[OPINI] Peringatan Hari Migran Internasional: Menuntaskan PR Lama Perlindungan Pekerja Migran Indonesia
JAKARTA – Migrasi Internasional telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama ditengah-tegah gelombang globalisasi saat ini. Data dari IOM tahun 2020 menyatakan ada sebanyak 272 juta populasi di dunia yang bermigrasi dari negara asalnya ke negara lain dan 75 juta diantaranya menetap di Asia.
Indonesia termasuk salah satu Negara pengekspor migran terbesar di dunia, laporan CNN dari Kongres Indonesia Network (IDN) pada tahun 2015 memprediksi setidaknya ada 7-8 juta warga negara Indonesia di luar negeri sebagai pekerja profesional, pekerja migran, mahasiswa, dan pengantin asing. Jumlah yang cukup signifikan ini memberikan kontribusi yang cukup banyak bagi pemasukan negara.
Migrant Care melaporkan ada Rp 169 triliun dana remitansi yang dikirim ke Indonesia dari pekerja migran Indonesia pada 2019. Jumlah ini mencapai 10 persen dari target pendapatan negara dalam APBN 2020 sebesar Rp 1.699,9 triliun.
BNP2TKI menyebut pendapatan dari remitansi pekerja migran Indonesia merupakan terbesar kedua penyumbang APBN setelah sektor migas.
Jumlah kontribusi riil yang sangat besar ini nyatanya tidak dibarengi keseriusan perlindungan pekerja migran Indonesia. Pekerja Migran Indonesia masih dipandang sebagai objek, bukan subjek sebagai mitra pemerintah dalam mendatangkan devisa negara.
Hampir 64 persen dari populasi yang bermigrasi ke luar negeri bekerja sebagai pekerja migran dan mayoritas diantaranya bekerja di Taiwan, Malaysia, Hong Kong, Singapura dan Arab Saudi.
Pekerja migran ini sebagian besar bekerja sebagai pekerja domestik, perawat orang tua, pekerja pabrik dan pekerja perkebunan. Rendahnya level pendidikan tenaga kerja yang dikirimkan, mayoritas (68%) lulusan SD dan SMP (BNP2TKI, November 2019), menyebabkan pekerja migran ditempatkan pada pekerjaan 3D (dirty, demeaning, and dangerous) dengan gaji yang jauh lebih rendah dari pekerja lokal.
Terutama bagi pekerja domestik dan perawat orang tua yang harus bekerja lebih dari 18 jam setiap harinya dan terkadang harus melakukan dua atau tiga jenis pekerjaan yang sama sekali tidak tercantum dalam kontrak kerja.
Seperti di Taiwan, perawat professional dari warga lokal yang menjaga orang tua selama lebih dari 8 jam (hampir 24 jam) digaji sebanyak 60.000 NT (Rp. 27.000.000) setiap bulannya, namun pekerja migran dengan pekerjaan yang sama bahkan terkadang ditambah dengan pekerjaan rumah tangga seperti memasak dan bersih-bersih rumah hanya digaji sebanyak 18.000NT (Rp. 8.100.000) belum lagi terkadang harus mengalami pemotongan gaji setiap bulannya.
Masih banyak lagi rentetan permasalahan seperti rendahnya pekerja migran yang mengakses layanan kesehatan karena takut dipulangkan ke Indonesia kalau ketahuan mengidap penyakit tertentu tanpa adanya tunjangan atau pesangon, tingginya angka kecelakaan kerja yang disebabkan waktu kerja yang terlalu panjang atau tidak ada pergantian shift yang wajar (banyak pekerja migran selalu kebagian shift malam), tidak tersedia tempat tinggal yang layak dan makanan yang sesuai bagi kebutuhan seorang Muslim dimana mayoritas pekerja migran beragama Islam, menunjukkan masih lemahnya perlindungan negara terhadap pekerja migran.
Payung Hukum Perlindungan Warga Negara di Luar Negeri
Indonesia, sebagai negara berdaulat dan berlandaskan hukum memiliki payung hukum yang lebih dari cukup untuk mengoptimalkan perlindungan bagi warga negaranya yang berada di luar negeri. Landasan utama Undang-Undang Dasar 1945 UUD 1945 pada Alinea IV secara gamblang menyatakan ”melindungi segenap bangsa dan seluruh lumpah darah Indonesia”, mengamanatkan adanya perlindungan bagi WNI dimanapun berada. Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri Pada Pasal 19 menyebutkan: “Perwakilan Republik Indonesia berkewajiban untuk memberikan pengayoman, perlindungan dan bantuan hukum bagi warga negara dan badan hukum Indonesia di luar negeri sesuai dengan peraluran perundangundangan nasional serta hukum kebiasaan internasional.
