November 21, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

[OPINI] Syahwat Mengevaluasi Mahkamah Konstitusi, Operasi Melemahkan MK Melalui DPR

10 min read

JAKARTA – Adanya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 60 dan 70 terkait dengan ambang batas Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan batas umur kandidat yang akan maju di Pilkada, telah membuat kalangan DPR reaktif.

Gara gara keputusan MK No. 60 menyebabkan skenario partai-partai di DPR yang tergabung dalam Koalisi Indoneia Maju (KIM) Plus untuk memenangkan jagoannya di Pilkada jadi berantakan dibuatnya. Gara gara keputusan MK No. 70, anak sang Raja Jawa yang digadang gadang bisa ikut nyalon di Pilkada menjadi gagal karenanya.

Salah satu reaksi dari DPR dalam menyikapi keputusan MK tersebut adalah ingin mengevaluasi keberadaan MK. Sebagaimana diberitakan,  Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan bahwa lembaganya akan mengevaluasi posisi MK dalam jangka menengah dan panjang karena dianggap mengerjakan banyak urusan yang bukan menjadi kewenangannya. Menurut Doli, salah satu contohnya adalah mengenai Pilkada.

Seharusnya, menurut dia, MK meninjau ulang Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Tetapi, akhirnya MK turut masuk pada hal-hal teknis sehingga dianggap melampaui batas kewenangannya.

“Di samping itu, banyak putusan yang mengambil kewenangan DPR selaku pembuat undang-undang. Pembuat undang-undang itu hanya Pemerintah dan DPR, tetapi seakan-akan MK menjadi pembuat undang-undang ketiga,” kata Doli dalam keterangan sebagaimana dikutip media.

Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa DPR akan mengubah hierarki tata urutan peraturan perundang-undangan karena putusan MK itu final dan mengikat sifatnya. “Akibatnya, putusan MK memunculkan upaya politik dan upaya hukum baru yang harus diadopsi oleh peraturan teknis, seperti halnya dengan putusan kemarin. Akan tetapi, ketika DPR mau mendudukkan yang benar sesuai undang-undang, muncul demonstrasi mahasiswa dan kecurigaan,” begitu katanya.

Sampai disini muncul pertanyaan : apakah MK memang perlu dievaluasi kinerjanya ?. Apakah evaluasi terhadap MK saat ini merupakan upaya perbaikan atau ancaman bagi demokrasi di Indonesia ?,Bagaimana sebaiknya kiprah MK kedepannya ?

 

Pentingnya Evaluasi MK

Kata evaluasi berasal dari bahasa Inggris, yaitu evaluation yang berarti penilaian atau penaksiran. Evaluasi lembaga merupakan proses untuk menilai dan mengukur hasil kegiatan lembaga secara objektif.

Evaluasi dapat dilakukan dengan mengumpulkan informasi mengenai kinerja suatu lembaga, seperti metode, manusia, dan peralatannya. Hasil evaluasi kemudian dibandingkan dengan tolok ukur untuk memperoleh kesimpulan

Evaluasi terhadap suatu lembaga dapat membantu lembaga untuk: mengetahui pencapaian tujuan yang telah ditargetkannya, mengidentifikasi kelemahan dan kelebihan suatu lembaga, merumuskan  strategi untuk meningkatkan kinerja lembaga, menilai apakah tujuan suatu lembaga sudah dijalan sesuai dengan maksud dan tujuan dibentuknya dan sebagainya

Kalau kita menyimak gagasan untuk mengevaluasi MK sebagaimana dinyatakan oleh  Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia, evaluasi dilakukan untuk meluruskan kewenangan MK yang dinilai sudah menyimpang karena MK saat ini dinilai mengerjakan banyak urusan yang bukan menjadi kewenangannya.

