijaga orang-orang bersenjata di Myawaddy, Myanmar. Dia berulang kali menyaksikan rekan-rekannya disiksa karena tak mampu memenuhi target pekerjaan.
“Kami mohon pemerintah Indonesia. Kami mohon support dan pertolongan kalian segera karena kondisinya di sini sudah darurat,” kata NIS dalam video itu.
NIS bercerita mendapat tawaran bekerja di Thailand melalui lowongan yang beredar di media sosial dengan posisi sebagai customer service atau layanan pelanggan. Gaji yang ditawarkan berkisar Rp12 juta-Rp25 juta per bulan.
Awal April lalu, Bareskrim juga membongkar dua kasus dugaan TPPO dengan modus memberangkatkan pekerja migran Indonesia (PMI) sebagai asisten rumah tangga. Pada salah satu kasus, para korban dijanjikan bekerja di negara-negara Timur Tengah, seperti Arab Saudi dan Yordania.
Dalam kasus tersebut, lima tersangka telah ditetapkan yaitu: MA, ZA, SR, RR, dan AS. Bareskrim menyita 97 paspor korban yang belum berangkat beserta tiket pesawat, rekening koran, dan buku rekening. Dari hasil penyelidikan sementara, Bareskrim menemukan para pelaku sudah lama beroperasi.
“Hasil penelusuran ditemukan data bahwa korban yang dikirim sudah banyak. Aktivitas perekrutan sejak 2015, mencapai 1.000 korban,” kata Djuhandhani.
Pada kasus lainnya, korban TPPO dijanjikan bekerja di Eropa dan Timur Tengah, seperti Turki dan Abu Dhabi. Kasus terbongkar saat para korban ditelantarkan di Singapura. Polisi telah menetapkan pelaku berinsial OP sebagai tersangka.
Sebelumnya, Kepala Unit V Sub Direktorat V Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Komisaris Polisi Iwan Purwanto sindikat TPPO makin canggih. Kini, mereka kerap menggunakan media sosial untuk merekrut calon korban.
Memberantas TPPO, kata Iwan, tidak mudah. Para korban kerap mudah diperdaya lantaran terdesak kebutuhan ekonomi. Sebagian dari mereka bahkan tak sadar sudah jadi korban TPPO. “Modusnya mereka (para pelaku) itu membantu ekonomi,” kata Iwan.
Menurut catatan Bareskrim Polri, jumlah kasus TPPO cenderung meningkat sejak 2020. Pada tahun tersebut, tercatat ada 126 kasus. Setahun berselang, kepolisian menggarap 122 kasus TPPO. Selama 2022, tercatat ada 133 kasus dugaan perdagangan orang. “Ini kejahatan internasional yang perlu penanganan khusus,” imbuhnya.
TPPO, sebagaimana dicatat Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) dalam laporan kinerja tahunannya, kerap bermula dari pengiriman PMI secara ilegal atau nonprosedural. Sejak 2020, BP2MI berhasil menggagalkan ratusan pengiriman PMI secara nonprosedural.
Pada 2020, misalnya, BP2MI berhasil mencegah keberangkatan 541 PMI secara nonprosedural/TPPO. Para calon korban berasal dari berbagai lokasi, seperti Jakarta, Tangerang, Bekasi, Bogor, Garut, dan Cirebon. Pada 2021, PMI nonprosedural/TPPO yang berhasil diselamatkan ada 342 orang.
“Dari 342 calon PMI yang berhasil diselamatkan tersebut, beberapa di antaranya telah dilakukan penanganan oleh Bareskrim Polri dan dipulangkan ke daerah asal,” tulis BP2MI dalam laporannya.
Jumlah PMI ilegal melonjak signifikan pada 2022. BP2MI mencatat ada 2.385 calon PMI nonprosedural/TPPO yang berhasil diselamatkan. “Mayoritas calon PMI nonprosedural berhasil dicegah di wilayah Banten dan Sumatera Utara,” tulis BP2MI dalam Laporan Kinerja 2022.