Dan yang baru saja diresmikan Undang-undang no.18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, memiliki aturan yang komprehensif untuk melindungi pekerja migran yang berada di luar negeri, namun hanya saja seperti aturan perlindungan WNI lainnya, implementasinya masih jauh panggang dari api.
Masih sedikitnya peraturan turunan berupa PP atau Permen sebagai implementasi UU no 18 Tahun 2017 membuat proses penegakan aturan secara teknis menjadi lemah.
Penegakan hukum UU No 18 Tahun 2017 menjadi amat penting. Misalnya soal perlindungan pekerja informal di luar negeri. Mayoritas pekerja migran Indonesia bekerja di sector informal. Negara-negara yang menjadi tujuan Pekerja Migran Indonesia seperti Uni Emirat Arab, tidak memiliki satupun regulasi untuk perlindungan pekerja migran yang bekerja di sektor informal. Sehingga perlindungan yang tegas dan nyata harus diberikan dari dalam negeri.
Ketahanan Keluarga Pekerja Migran
Disamping masalah perlindungan bagi pekerja migran baik dalam proses pemberangkatan, selama bekerja di luar negri, hingga kembali ke tanah air, hal penting yang tidak boleh luput dari perhatian pemerintah adalah keluarga pekerja migran.
UU no. 18 tahun 2017 tentang perlindungan pekerja migran Indonesia secara gamblang menyatakan bahwa perlindungan meliputi tidak hanya pekerja migran, tetapi juga keluarganya. Tingginya angka perceraian merupakan salah satu dampak yang tidak diinginkan dari migrasi internasional. Namun selain itu, ada dampak krusial lainnya yang seharusnya menjadi perhatian dari pemerintah. Yakni, anak-anak yang ditinggalkan oleh ayah atau ibunya yang bekerja ke luar negeri.
Ada sebanyak 11,2 juta anak pekerja migran yang ditinggalkan oleh orangtuanya (KPAI, 2016), dan mengakibatkan dampak yang tidak bisa dianggap remeh begitu saja. Banyak anak-anak yang mengalami permasalahan dengan prestasi belajarnya, gangguan psikologi, terlibat perilaku berisiko seperti merokok, mengkonsumsi narkoba, pergaulan bebas, bahkan tidak sedikit yang menjadi korban kekerasan seksual.
Kondisi anak-anak yang rapuh menjadikan mereka sebagai sasaran empuk berbagai aktivitas negatif ditambah lagi kurangnya pengawaan langsung dari pihak orang tua. Tahun 2030-2045 Indonesia diprediksi akan mengalami bonus demografi dimana 70 persen populasi Indonesia merupakan penduduk usia produktif dan 11,2 juta anak-anak pekerja migran ini akan menjadi bagian dari bonus demografi tersebut.
Bonus demografi ini akan menjadi pisau bermata dua, jika bisa dipersiapkan dengan baik dan matang akan menjadikan Indonesia sebagai bangsa besar dan berkualitas, namun di sisi lain, jika pemerintah lenggah dan tidak bisa menciptakan SDM yang berkualitas kelebihan populasi usia produktif justru akan menjadi beban bagi negara.
Konstitusi sudah menjamin perlindungan keluarga pekerja migran. Jaminan yang memadai dari negara terhadap keluarga para pahlawan devisa ini akan semakin mengukuhkan ketahanan keluarga pekerja migran Indonesia. Salah satu dampaknya adalah semakin tenangnya pekerja migran Indonesia dalam bekerja dan hasilnya pada akhirnya akan kembali dinikmati oleh negara.
Sinergi Untuk Negeri
Migrasi internasional adalah sebuah fenomena global yang tidak dapat dihindari. Negara-negara yang memiliki masalah dengan rendahnya angka kelahiran dan tingginya aging society menaruh harapan tinggi pada pekerja migran. Seperti Jepang yang baru saja mengeluarkan aturan baru terkait imigrasi yang memudahkan persyaratan bagi pekerja migran untuk bekerja di sektor industri dan menjadi perawat orang tua.
Tantangan besarnya saat ini adalah dampak merebaknya pandemi Covid-19 terhadap penempatan pekerja migran Indonesia. Saat ini tercatat Taiwan memperpanjang larangan bagi Pekerja Migran Indonesia untuk masuk ke negara Formosa. Taiwan menemukan pekerja migran Indonesia positif Covid-19 saat masuk ke negaranya.
Taiwan yang serius dan berhasil dalam upaya menekan penyebaran Covid-19 menghentikan masuknya seluruh pekerja Migran Indonesia. Taiwan bahkan memperpanjang larangan ini karena pemerintah Indonesia dianggap tak serius dalam mengatasi persoalan ini. Namun di sisi lain, pemerintah Indonesia justru menyalahkan Taiwan sebagai penyebab munculnya positif Covid-19 pekerja migran Indonesia yang harus melalui karantina.
