[OPINI] Para Komprador “Penikmat” (?) UU Cipta Kerja
JAKARTA – Kontroversi pengesahan Rancangan Undang-undang Cipta Kerja Omnibus Law terus berlanjut. Para akademisi, organisasi buruh, dan gerakan sipil tidak henti-hentinya menguliti berbagai mitos kenikmatan yang ditawarkan oleh Undang-undang sapu jagat itu. Pertanyaan yang muncul kemudian, untuk siapa sesungguhnya Omnibus Law dibuat?
Draft UU Cipta Kerja Omnibus Law kini sudah sampai ke tangan Presiden Joko Widodo, menunggu ditandatangani untuk kemudian dinyatakan sah sebagai Undang-undang. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah mengkonfirmasi bahwa Presiden menerima draft setebal 812 halaman, menyusut ratusan halaman dari draft yang disetujui bersama dalam rapat Paripurna pada Senin (5/10/2020).
Sebelumnya, sejak pembahasan dimulai pada Februari lalu, publik terus dibuat bertanya-tanya mana draft yang bisa jadi acuan. Tebal halaman draft UU Cipta Kerja Omnibus Law yang beredar di publik terus mengalami metamorfosa, 1.028 halaman pada Februari, 905 halaman pada 5 Oktober, 1035 halaman pada 12 Oktober, hingga berujung pada 812 halaman. Draft-draft tersebut pun sampai ke publik melalui cara-cara yang tidak resmi, karena Panja DPR tidak pernah mempublish draft Omnibus Law di situs resmi lembaga.
Lembaga pemantau kinerja DPR RI, Indonesia Parliamentary Center (IPC) berkesimpulan, pembahasan UU Cipta Kerja Omnibus Law sangat terburu-buru dan minim partisipasi publik.
“DPR gagal memanfaatkan antusiasme publik. Lama pembahasan suatu UU prioritas saja bisa di atas 36 bulan. Jadi bagaimana bisa Omnibus Law yang melingkupi pembahasan 72 UU dibahas secara cepat, singkat, dan maraton?” kata Muhammad Ichsan, Koordinator Divisi Reformasi Parlemen IPC.
Pengajar hukum Perburuhan dari Universitas Unika AtmaJaya Andriko Otang mengatakan, sejak digagas pertama kali oleh Presiden Jokowi pada awal-awal pemerintahan periode ke-II, Omnibus Law sudah menjadi perhatian banyak pihak, terutama para akademisi dan serikat buruh. Semua bertanya-tanya, seperti apa sebetulnya konsep Omnibus Law yang akan dibentuk oleh Jokowi.
“Kami berusaha mencari tahu apa substansi isi dari UU Cipta Kerja, tapi semua prosesnya tersembunyi. Kita hanya mendengarkan sekelumit isi, tanpa mendapatkan draft utuh. Transparansinya bisa dikatakan tidak ada sejak awal,” ujar Andriko, Senin (12/10).
Ketika kemudian banyak pihak yang berteriak tentang transparansi, kata Andriko, barulah pemerintah mulai menggandeng para stakeholder untuk turut membahas Omnibus Law. Dalam konteks kluster ketenagakerjaan misalnya, beberapa organisasi buruh mulai diundang. Namun Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, pendapat mereka hanya sebatas ditampung tanpa dipertimbangkan, apalagi difasilitasi dalam UU Cipta Kerja.
“Yang diharapkan oleh serikat pekerja adalah duduk bareng dan merumuskan bersama. Bukan hanya sekedar didengar,” ucap Andriko.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Muchamad Ali Safa`at mengatakan, Undang-undang adalah satu-satunya produk hukum yang seharusnya melibatkan partisipasi publik secara banyak maksimal. Pasal 5 UU No. 12 tahun 2011 menyebut bahwa keterbukaan adalah salah satu asas yang wajib ada dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
“UU harus bersifat demokratis karena dia adalah produk hukum pertama di bawah UUD 1945. Pembentukan UU yang tidak demokratis telah melanggar prinsip kedaulatan rakyat, mengingkari kedudukan UU sebagai produk demokrasi, mengingkari kedudukan DPR dan Presiden sebagai lembaga demokratis, serta mengorbankan tujuan kesejahteraan umum demi tujuan-tujuan yang tersembunyi,” kata dia dalam sebuah webinar, Jumat (16/10).
