April 20, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

[OPINI] Bebasnya Saipul Jamil dan Perkara Memaafkan Pemerkosa

4 min read

JAKARTA – Saya kira yang pelupa cuma negara, tapi ternyata media dan masyarakat kita pun sama saja. Jika negara lupa pada pelanggaran HAM berat yang mereka sponsori dari 1965 sampai 1998, kita amnesia pada pemerkosaan yang dilakukan pedangdut Saipul Jamil. Di hari kebebasannya dari penjara, (2/9), ia disambut keluarga, kerabat, dan kuasa hukum dengan karangan bunga. Menaiki mobil Porsche merah, Saipul yang sumringah bahkan mengaku segera merilis lagu terbarunya bertajuk Sanggupkah Kau Setia. Tak tanggung-tanggung, lima tawaran pekerjaan di dunia hiburan sudah menyambutnya.

Media di lain sisi, tak kalah gempita merayakan kebebasan Saipul Jamil. Wowkeren dan Detik.com misalnya, alih-alih membingkai Saipul sebagai “penjahat”, justru mengambil angle berita bahwa ia tak dendam sama sekali pada DS, korban anak di bawah umur yang melaporkannya pada 2016.

Sebagai pengingat, Saipul divonis penjara 8 tahun karena telah melakukan perbuatan cabul pada DS dan menyuap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Belakangan, Saipul memperoleh remisi 30 bulan dan bebas murni dari bui.

Sementara, hingga artikel ini diturunkan, belum jelas apakah luka dan trauma DS benar-benar sembuh. Pada 2016, usai jadi korban Saipul, siswa kelas 3 SMA sampai tak berani keluar rumah, merasa minder, dan takut bertemu dengan orang-orang di sekitarnya. Ia juga mengigau dan berteriak setiap Subuh. Dalam pengakuannya, ia merasa mendengar suara Saipul yang membangunkannya dini hari, meminta ia memijatnya, dan menyentuh area vitalnya. Pengalaman serupa juga dirasakan oleh korban lain Saipul, AW, yang mengaku harus berjibaku dengan trauma selama dua tahun.

 

Respons Publik yang Keliru

Di Amerika, saat pemerkosa yang juga komedian Bill Cosby dibebaskan dari penjara, tak ada sambutan meriah ala Saipul Jamil. Meskipun tetap bertingkah tengil dengan menunjukkan tanda “V” lewat tangannya di depan wartawan, ia direspons senyap oleh publik. Bahkan konsultan krisis Risa Heller, kepada The New York Times berujar, “Tidak ada minat publik untuk Bill Cosby kembali. Saya tidak berpikir ada cara bagi Bill Cosby untuk membangun kembali kepercayaan massa.”

Ini berlaku pula buat Harvey Weinstein yang mengaku diasingkan oleh industri Hollywood setelah ia melakukan kekerasan seksual pada puluhan perempuan. Tak hanya itu, empat direksi The Weinstein Company, yakni Robert Weinstein, Lance Maerov, Richard Koenigsberg, dan Tarak Ben Ammar juga langsung memutuskan memecat Harvey. Istrinya, Georgina Chapman meninggalkannya. Media Barat pun ramai-ramai menjulukinya sebagai penjahat Amerika.

Senada, Benjamin Mendy, bek klub bola Manchester City juga diskorsing dari klubnya karena tuduhan terlibat dalam empat kasus pemerkosaan dan satu kekerasan seksual. Pria yang telah mengharumkan nama klubnya, mengantar Prancis jadi juara Piala Dunia 2018 ini sedang menjalani proses penyelidikan oleh polisi setempat.

Terlepas dari karya mereka yang apik, perilaku buruk (melakukan kekerasan seksual) itu tak laik untuk dirayakan. Karena itulah dalam tulisan Magdalene sebelumnya telah dibahas tentang perlunya melakukan cancel culture terhadap sineas yang jadi pelaku kekerasan seksual. Cancel culture ini juga penting sebagai pengingat bahwa kita tak akan pernah menormalisasi kekerasan seksual, apapun bentuknya, siapa saja pelakunya. Ini juga bentuk penghargaan kita pada para korban yang mengalami trauma mendalam.

 

Haruskah Memaafkan Pemerkosa?

Pada 2010, penyintas pemerkosaan Heather Curry, menyusun pengalaman pribadi memaafkan pemerkosanya dalam tesis di University of South Florida Scholar Commons. Tesis yang ia beri judul Beyond Survival: An Exploration of Narrative Healing and Forgiveness in Healing from Rape menguraikan proses penyembuhannya sebagai penyintas lewat berbagai metode. Hasilnya, ia berhasil menempuhnya lewat metode pengampunan yang ia ciptakan sendiri.