Perbedaan standar tes saat keberangkatan dengan tes di Taiwan juga harus menjadi catatan. Keberangkatan ke luar negeri yang bisa dilakukan dengan hanya melakukan rapid test harus diubah menjadi tes usap PCR agar hasilnya sesuai standar negara penempatan. Catatannya biaya tambahan untuk tes usap PCR harus dibebankan kepada perusahaan penyalur.
Pandemi Covid-19 ini juga mengharuskan sebuah kebijakan terkait perlindungan bagi Pekerja Migran Indonesia selama pandemi. Komite Penanggulangan Covid dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KCP PEN) harus juga merumuskan kebijakan holistic terhadap perlindungan PMI dari persebaran Covid-19. Perwakilan Pemerintah RI di luar negeri harus memastikan warga negara Indonesia yang berada di luar negeri terlindungi secara kesehatan dan aktivitas. Termasuk diantaranya rencana vaksinasi yang diadakan oleh negara-negara dimana tempat PMI berada, perlindungan dari kepastian dalam bekerja dan jaminan sosial yang diberikan.
Perbaikan-perbaikan dalam perlindungan pekerja migran Indonesia secara fundamental bisa dilakukan dengan beberapa cara.
Pertama, mengoptimalkan implementasi UU no. 18 tahun 2017 tentang perlindungan pekerja migran dengan membuat PP dan Permen turunan dari UU terkait; Kedua, optimalisasi persiapan pekerja migran yang akan diberangkatkan dan keluarga yang akan ditinggalkan dengan memangkas peran swasta salah satunya dengan mempersiapkan BLK; Ketiga, membebankan placement fee kepada calon majikan sehingga yang membutuhkan jasa pekerja migran benar-benar memiliki tanggung jawab.
Keempat, memberdayakan pekerja migran saat masih berada di luar negeri dan setelah kembali ke Indonesia (purna migran) sehingga dapat memutus mata rantai pekerja migran yang bermigrasi terlalu lama di luar negeri. Hal penting lainnya yang juga perlu dipertimbangkan adalah meningkatkan skill dan profesionalisme pekerja Indonesia yang dikirimkan ke luar negeri, sehingga dapat menaikkan bargaining position pekerja Indonesia.
Sebagaimana diamanatkan dalam UU no.18 tahun 2017 tentang perlindungan pekerja migran, pekerja migran dikategorikan pada tiga tingkatan : high level, middle level dan low level. Selama ini fokus negara lebih ke pekerja migran low level , sehingga perlu ada strategi khusus untuk meningkatkan level pekerja menjadi middle level.
Selain meningkatkan kemampuan dan level pekerja, usaha pemerintah untuk membangun persepsi postif mengenai pekerja migran salah satunya dengan menjadi Duta Pariwisata juga perlu didukung secara penuh. Semenjak diresmikannya Masyarakat Ekonomi ASEAN pada tahun 2015, banyak SDM Indonesia yang bekerja di negara-negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam sebagai tenaga kerja profesional (middle dan high level). SDM Indonesia dikenal sebagai pekerja keras dan berkualitas.
Negara-negara Asia Timur seperti Jepang, Korea, dan Taiwan yang mengalami krisis tenaga kerja produktif juga mulai membuka pintu bagi tenaga kerja professional dari negara ASEAN, termasuk Indonesia. Peluang ini dapat dimanfaatkan oleh pemerintah untuk lebih mendorong kepada pengiriman tenaga kerja profesional ke luar negeri.
Data dari Oxford Economy mengenai Global Talent 2021 menyebutkan dari 54 persen lulusan universitas di dunia negara teratas yang menyumbangkan talen terbanyak adalah Brazil, China, India, Indonesia, Mexico, Rusia dan Turki. Di sisi lain, Taiwan, Jepang, Polandia, Italia, Cili dan Korea Selatan merupakan negara yang mengalami penurunan talen terbesar di dunia.
Taiwan, Jepang dan Korea Selatan termasuk tujuan favorit bagi pekerja dari Indonesia, menyikapi trend yang terjadi terkait kemampuan negara dalam mempersiapkan SDM dan tenaga kerja produktif berkualitas, Indonesia memiliki peluang besar untuk mengisi kekosongan yang terjadi di tiga negara tersebut.
Terkait dengan anak yang ditinggalkan oleh orang tuanya pergi bekerja ke luar negeri, perlu dibantu dengan social support yang tepat baik oleh pemerintah pusat dan daerah, sekolah, serta masyarakat sekitar. Community Parenting yang sempat diwacanakan oleh kementrian tenaga kerja sebagai bagian dari program desmigratif perlu untuk segera diterapkan. []
Penulis Dr Kurniasih Mufidayati, Anggota Komisi IX DPR RI