Selain bermasalah dalam hal keterbukaan dan partisipasi publik, Omnibus Law juga disorot dalam hal legalitas formil. Perubahan halaman yang signifikan antara draft yang disahkan pada rapat paripurna (905 halaman) dan yang diberikan kepada presiden (812 halaman) dianggap menyalahi peraturan perundang-undangan.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari menyebut, perubahan draft yang disetujui di rapat paripurna hanya diizinkan sebatas perbaikan yang bersifat kesalahan penulisan seperti titik, koma, frasa, dan tanda baca lainnya. Ringkasnya, kata Feri, tidak boleh terjadi perubahan yang menimbulkan perbedaan makna.
“Apa yang terjadi hari ini sangat menakjubkan karena banyak sekali perubahan. Ini sangat bermasalah. Pasca persetujuan bersama seharusnya tidak ada lagi upaya untuk menambahkan atau mengurangi pasal-pasal yang ada. Pada titik itu, bukan tidak mungkin Omnibus Law cacat secara prosedural dan inkonstitusional,” pungkas Feri.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Dhia al Uyun menambahkan, ada pelanggaran dalam proses penyerahan draft UU Cipta Kerja kepada Presiden yang menyalahi batas waktu 7 hari Hal itu tertera dalam ayat 2 Pasal 72 UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, “Penyampaian Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.”
“Setelah proses persetujuan bersama, 7 hari setelahnya harus sudah diserahkan kepada Presiden, berarti maksimal tanggal 12 Oktober 2020. Tapi ternyata pengiriman baru dilakukan tanggal 14 Oktober,” ucap Dhia.
Permasalahan dalam proses pembentukan perundang-undangan kemudian menimbulkan tanda tanya besar, untuk apa sebetulnya Omnibus Law dibuat, sehingga prosesnya menabrak semua regulasi dan kebiasaan yang umum terjadi di legislasi?
Arah kebijakan pembentukan UU Cipta Kerja dibentuk berdasarkan satu kerangka berpikir umum, yakni hak masyarakat akan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Turunan dari kerangka berpikir itu diterjemahkan dalam pembentukan UU yang bisa menggenjot sektor usaha untuk kemudian menciptakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya.
Jumlah tenaga kerja yang menganggur di Indonesia saat ini sekitar 7 juta orang. Mengantisipasi kondisi ekonomi nasional yang sulit dan tingginya kompetisi ekonomi global, pembukaan lapangan kerja dinilai menjadi solusi konkret demi mencapai target bonus demografi tahun 2045.
Atas permasalahan tersebut, pemerintah sebagai pengusul RUU Cipta Kerja berkesimpulan, setidaknya ada dua hal yang perlu dibenahi. Pertama, pemberdayaan koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM). Kedua, perbaikan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha.
Dari dua hal tersebut, Muchamad Ali Safa`at menjelaskan, Omnibus Law lebih cenderung menitikberatkan pada kemudahan investasi dan berusaha.
“Memang ada pembahasan tentang perlindungan UMKM dan pembinaan koperasi, tapi mayoritas yang dibahas adalah iklim investasi dan kemudahan berusaha untuk seluruh pelaku usaha, termasuk untuk korporasi besar,” ujar dia.
Selain itu, Ali menambahkan, terhadap iklim investasi dan kemudahan berusaha setidaknya ada 4 faktor yang ditengarai sebagai penghambat, yakni minimnya pemerataan pelaku usaha, penolakan masyarakat dan lingkungan, sistem perburuhan, dan perijinan yang berbelit-belit.