Menurut catatan BP2MI, mayoritas calon PMI nonprosedural bakal ditempatkan ke sejumlah negara di Asia dan Afrika pada 2022. Sebanyak 1.401 PMI rencananya diselundupkan ke Malaysia. Negara tujuan lainnya, semisal Kamboja (478 orang), Arab Saudi (242 orang), Uni Emirat Arab (98 orang,) Filipina (44 orang), Singapura (26 orang), dan Hong Kong (23 orang).
Anak-anak hingga dewasa
Berbasis data yang dikompilasi Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), Kementerian PPPA mencatat ada 1.545 kasus TPPO yang terungkap pada periode 2019-2022. Total jumlah korban mencapai 1.732 orang. Mayoritas korban adalah kelompok rentan, perempuan, dan anak.
Deputi Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA Nahar mengatakan mayoritas korban TPPO, baik untuk kategori usia dewasa dan anak, kerap berasal dari DKI Jakarta. Pada 2019, misalnya, sebanyak 33 perempuan yang berdomisili di DKI jadi korban kasus TPPO.
Pada tahun itu, korban TPPO kelompok usia anak paling banyak dari Jawa Timur dengan 18 anak. “Lima anak laki-laki dan 13 anak perempuan. Sedangkan korban TPPO (2019) yang berusia dewasa paling banyak berasal dari Provinsi DKI Jakarta,” ucap Nahar kepada Alinea.id, Senin (1/5).
DKI Jakarta mendominasi pada 2020. Tercatat ada 42 anak korban TPPO dari ibu kota, 39 perempuan dan 3 laki-laki. Dari kelompok dewasa, total korban ada 68 orang, terdiri dari 66 perempuan dan 2 laki-laki.
DKI Jakarta kembali menjadi lumbung korban TPPO usia anak pada 2021. Jumlah korban mencapai 209 anak, dengan rincian 64 laki-laki dan 145 perempuan. Namun, daerah “penghasil” korban TPPO berusia dewasa terbanyak bergeser ke Jawa Barat dengan 95 korban. Rinciannya, 91 perempuan dan 4 laki-laki.
“Pada tahun 2022, korban TPPO yang paling banyak berasal dari Provinsi DKI Jakarta sebanyak 67 anak, 8 anak laki-laki dan 59 anak perempuan. Dan 73 orang (dewasa), dua orang laki-laki dan 71 orang perempuan,” jelas Nahar.
Selain Simfoni PPA, Kemen PPPA juga mendata kasus TPPO pada anak melalui layanan SAPA 129. Menurut catatan SAPA 129, ada 27 anak yang jadi korban TPPO pada 2021. “Sedangkan pada 2022 terdapat 86 anak korban TPPO dan korban paling banyak berasal dari Provinsi Jawa Barat sebanyak 32 anak,” ungkap Nahar.
Berbasis data SAPA 129, menurut Nahar, ada empat modus dan motif utama. Pertama, anak dijual sebagai jaminan pinjaman uang atau pembayaran utang. Kedua, pelaku menjanjikan pekerjaan dengan iming-imingi gaji besar. Ketiga, korban diajak teman dan dikenalkan kepada mucikari atau germo. Terakhir, anak dijual karena hasil hubungan di luar pernikahan.
Untuk penanganan, Nahar merinci sejumlah hal yang harus disiapkan. Pertama, memfasilitasi koordinasi antara kementerian dan lembaga penanganan korban TPPO. Kedua, memfasilitasi pendampingan hukum dan psikologis. Ketiga, memfasilitasi pemulangan korban.
“Keempat, fasilitasi tempat penampungan sementara. Kelima, mengakseskan ke layanan lain sesuai kebutuhan korban (kesehatan atau rehabilitasi sosial),” jelas Nahar. []