[OPINI] Saat PMI Kehilangan Pekerjaan Karena Pandemi
JAKARTA – Selain mengganggu sistem kesehatan, pandemi COVID-19 juga mengakibatkan para pekerja migran di Indonesia di berbagai negara kehilangan pekerjaan. Baik karena masa kontrak mereka habis, ataupun akibat pembatasan mobilitas sehingga para pekerja tidak bisa balik ke negara tempat kerja maupun gagal berangkat ke negara tujuan lainnya.
Kelesuan ekonomi akibat berbagai pembatasan mobilitas berdampak pada pengurangan tenaga kerja di sektor formal maupun pekerja rumah tangga. Pembatasan pintu keluar masuk antarnegara juga menyulitkan pekerja migran masuk ke negara tujuan.
Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menyatakan, sampai Agustus 2020, 176.000 pekerja migran asal Indonesia (PMI) terpaksa pulang ke tanah air.
Bukan hanya persoalan kehilangan pekerjaan, PMI yang masih bekerja, dalam beberapa kasus, juga tidak mendapatkan fasilitas kesehatan saat terinfeksi COVID dan dipaksa bekerja meski sedang sakit. Ini terjadi di Hong Hong dan Taiwan.
Berkurangnya jumlah pekerja migran bisa dilihat dari berkurangnya jumlah remitansi masuk ke Indonesia. Penurunannya dari sekitar US$2,9 juta (medio 2019) menjadi US$2,6 juta (awal 2020).
Pertanyaan besarnya: bagaimana mengatasi masalah mantan pekerja migran ini yang pulang ke negeri sendiri? Sebab, pada saat bersamaan, World Employment and Social Outlook (WESO) memperkirakan pada 2022 angka pengangguran secara umum di Indonesia masih berkisar 6,1 juta orang. Angka ini masih lebih tinggi dibandingkan masa sebelum pandemi.
Perlindungan PMI dan peningkatan kapasitas
Pemerintah Indonesia dan lembaga advokasi isu pekerja migran, Migrant Care, masing-masing mempunyai pemikiran untuk menyelesaikan permasalahan PMI terdampak pandemi, baik untuk jangka pendek maupun panjang.
Pertama, Kementerian Ketenagakerjaan Indonesia pada Januari 2021 mengatakan bahwa pemerintah sedang memastikan protokol kesehatan yang berlaku di negara tujuan. Pemerintah juga berencana memastikan nota kesepahaman tentang kesempatan dan perlindungan kerja dengan negara tujuan untuk melindungi PMI dari keterlantaran. Sampai saat ini, kasus COVID masih tinggi di beberapa negara tujuan PMI seperti Korea Selatan, Jepang, dan Hong Kong.
Usul ini memang tepat untuk mencegah PMI menjadi terlantar COVID-19. Namun, bagaimana memastikan aturan ini dipatuhi oleh pemerintah negara tujuan?
Aturan ini sebaiknya berjalan beriringan dengan usul lain yang bersifat jangka menengah seperti penyediaan tempat tinggal untuk PMI yang terdampak COVID-19 ataupun yang menjadi korban kekerasan.
Usul ini justru mulai diadopsi pemerintah Singapura dengan mendirikan dua asrama baru bagi pekerja migran di Kranji, Tuas, Admiralty, Choa Chu Kang, dan Tampines dengan kapasitas total 25.000 tempat tidur. Asrama ini didesain lebih tahan risiko kesehatan publik, termasuk pandemi.
Tempat tinggal sementara yang disediakan oleh negara penerima dan pengirim bagi PMI terdampak COVID dan kasus kekerasan dapat menurunkan risiko PMI yang mengalami kekerasan ataupun terlantar.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo mendorong pemerintah Indonesia untuk meningkatkan keunggulan kompetitif pekerja migran. Caranya dengan meningkatkan kemampuan PMI dari berkemampuan rendah menjadi menengah atau tinggi.
Penulis melihat bahwa usulan tersebut menjanjikan untuk jangka menengah dan panjang. Di Eropa misalnya, kebutuhan pekerja berkemampuan tinggi “memaksa” Jerman melonggarkan kebijakan imigrasi bagi pekerja berkemampuan tinggi non-Uni Eropa.
Pekerja berkemampuan tinggi, menurut International Labour Organization (ILO), adalah pekerja level 3-4 yang membutuhkan teknik khusus atau kemampuan akademik yang tinggi. Misalnya profesional (guru atau dosen) dan teknisi (insinyur).
Namun, alternatif seperti ini perlu melihat segmentasi pasar tenaga kerja. Sebagai ilustrasi, saat ini Kementerian Tenaga Kerja Indonesia hanya menempatkan PMI di 17 negara (Hungaria, Hong Hong, Irak, Arab Saudi, Korea Selatan, Maladewa, Nigeria, Persatuan Emirat Arab, Polandia, Qatar, Rusia, Singapura, Swedia, Swiss, Turki, Zambia, dan Zimbabwe).