“Ini sebetulnya sangat kontradiktif. Pemenuhan hak atas pekerjaan menjadi salah satu tujuan utama Onibus Law, tapi di sisi lain yang dipandang sebagai penghambat investasi adalah persoalan buruh. Sehingga muncul aturan-aturan yang cenderung merugikan buruh, misalnya pasal tentang penguatan peran peraturan perusahaan dan perjanjian kerja. Padahal kita tahu, terjadi ketidaksetaraan posisi pekerja dan pengusaha. Sehingga dibutuhkan UU untuk menyeimbangkan posisi tersebut.”
Andriko Otang, Direktur Trade Union Rights Centre mengatakan, Omnibus Law lebih cocok disebut sebagai UU Kemudahan investasi karena seluruh aspek yang diatur hampir semuanya berujung pada penggenjotan sektor usaha. Regulasi tentang ketenagakerjaan, kata dia, seharusnya tidak masuk dalam kluster Omnibus Law karena hanya berujung pada pelemahan sektor kualitas sumber daya tenaga kerja dan pelemahan serikat buruh.
“Ini seperti rezim Orde Baru, banyak investasi, tenaga kerja di komoditi. Tapi organisasi serikat buruh akan melemah,” ucap Andriko.
Selain itu, menempatkan persoalan buruh sebagai salah satu penghambat investasi adalah sesuatu yang keliru. Survei World Economic Forum (WEF) tahun 2017 menyebutkan bahwa faktor yang paling menghambat investasi adalah praktik korupsi dan regulasi yang berbelit-belit.
Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia tahun 2019 memang naik 2 poin menjadi 40 poin. Namun capaian itu masih jauh dari target 50 poin yang ditetapkan oleh Presiden Jokowi. Selain itu, terjadi kontroversi atas revisi UU KPK yang juga menuai protes keras dari masyarakat dan lembaga pemantau korupsi Indonesia.
“Siapa sih yang tidak senang dapat pekerjaan? Tapi kalau pekerjaan itu tidak dapat memberikan penghidupan yang layak, ini akan jadi masalah. Pemerintah seharusnya fokus pada peningkatan kualitas angkatan kerja kita. UU Cipta Kerja ini salah dalam penempatan prioritas masalah ketenagakerjaan kita,” tegas Andriko.
Karut Marut Kluster Agraria dan Lingkungan Hidup
Meski sudah disahkan menjadi UU Cipta Kerja atau yang sering diplesetkan UU Cilaka pada 5 Oktober 2020. UU yang menuai kontroversi ini banyak pihak menilai berisi pasal-pasal yang menguntungkan kelompok pemoda besar atau kapitalis modern.
Tak ayal, gelombang unjuk rasa dan kekerasan yang diwarnai dengan vandalisme terus terjadi mulai semenjak pembahasan UU Cipta Kerja beberapa bulan lalu hingga kini.
Salah satu poin yang yang diatur termuat dalam BAB VIII tentang Pengadaan Tanah. Dalam Bab VIII terdapat poin baru yang diatur yakni mengenai bank tanah (land bank). Bank tanah ini pernah menjadi isu kontroversial dalam Rancangan UU Pertanahan.
Aturan bank tanah dan hak pengelolaannya dalam omnibus law merupakan aturan baru yang pertama kali diatur dalam UU Ciptaker.
Dalam Pasal 125 UU Ciptaker menyebutkan bahwa akan dibentuk bank tanah sebagai badan khusus pengelola tanah. Bank tanah ini berfungsi melaksanakan perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pendistribusian tanah.
Pembentukan bank tanah ini bertujuan untuk reformasi agraria yang dulu gagal diajukan dalam RUU Pertanahan.Paling sedikit 30% dari tanah negara diperuntukan untuk bank tanah. Selain itu, dituliskan bahwa pembentukan bank tanah dalam rangka efisiensi pengelolaan tanah.
Rencananya, organisasi bank tanah akan terdiri dari Komite, Dewan Pengawas, dan Badan Pelaksana. Nantinya Badan Pengawas akan terdiri tujuh anggota dengan rincian, empat orang profesional dan tiga orang yang dipilih pemerintah pusat. Hak Pengelolaan (HPL) UU Ciptaker mengatur mengenai Hak Pengelolaan Lahan (HPL).