Tujuh tahun berselang, Thordis Elva, penulis Islandia memaafkan pemerkosanya, mantan pacar SMA, pria Australia Tom Stranger. Tak hanya memaafkan, Thordis juga membuat buku bersama dengan Tom berjudul South of Forgiveness (2017). Bagi Elva, memaafkan adalah tentang penyembuhan diri sendiri.

“Orang-orang entah bagaimana berpikir kamu menguntungkan pemerkosa ketika memaafkannya, tetapi buat saya, memaafkan adalah membebaskan kesalahan diri dan rasa malu yang telah saya tanggung secara salah,” kata dia pada TED kala itu.

Apa yang disampaikan Thordis memang relatif kontroversial. Seorang pengacara Josephine Cashman di forum yang sama menyebutkan, perkara memaafkan adalah hal yang sulit. Banyak penyintas kekerasan seksual terpaksa harus hidup dalam trauma abadi dengan pemerkosanya karena norma masyarakat mengharuskan mereka menikah dan hidup sebagai pasangan. Korban yang lain juga harus berjuang dengan trauma panjang yang bisa jadi bakal mengganggu kehidupan dia sehari-hari.

Reaksi trauma, seperti depresi, kecemasan, dan gangguan stres pasca-trauma (PTSD) telah menjadi momok paling umum dari mereka yang mengalami pelecehan seksual, kata Wilson dan Miller (2016) dalam penelitiannya berjudul Meta-Analysis of the Prevalence of Unacknowledged Rape. Ini belum termasuk dampak psikologi lanjutan, seperti perasaan menyalahkan diri sendiri, kesepian, rasa malu, atau pikiran untuk bunuh diri.

Karena itulah, tanpa bermaksud mengerdilkan riset soal pentingnya maaf bagi pemerkosa, buat saya tak perlu menyarankan korban untuk memaafkan pemerkosanya. Tindakan memaafkan pelaku bukan prasyarat untuk bisa sembuh dari luka dan trauma. Seorang penyintas yang menyimpan dendam, kemarahan, atau kebencian justru perlu diberikan rasa aman dan pendampingan, alih-alih didesak memaafkan pelaku. Yang dilakukan Thordis, memaafkan pelaku bahkan membuat buku bareng tak perlu dipaksakan sebagai metode tunggal. Sebab, korban pemerkosaan memiliki cara untuk sembuh dari luka dan traumanya sendiri (atau tidak bisa sembuh?).

Sehingga, dalam konteks ini, memberikan panggung khusus buat pemerkosa untuk berbicara, membela diri, atau menawarkan niatnya untuk “mendidik laki-laki” adalah tindakan yang sia-sia. Apakah suara laki-laki pemerkosa jauh lebih berharga daripada korban, sehingga kita benar-benar harus mendengarkan pemerkosa berbicara tentang tindakan keji mereka.

Buat saya, yang penting saat ini adalah mendorong agar budaya pemerkosaan justru dilenyapkan terlebih dahulu. Korban pemerkosaan Ruby Hamad menulis opininya di SBS News, narasi pengampunan atau ajakan untuk merayakan perilaku pemerkosaan dan memaafkan pelaku adalah cara terselubung untuk mempertahankan status quo budaya pemerkosaan. Ini adalah jebakan yang dirancang untuk membuat kita tetap berputar dalam lingkaran kejahatan dan ketidakadilan yang tak berujung ini.

Ruby sendiri mengakui, memaafkan pelaku adalah hal tersulit yang mungkin takkan bisa ia lakukan. Saat ia berjuang selama 20 tahun menyembuhkan luka batin dan traumanya, pemerkosa yang melenggang bebas ini justru telah menjalani kehidupannya secara normal, punya pekerjaan yang stabil, dan istri dan anak yang sehat. Ini menyiksa dia luar dalam. Karena itulah, ia juga tak menyarankan kita untuk sama-sama memaafkan dan menoleransi perilaku pemerkosaan. Ini berlaku pula untuk pelaku kekerasan seksual Saipul Jamil, tak usah memaafkan dia, kecuali kamu ingin terus berputar dalam situasi ketidakadilan ini. []

Penulis :  Purnama Ayu Rizky, Redaktur Pelaksana Safe Space

Advertisement
Advertisement