December 25, 2025

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

[OPINI] Status Bencana Nasional Bukan Ancaman, Justru Ketertutupan Negaralah yang Menjadi  Bahaya Nasional

3 min read

JAKARTA – Gempa Lombok 2018, status Bencana Nasional, respons negara lain seperti Australia, Inggris, Selandia Baru “Reconsider travel to Lombok and Gili Islands. Bali dan kota besar lain tetap aman. Negara asing melihat fungsi bandara, rumah sakit, dan jalur evakuasi, bukan label “nasional”.

Pandemi COVID-19 (2020), status Bencana Nasional non alam, respons negara lain Travel Warning ke seluruh Indonesia. Bahkan larangan masuk total untuk warga Indonesia di banyak negara. Ini pengecualian besar, karena ancaman lintas wilayah & lintas negara, risiko tidak bisa dilokalisasi, sistem kesehatan jadi faktor utama

Erupsi Gunung Merapi (berulang) status Bencana Nasional (beberapa periode), respons negara lain advisory sangat local. Fokus pada radius bahaya dan bandara terdampak, tidak pernah ada travel warning ke Indonesia secara umum. Ini data dan fakta.

Banyak kasus bencana nasional tanpa travel warning, Indonesia berkali-kali menetapkan bencana nasional, tetapi negara lain hanya memberi imbauan terbatas (level advisory rendah). Travel warning bersifat lokal/ spesifik wilayah, bukan ke seluruh Indonesia. Contoh “Hindari perjalanan ke provinsi X”. bukan, “Jangan ke Indonesia”

Anggapan bahwa penetapan bencana nasional akan memicu travel warning internasional adalah menyesatkan dan tidak berdasar fakta. Pengalaman Indonesia dan praktik internasional justru menunjukkan sebaliknya yang memicu travel warning bukan status bencana nasional, melainkan kegagalan negara mengelola krisis secara transparan, akuntabel, dan manusiawi.

Bencana nasional adalah instrumen perlindungan rakyat, bukan stigma internasional. Penetapan bencana nasional mempercepat mobilisasi anggaran dan logistik. Membuka akses bantuan internasional. Memperkuat koordinasi lintas Lembaga.

Ini mekanisme penyelamatan, bukan pengakuan kelemahan negara. Menunda atau menolak status bencana nasional justru memperlambat pertolongan korban. Mengaburkan tanggung jawab negara. Mengorbankan nyawa demi citra semu.

Travel warning tidak ditentukan oleh label “nasional”, negara lain mengeluarkan travel advisory berdasarkan luas dan lokasi dampak, keamanan infrastruktur (bandara, rumah sakit, transportasi), konsistensi dan keterbukaan informasi resmi.

Banyak bencana nasional di Indonesia tidak pernah berujung travel warning luas. Yang diberi peringatan biasanya wilayah spesifik, bukan seluruh Indonesia.

Ketertutupan dan manipulasi data justru memperburuk reputasi internasional, yang akan memicu kekhawatiran dunia internasional adalah data korban yang berubah-ubah.

Penyangkalan risiko oleh pejabat. Kriminalisasi warga dan relawan. Negara terlihat lebih sibuk menjaga citra daripada nyawa. Inilah yang membuat dunia ragu, bukan status bencana nasional.

Menolak bencana nasional membiarkan korban menanggung beban sendirian. Narasi “jangan tetapkan bencana nasional karena takut travel warning” pada hakikatnya adalah memindahkan beban negara ke pundak korban. Ini bukan kehati-hatian, tapi penghindaran tanggung jawab politik dan hukum.

Pesan kunci untuk publik dan internasional, negara yang berani mengakui krisis adalah negara yang bertanggung jawab. Negara yang menutup-nutupi bencana adalah negara yang sedang kehilangan kendali.

Jika negara takut menetapkan bencana nasional demi menghindari travel warning, maka yang sedang dijaga bukan rakyat melainkan wajah kekuasaan. Merupakan masalah yang jauh lebih berbahaya daripada peringatan perjalanan apa pun.

Bencana nasional tidak menciptakan krisis, bencana nasional mengakui krisis yang sudah nyata. Yang merusak reputasi Indonesia bukan status bencana, tetapi negara yang abai pada korban.

Menunda status bencana nasional berarti menunda keselamatan rakyat. Citra negara tidak dibangun dari penyangkalan, tapi dari keberanian bertanggung jawab.

Pertanyaannya kenapa Pemerintah setiap bencana besar datang, negara selalu sibuk menghindari satu kata bencana nasional?. Bukan karena dampaknya kurang besar, tetapi karena konsekuensinya terlalu jujur.

Status bencana nasional berarti pengakuan bahwa negara gagal mencegah, gagal melindungi, dan gagal siap. Itu sebabnya status ini dihindari. Dengan tidak menetapkannya, negara bisa menahan APBN, melempar beban ke daerah, dan tetap tampil seolah situasi “terkendali”.

Korban ribuan bukan masalah. Kota lumpuh bukan alasan. Selama status nasional tidak diumumkan, penderitaan warga bisa dikelola sebagai statistik, bukan tanggung jawab.

Pemerintah Prabowo juga tahu banyak bencana hari ini bukan murni alam. Ia lahir dari kebijakan izin tambang, perusakan hutan, tata ruang ugal-ugalan oleh pemerintah sebelumnya. Menetapkan bencana nasional sama saja membuka pintu pengakuan bahwa negara ikut bersalah. Maka yang dipilih adalah diam administratif.

Penulis pernah bertugas sebagai Area Manager Aceh dari Foundation di Amerika sewaktu Bencana Tsunami Aceh dari tahun 2005 sampai 2012.

Berpendapat bahwa negara Indonesia kuat bukan yang pandai menghindari status, tetapi yang berani bertanggung jawab. Selama bencana nasional terus ditolak, satu hal pasti yang diselamatkan bukan korban, melainkan citra kekuasaan. []

Penulis : Syafril Sjofyan, Pemerhati Kebijakan Publik

Advertisement
Advertisement

Leave a Reply