Pasal 129 nomor 1 menyebutkan tanah yang dikelola Bank Tanah diberikan hak pengelolaan dalam bentuk hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai. Bank tanah dapat dimanfaatkan untuk mendukung investasi dengan pemegang hak pengelolaan mendapat kewenangan untuk menyusun rencana induk dan membantu memberikan kemudahan perizinan berusaha, melakukan pengadaan tanah; dan menentukan tarif pelayanan.
Selanjutnya dalam pasal 137 disebutkan hak pengelolaan tanah diberikan kepada pemerintah pusat; pemerintah daerah; badan bank tanah; BUMN/BUMD dan badan hukum milik negara/daerah; atau badan hukum yang ditunjuk oleh pemerintah pusat. Dalam pasal 138, pemegang hak pengelolaan dapat memperpanjang memperbaharui hak guna bangunan. Tak ada penjelasan berapa lama hak guna yang dapat diperpanjang.
Materi Kontroversial dari RUU Pertanahan Klausul bank tanah ini pernah masuk dalam Rancangan Undang-undang Pertanahan yang dibahas di Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat tahun lalu. Menurut Anggota Panja RUU Cipta Kerja Arteria Dahlan pembahasan bank tanah di Komisi II tak berlanjut karena perdebatan yang sangat tajam.
Menanggapi kisruh soal lingkungan hidup dan masalah pertanahan, Pakar Hukum Lingkungan Universitas Indonesia Andri G. Wibisana menuturkan, banyak persoalan dalam UU Cipta Kerja yang menyangkut soal lingkungan hidup dan lahan.
“Dari dulu Amdal itu memang ada, tapi apakah tejadi pelemahan? setidaknya dari sisi masyarakt yang terlibat, iya. Proses persetujuan Amdal ini sekarang dilakukan oleh tim persetujuan, uji kelayakan yang dibentuk oleh pemerintah pusat, terjadi sentralisasi. Tim uji ini terdiri dari pemerintah pusat, daerah, dan tim ahli. masyarakat ditiadakan. Yang pasti, berkuranganya peran masyarakat itu krusial. Kadang ada argumen bahwa masih ada kok peran masyarakat, cuma memang dibatasi pada masyarakat terdampak, seolah olah argumen terebut benar,” ungkapnya.
“Selama ini yang bisa bersuara tentang lingkungan itu justru sering kali orang-orang di luar pihak yang terdampak. Peran masyarakat hanya dibatasi pada proses penyusuan amdal. kalau kita di UU lama, masyarakat itu bukan yang yang terkena dampak, tapi pemerhati lingkungan jadi lebih demokratis. Nah juga protes kelibatan masyarakat. Dulu berkontribusi di 3 tahap, menyusun Amdal, dapat mengajukan keberatan atas dokumen amdal, yang terpenting masyarakat bisa menjadi bisa menjadi anggota dari komisi penilai amdal,” tambahnya.
Dia juga mengkritisi soal pasal yang menyangkut proses penyusunan Amdal dan pembatalan izin lingkungan melalui pengadilan yang dihapus.
“Yang tidak kalah pentingnya adalah pasal tentang pembatalan izin lingkungan melalui pengadilan itu dihapus, mungkin alasannya izin lingkungan sudah diganti persetujuan lingkungan. Apakah persetujuan lingkungan dapat dibatalkan dengan putusan pengadilan? Nah ini kan muncul berbagai macam argumen, di Indonesia ini persetujuan lingkungan itu persetujuan terhadap amdal.
Kata dia, banyak ketidakjelasan hukum bagi penegakan hukum lingkungan hidup apabila UU Cipta Kerja ini tetap diberlakukan.
“Sudah banyak perdebatan, tidak bisa digugat karena itu belum final. karena keidakjelasan ini, setidakya ada pasal bahwa persetujuan lingkungan ini bisa digugat. Supaya clear, karena pasal ini dihapus, jadi tidak jelas,” ujarnya.
