[OPINI] Menggagas Upah Minimum Guru
JAKARTA – Jangan karena disebut pahlawan, maka kompensasi atas keringat guru diperhalus dengan gaji. Pada banyak titik, kita harus memandang guru sebagai buruh. Karena itu, guru perlu diberikan upah minimum layaknya buruh. Sebab, dengan mengasosiasikan guru semata sebagai pahlawan, kita akan senantiasa melihat guru digaji ratusan ribu rupiah dan dirapel sekali tiga bulan.
Dengan kata lain, hanya karena menyematkan kata pahlawan pada guru, kita memandang guru dengan sebelah mata. Betapa pun mereka lulusan sarjana, gaji mereka ternyata di bawah besaran upah buruh. Padahal, buruh tidak terseleksi secara akademis.
Saya tertegun dengan pernyataan Presiden Joko Widodo pada perayaan Hari Guru Nasional 2023 bahwa tingkat stres guru lebih tinggi dibandingkan profesi lain. Pernyataan Presiden tersebut benar adanya, malah sekeluarga guru SD di Malang, Jawa Timur, memilih bunuh diri karena terjerat utang (Kompas, 12 Desember 2023).
Tak bisa dibantah lagi, secara material, guru sangat tertekan. Lihatlah, misalnya dalam paparan Fredirca Widyasari Dewi dari Otoritas Jasa Keuangan, guru yang terjerat godaan pinjaman daring (online) sebanyak 42 persen. Angka ini di atas korban pemutusan hubungan kerja (PHK) yang hanya terjerat pada angka 21 persen.
Faktanya, angka itu belum menjadi perhatian besar bangsa ini. Bangsa ini lebih sibuk memberi tekanan kepada guru daripada memberi tawaran. Paling tidak, guru sangat kecewa ketika Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegur guru yang konon setelah memberi tunjangan, tetapi kualitas pendidikan tak kunjung meningkat.
Bu Menteri seakan tidak tahu bahwa aparatur sipil negara (ASN) non-guru justru mendapat tunjangan kinerja (tukin) yang jauh lebih besar meski tanpa sertifikat profesionalisme. Artinya, ASN non-guru otomatis mendapatkan tukin tersebut tanpa seleksi akademis. Bu Menteri tidak melihat apakah setelah tukin itu diberikan maka kinerja mereka meningkat atau tidak.
Menjadi korban
Hal yang lebih miris, Bu Menteri tidak melihat data demografi yang lebih dalam terkait guru tentang mengapa, misalnya, guru terjerat pinjaman daring. Karena itu, izinkan saya memberikan data demografi terkait guru dengan pinjaman daring.
Orang banyak mungkin akan merasa heran mengapa guru masih terjerat utang-piutang. Sebab, di kepala mereka, guru sudah sangat sejahtera. Faktanya, gurulah profesi yang sangat tidak sejahtera jika disederajatkan dengan pekerjaan pada kualifikasi pendidikan yang sudah ditempuh. Guru honorer, misalnya, punya alasan logis mengapa tergiur pinjaman daring. Sebab, gaji mereka terkadang cair setelah tiga bulan, malah di bawah upah minimum regional (UMR)!
Bagi guru tetap, alasannya juga identik: kebutuhan sehari-hari tidak mencukupi karena harga semakin melambung dan gaji tak kunjung naik. Bagi guru PNS juga kurang lebih sama: uang kuliah anaknya biasanya minimal Rp 5 juta per semester untuk satu anak. Maka, jika dua anaknya kuliah, paling tidak Rp 10 juta per semester belum dihitung biaya hidup anak di indekosan. Guru pegawai negeri sipil (PNS) dinilai sudah sejahtera.
Hal-hal seperti itu yang menjadi alasan mengapa guru tertekan secara ekonomi. Secara psikologis, ketertekanan guru juga tak bisa diabaikan. Tak jarang, mereka menjadi korban kekerasan dan kekasaran berbagai pihak.
Faktanya, gurulah profesi yang sangat tidak sejahtera jika disederajatkan dengan pekerjaan pada kualifikasi pendidikan yang sudah ditempuh.
Di pihak strukturalisme pendidikan, mereka diperas di berbagai level untuk memberkasi administrasi. Urusan naik pangkat mereka pun dipersulit, tidak seperti ASN struktural yang naik pangkat secara ”otomatis”.
Di sisi lain, guru harus bermental kuli. Bermental kuli dalam artian bahwa mereka harus menjadi budak pendidikan. Sebab, tak jarang guru menjadi korban kekasaran siswa. Hanya karena menegur, guru bisa menjadi korban.
Tak sedikit kisah seperti itu yang kita dengar. Bahkan, ada guru yang meregang nyawa. Guru tak punya kuasa dan kekuatan untuk menegur siswa. Guru harus dipandang sebagai pahlawan, bukan profesi.