PMI yang dikirim ke Turki dan Maladewa berkemampuan dalam industri perhotelan. Sedangkan Hungaria adalah negara tujuan bagi PMI berlatar belakang kemampuan permesinan.
Spesifikasi penawaran tenaga kerja seperti ini sebaiknya dilanjutkan, di samping terus meningkatkan mereka agar menjadi berkemampuan tinggi. Mengapa? Melatih mereka dengan kemampuan vokasional di lembaga kursus atau sekolah vokasi agar menjadi pekerja berkemampuan menengah akan memakan waktu lebih sedikit (1-2 tahun) dibanding memaksa PMI untuk menjadi pekerja berkemampuan tinggi seperti menyekolahkan mereka di program sarjana yang butuh waktu minimal 3,5 tahun.
Setelahnya, untuk jangka panjang, pemerintah bisa memfasilitasi mereka untuk menempuh pendidikan tinggi sarjana agar dapat bersaing di pasar tenaga kerja domestik atau tetap berkompetisi di pasar tenaga kerja luar negeri. Dengan mampu bersaing di pasar tenaga kerja domestik, PMI dapat menjaga keluarga serta berkontribusi pada pembangunan Indonesia.
Alternatif ini juga bisa menjadi salah satu jalan keluar mengurangi angka pengangguran lulusan SMK.
Selain masalah pekerja migran yang baru tiba, per Agustus 2021, Indonesia juga menghadapi ledakan pengangguran baru yang mencapai 2 juta orang akibat pandemi.
Adakah solusi alternatif?
Meningkatnya angka pemutusan hubungan PMI turut meningkatkan angka pengangguran Indonesia. Selain menciptakan keunggulan kompetitif dan melatih PMI untuk berkemampuan vokasional, ada tiga alternatif untuk menanggulangi isu ini.
Pertama, pemerintah bisa menambah negara mitra tujuan migran. Indonesia, misalnya, dapat memanfaatkan program Agricultural Visa yang digalakkan oleh pemerintah Australia untuk menyerap tenaga kerja pada bidang pertanian.
Pemerintah Indonesia bisa melatih PMI berkemampuan rendah untuk menguasai kemampuan pertanian. Sejauh ini, Indonesia belum menempatkan Australia sebagai negara tujuan PMI.
Pemerintah, misalnya, juga dapat melakukan riset pasar tenaga kerja negara non-mitra untuk mengetahui perkiraan jenis tenaga kerja apa yang dibutuhkan di negara anggota Uni Eropa.
Penyaluran tenaga kerja khusus pada industri di Hungaria dan tenaga kesehatan di Jepang bisa menjadi contoh bagaimana pemerintah melakukan langkah selanjutnya. Misalnya, pemerintah dapat mengidentifikasi negara Uni Eropa yang membutuhkan tenaga kerja di bidang industri atau kesehatan, kemudian pemerintah melatih PMI berkemampuan rendah untuk menguasai kemampuan pada industri tersebut dan kemampuan pada bidang kesehatan.
Kedua, pemerintah dapat memaksimalkan program Pembangunan Desa Migran Produktif (Desmigratif), selain mengutamakan masuknya remitansi. Pasalnya, remitansi menghasilkan efek samping seperti ketergantungan pada remitansi, penggunaan remitansi yang salah oleh keluarga migran, dan inflasi.
Sementara itu, Desmigratif yang digalakkan oleh pemerintah juga berpotensi membuka lapangan kerja baru sekaligus memberdayakan keluarga pekerja migran. Program seperti pengembangan UMKM dapat mengalihkan minat PMI dari yang awalnya mencari pekerjaan di luar negeri untuk bekerja mandiri di negeri sendiri.
Dengan membuka UMKM, keluarga pekerja migran juga bisa mengurangi angka pengangguran karena adanya penambahan permintaan pekerja dari UMKM.
Kesuksesan pembangunan Desmigratif di Wonosobo Jawa Tengah serta menghubungkannya dengan pelaku penyedia e-commerce menjadi ilustrasi bagaimana seharusnya program ini lebih dioptimalkan.
Terakhir, pengembangan program literasi finansial bagi PMI serta keluarganya juga bisa jadi alternatif. Solusi ini yang berhasil dilakukan di Desa Bedali, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, tidak hanya mendorong PMI untuk mengelola bisnis, melainkan juga bisa membantu mereka mengatur dana darurat agar bisa mengurangi efek negatif dari PHK.
Mengatasi PHK dan ditelantarkannya PMI akibat pandemi COVID-19 perlu solusi komprehensif. Solusi tersebut diharapkan menjadi pelengkap dari program-program jangka pendek terkait PMI yang kehilangan pekerjaan. []
Penulis : Yohanes Ivan Adi Kristianto, Doctoral Student in Political Science, Universitas Gadjah Mada