“Ketika pasal ini dicabut, tidak ada lagi ketegasan bahwa izin usaha itu bisa dibatalkan lagi. ini tergantung pada penafsiran di pengadilan. Terlebih lagi ibu menteri pernah bilang, lebih baik izin usahanya yang digugat. Misalnya kasus Kendeng, itu izinnya dibatalkan karena amdalnya bermasalah. Sekarang, saya tidak yakin kalau kasus Kendeng itu bisa dimenangkan di pengadilan. Kasus pembuangan limbah di Citarum, itu juga dibatalakan karena amdalnya tidak membahas hal yang harusnya dibahas. Yang seperti ini persoalan amdal yang substantif bisa menjadi termasuk dalam pasal 37. Ini perdebatan lah paling tidak. tidak begitu tegas,” tambahnya.
Selain itu, dia juga menyoroti soal kewenangan KLHK yang menjadi tidak jelas. Karena dala penjabarannya terdapat perubahan frasa dari Menteri menjadi pemerintah pusat.
“Kewenangan KLHK juga tidak jelas, pasal mengubah menteri menjadi pemerintah pusat. Apakah akan otomatis diberikan kepada KLHK? Ini masih belum pasti disebutkan di UU Cipta Kerja. Kemudian, penjatuhan sanksi, bahwa KLHK misalnya diberikan kewenangan sampai pemberian sanksi, kemudian pasal 88, ada perubahan kata. Bisa jadi perubahan ini penghapusan pasal 102 UU 32/2009,” kata dia.
“Jika memang tujuannya untuk mempermudah perizinan, mengapa melakukan perubahan terhadap sanksi. Sanksi tidak ada hubungannay dengan izin. Usaha untuk meringankan sanksi seperti ingin mengatakan kepada kepada investor, bahwa izinnya gampang dan enggak perlu khawatir atas konsekuensi hukum jika ada pelanggaran. penekanan dalam sanksi administratif, seolah-olah sanksi administrasi kita itu sempurna. Padahal sanksi administrasi kita gagal secara konseptual memberikan efek jera,” tutupnya.
Sementara itu, Wakil Menteri ATR/BPN Surya Tjandra ketika dimintai tanggapan soal UU Cipta Kerja yang menyangkut cluster pasal agraria, tidak merespon permintaan wawancara Law-Justice. Pertanyaan yang diajukan pun tidak dibalas melalui pesan singkat.
UU Cipta Kerja Kepentingan Siapa?
Kisruh soal UU Cipta Kerja terus bergulir hebat karena UU ini dianggap merusak tatanan hukum yang sudah berjalan selama ini mulai dari sektor ketenagakerjaan, agraria hingga lingkungan hidup.
Menanggapi persoalan ini, Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menyebutkan, persoalan paling krusial berada pada pasal-pasal yang mengatur soal ketenagakerjaan. Kata Karyono, persoalan ketenagakerjaan bisa berdampak kepada puluhan juta tenaga kerja di Indonesia.
“Yang paling krusial adalah pasal ketenagakerjaan, karena berdampak pada seluruh pekerja. Selain itu ada juga soal lingkungan hidup, terutama soal bank tanah,” ungkap Karyono dalam diskusi Webinar.
“Pemerintah yang mengajukan RUU ini menyatakan bahwa semua hak masyarakat dijamin atau pun pasal-pasal yang lain terkait lingkungan. Soal bank tanah versi pemerintah memberikan narasi reformasi agraria, distribusi tanah kepada masyarakat. Pihak yang kontra memberikan argumen yang lain, jangan-jangan nanti tanah dikuasai kapitalis sehingga menimbulkan polemik di masyarakat,” tambah Karyono Wibowo.
Sementara itu penyikapan terhadap Omnibus Law kluster Undang-Undang Cipta Kerja masih belum padu, sehingga proses judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) diharap memberi jalan keluar terbaik demi keadilan bagi para pekerja dan semua masyarakat.