Imbasnya, tak ada perlindungan bagi guru ketika menjalankan tugasnya. Seperti pahlawan, guru harus bersiap menjadi korban. Tak bisa menjaga harga diri meski sudah tak dihormati siswa. Tak bisa menjaga wibawa karena harus diperlakukan layaknya orang hina sehingga ketika mereka menertibkan kerapian siswa dengan memangkas rambut, misalnya, mereka harus dipermalukan dengan digundul kepalanya di hadapan siswa. Bukankah keadaan seperti itu tidak cukup menjadi bukti bahwa guru hanyalah budak pendidikan?
Tak berjiwa
Hampir tak ada rezim yang mendukung guru. Mas Menteri Nadiem Makarim pada pidato pertama di hari guru menjadi harapan. Paling tidak, pada pidato hari guru, Nadiem tidak bertele-tele. Kata-katanya tidak akademis dan teoretis. Dia tak mengutip banyak ahli. Dia tak menyinggung Ki Hadjar Dewantara.
Kata-katanya, seperti juga tertulis dalam pidato itu, mengalir dengan tulus. Kata-kata itu mudah dimengerti. Kata-kata itu bahkan sangat dekat, seperti tak berjarak, dengan pembacanya. Betapa tidak? Mas Menteri pernah berujar: Tugas Anda adalah yang termulia sekaligus yang tersulit.
Kata-kata itu keren, tetapi tak berjiwa. Saya mencari hingga pidato itu selesai, tak satu pun kalimat yang dibuat untuk membereskan yang tersulit atau mengapresiasi yang termulia. Ini bukan soal saya seorang guru. Ini soal lain: mengapa kita sulit sekali menghargai yang termulia? Mengapa kita enggan memudahkan yang sulit?
Barangkali terlalu materialis jika saya menyebut begini: sejahterakan guru. Namun, sebagai profesi yang sulit dan mulia, bukankah mereka pantas disejahterakan? Mengapa kita selalu berhenti pada pengakuan?
Mas Menteri membuat harapan baru: Anda ditugasi untuk membentuk masa depan bangsa, tetapi lebih sering diberikan aturan dibandingkan dengan pertolongan. Kalimat ini sangat keren. Namun, sampai menjelang akhir jabatannya, kalimat itu nirmakna.
Betapa tidak, dari tujuh kalimat serupa, semuanya punya kata ”tetapi” atau yang identik. Mengapa sang Menteri tidak bertindak membuang ”tetapi” itu saja? Saya jadi teringat pada tulisan Butet Manurung di harian Kompas tentang seseorang yang, konon, ingin mengikuti jejaknya. Seseorang itu masih punya kata ”tetapi”.
Dalam artian, bahkan sampai pidato pamit Mas Menteri (25 November 2023), Mas Menteri tak kunjung membantu guru sama sekali. Mas Menteri lebih suka memelihara kata ”tetapi”. Kata itulah yang membuat guru kecewa. Hal itu sama saja dengan kalimat cinta berikut: Saya sebenarnya sangat mencintaimu, ”tetapi” saya tak sanggup.
Kalimat itu indah, tetapi mengandung rasa cinta sekaligus membuat rasa kecewa. Karena itu, sampai akhir jabatannya, semakin kelihatanlah bahwa kalimat itu menjengkelkan sekali. Mas Menteri hanya berhenti di retorika menyejahterakan dan memudahkan guru.
Jangan berbelit-belit
Mas Menteri harus lebih peduli kepada guru. Kalau peduli, tugas seorang menteri semestinya harus setingkat lebih tinggi dari sekadar retorika ”tetapi”. Menteri harus membereskan kata ”tetapi”, membereskan masalah.
Sebagai guru, saya akan lebih sangat puas jika kalimat itu ditukar menjadi seperti ini, misalnya: Anda ditugasi untuk membentuk masa depan bangsa, mulai hari ini, saya akan membantu Anda dengan membuat aturan yang transparan dan tepat. Kalimat seperti ini lebih bertenaga dan lebih tambak berwibawa. Namun, kalimat itu tak kunjung ada hingga akhirnya pidato terakhir sudah pamit pada guru.
Karena itu, pada akhir esai ini, kita sangat mengharapkan adanya kinerja jelas dari pemerintah untuk menyejahterakan dan memudahkan guru. Cukuplah sampai di sini kita beretorika. Dalam hal ini, supaya kesejahteraan guru tidak sebatas retorika, upah minimum guru harus sesegera mungkin dibuat. Jangan bersembunyi lagi di balik kata klasik bahwa guru adalah pahlawan.
Guru harus dimudahkan. Kinerja administrasi mereka diringankan. Lebih-lebih, jenjang karier kenaikan pangkat mereka jangan berbelit-belit. Kalau ASN struktural bisa naik pangkat ”otomatis”, mengapa guru harus dipersulit dengan berbagai aturan? Semoga!. []
Penulis Riduan Situmorang, Koordinator P2G Humbang Hasundutan