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban menegaskan, sebenarnya KSBSI sudah tegas menolak Omnibus Law UU Ciptaker, namun dengan cara-cara yang baik dan konstitusional. Bahkan ketika sudah disahkan menjadi UU, ada tuntutan agar Presiden Jokowi keluarkan Perrpu untuk membatalkannya.
“Saat ini pun, kita para buruh sudah siapkan materi Judicial Review ke MK. Itu kita lakukan karena banyak kepentingan kami tidak diakomodir dalam UU Cipta Kerja itu,” jelas Elly.
Hanya saja, Elly tidak menampik, dalam aksi demo buruh tolak Omnibus Law, ada yang mencuri panggung, dan ingin dikenal di depan oleh masyarakat.
Padahal kalau memang tulus menolak, jelas Elly, maka mestinya fokus pada apa yang menjadi penolakan itu. Sedangkan tujuan serikat pekerja menolak Omnibus Law adalah agar nasib buruh benar-benar diperhatikan dan harkat martabat buruh di Indonesia bisa diangkat.
“Demonstrasi kami para buruh tidak sampai mendesak pak Jokowi mundur. Saya menjamin, demo dari para buruh tidak sampai melakukan pengrusakan, penjarahan, pembakaran. Kami garansi tak ada bagian kami melakukan itu. Bahkan kami tak ada menyampaikan statemen yang provokatif,” tegas Elli.
Sedangkan dari sisi politik dan intelijen, Stanislaus Riyanto menyayangkan aksi unjuk rasa para buruh dan mahasiswa yang sejatinya dijamin undang-undang, justru diwarnai kekerasan ataupun serangan terhadap aparat keamanan dan perusakan fasilitas umum.
Stanislaus menduga, terjadinya kekerasan dan serangan terhadap aparat keamanan dan perusakan fasilitas umum terlihat sudah direncankan. Hal itu terbukti dari temuan adanya orang-orang yang menyusup dalam kelompok buruh dan mahasiswa dengan membawa peralatan seperti besi panjang, batu, bahkan molotov.
“Alat-alat tersebut dibawa tentu saja bukan untuk mendukung penolakan UU Cipta Kerja tetapi untuk menciptakan kondisi kacau dan rusuh, dan mengarah kepada delegitimasi pemerintah,” jelasnya.
Stanislaus menyebut ada tiga kelompok dalam unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja yang terjadi di berbagai kota di Indonesia. Kelompok pertama adalah mahasiswa dan buruh yang tujuan utamanya murni mengkritisi UU Cipta Kerja.
“Kelompok pertama ini sangat jelas identitasnya, tempat kerjanya jelas, kampusnya jelas. Mereka menggunakan hak menyampaikan pendapat yang dilindungi Undang-Undang,” kata Stanislaus dalam diskusi Webinar, Jumat, (16/10/2020)
Kemudian kelompok kedua, adalah para pengikut, pengejar eksistensi, korban propaganda hoaks di media sosial. Kelompok ini didominasi oleh remaja-remaja yang nyaris sebagian besar tidak paham konten UU Cipta Kerja.
“Kelompok kedua ini mudah diprovokasi untuk menyerang aparat,” lanjutnya.
Adapun kelompok ketiga, Stanislaus menyebut mereka sebagai para penumpang gelap, menumpang isu penolakan UU Cipta Kerja untuk kepentingannya sendiri/kelompok.
“Ciri khas dari kelompok ini dapat dilihat dari aksi dan narasinya,” jelas Stanislaus.
Ia memaparkan, aksi yang dilakukan kelompok jenis ketiga ini menjurus pada kekerasan dan perusakan dilakukan oleh kelompok anarko. Sedangkan narasi yang disampaikan melenceng dari UU Cipta Kerja, misalnya narasi lengserkan Presiden atau sentimen terhadap etnis tertentu, dilakukan oleh kelompok politis dan ideologis.
“Bukti dari adanya kelompok ketiga ini adalah adanya penangkapan oleh Polri terhadap para pelaku, yang bukan berasal dari komponen buruh dan mahasiswa,” jelas Stanislaus.
APINDO Puas Hasil UU Cipta Kerja
Wakil Ketua Komisi Tetap Pembiayaan Infrastruktur Bidang Konstruksi & Infrastruktur KADIN/Kabid Fiskal Perbankan & Asuransi SOKSI, Irvan Rahardjo menilai UU Cipta Kerja juga memberikan peluang bagi usaha Syariah.
Siapa pun yang memegang prinsip syariah dan dengan berkoperasi akan mendapat peluang berusaha, karena pendirian koperasi jadi lebih mudah dan adanya kepastian hukum untuk koperasi syariah. Apalagi berdasarkan data pada awal 2020, Koperasi Simpan Pinjam Pembiayaan Syariah dan Koperasi memiliki total aset hingga Rp6,6 triliun.
“Ini tentunya kabar baik. Koperasi dengan Prinsip Syariah sekarang sudah dijamin dalam UU Cipta Kerja. Pendirian koperasi dengan prinsip syariah sudah mudah dengan adanya Pasal 86 UU Cipta Kerja yang menambahkan Pasal 44A dalam UU Perkoperasian,” jelasnya.
Irvan memaparkan, UU Cipta Kerja sejatinya sangat baik, yakni memperkuat sektor Usaha Mikro Kecil dan Menangah (UMKM) serta mempermudah investasi untuk penciptaan lapangan kerja. Keberpihakan pada UMKM ini, jelas Irvan, tentu penting dan strategis, karena sektor ini vital bagi kemajuan ekonomi Indonesia. Pada 2018, sektor UMKM menyumbang Rp8.573,9 Triliun terhadap total PDB yang besarnya Rp14.838,3 triliun, sehingga kontribusi UMKM terhadap PDB Indonesia mencapai 57,8%.
“Kontribusi UMKM memang besar namun dari sisi nilai tambah masih rendah terhadap PDB secara keseluruhan,” jelas Irvan.
Ia mengingatkan, peranan UMKM terhadap perekonomian nasional sangat besar. Diantaranya peranan terhadap jumlah unit usaha mencapai 99.9%, peranan terhadap penyerapan tenaga kerja mencapai 97%, dan peranan terhadap PDB mencapai 61%.
Selain itu, sambung Irvan, data menunjukkan tenaga kerja Indonesia didominasi pada sektor mikro dengan jumlah 107.3 juta orang, setara dengan 89%. Sisanya mengisi sektor kecil menengah, dan usaha besar dengan total 13.1 juta orang.
Bahkan, tegas Irvan, salah satu inti UU Cipta Kerja, adalah pengaturan yang membuka selebar-lebarnya akeses pasar dan tempat usaha, sehingga potensi tumbuh UMKM semakin besar.
“Hal ini terlihat dalam Pasal 97 dan 104 UU Cipta Kerja, dimana pemerintah memberikan peluang bagi para pelaku Usah Mikro dan Kecil (UMK) dengan memberikan porsi paling sedikit 40% dari hasil produk dalam negeri untuk pengadaan barang/jasa pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sesuai ketentuan perundang-undangan,” jelasnya.
Secara rinci, Irvan menyebut 6 (enam) poin peran UU Cipta Kerja bagi Koperasi dan UMKM. Yakni meningkatkan penyerapan tenaga kerja; Menjadikan koperasi sebagai lemabaga ekonomi pilihan masyarakat; Memperkuat posisi UMKM dalan ranah pasok; Akselerasi Digitalisasi KUMKM; memberikan pembiayaan yang mudah dan murah bagi UKM; dan memberi prioritas pasar bagi produk UMKM.
Sementara itu, penyikapan terhadap Omnibus Law kluster Undang-Undang Cipta Kerja masih belum padu, sehingga proses judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) diharap memberi jalan keluar terbaik demi keadilan bagi para pekerja dan semua masyarakat. []
Penulis Januardi Husin, Yudi Rachman