Lalu apakah evaluasi itu memang diperlukan untuk memperbaiki kinerja suatu lembaga seperti MK ?. Secara umum evaluasi memang diperlukan karena bagaimanapun tidak ada suatu lembaga yang sempurna dalam menjalankan visi, misi dan program sesuai dengan kewenangannya. Karena pada hakekatnya suatu lembaga dijalankan oleh manusia manusia yang tidak lepas dari salah dan dosa

Terkait dengan MK, karena beberapa putusan MK dinilai telah melampaui kewenangan, salah satunya putusan terhadap batas usia calon presiden dan wakil presiden termasuk batas usia calon kepala daerah maka evaluasi kewenangan MK memang perlu dilakukan untuk bisa dikembalikan kepada rel yang sebenarnya. Karena jika kewenangan DPR diakomodir oleh institusi lain (seperti MK) maka pasti akan ada tumpang tindih kewenangan nantinya.

Oleh karena itu sudah sewajarnya MK,  tetap berada pada jalur dan kewenangannya yang pada saat memutus tidak menambahkan frasa atau poin lain dalam UU yang telah dikaji kembali atau ditafsirkannya. Kalau aturan,  misalnya bertentangan maka UU dikembalikan ke DPR sebagai institusi yang berwenang membuat aturan/ Undang Undang bukan kemudian mengubahnya. Karena yang membuat UU itu adalah DPR bersama pemerintah bukan MK.

Saat ini MK memang telah menggunakan kewenangan legislative review dengan mengubah dan membentuk norma yang dibatalkannya. MK bisa membatalkan pasal, lalu merumuskan sendiri pasal yang dibatalkan sesuai dengan keinginan MK.

Kewenangan demikian, hanya ada dalam bentuk pemerintahan despotik dan tiran saja. Hanya sembilan orang yang tidak dipilih langsung oleh rakyat, tanpa legitimasi suara rakyat, bisa membatalkan sekaligus membuat norma sendiri atas produk dari lembaga yang mewakili dan dipilih oleh rakyat, yaitu Presiden dan DPR.

Dalam banyak putusan, MK hari-hari ini memang telah menjelma menjadi rezim despotik itu. Setiap putusan MK tidak ada yang bisa me-review-nya. Putusan MK No. 90/2023, misalnya, telah meloloskan orang yang tidak memenuhi kriteria sebagai calon presiden dan wakil presiden menurut UU Pemilu.

Demikian juga halnya dengan Keputusan MK No.60 dan 70 dimana MK terlalu berambisi menggunakan dalil utra petita untuk mengabulkan permohonan Partai Gelora dan Partai Buruh di luar dari yang dimohon oleh pemohon sehingga membuat Fahri Hamzah dari partai Gelora menjadi murka.

Putusan MK yang merumuskan norma, adalah melampaui kewenangannya sebagai penguji UU . Melampaui kewenangan artinya MK telah bertindak sewenang-wenang sehingga bukan hanya bertentangan dengan UUD, tetapi juga bertentangan dengan maksud dan tujuan dari terbentuknya MK.

MK pada awal-awal pembentukannya  di bawah kepemimpinan Prof. Jimly Asshiidiqie masih berjalan sesuai dengan khittahnya. Kalau kita baca anotasi putusan yang lahir di periode itu, kita dapat lihat bagaimana MK begitu berwibawa, mengeluarkan putusan dengan memerintahkan DPR dan Presiden mengubahnya sesuai dengan putusan MK. Suatu cara memeriksa konstitusionalitas norma yang sangat berwibawa.

Namun belakangan, putusan-putusan MK semakin jauh dari prinsip judicial review itu. Selain melakukan judicial review, MK juga melakukan legislatif review. Akhirnya MK memiliki kewenangan sangat besar. MK berwenang menyatakan pasal-pasal yang diuji inskonstitusional (negative legislator), dan merekomendasikan pembuat UU untuk mencabut atau mengubahnya.

MK tidak berwenang membuat norma terhadap pasal yang inkonstitusional itu. Seperti kata Dr. Ahmad Yani dalam tulisannya di Kompas.com (23/8/2024), MK “haram” membentuk norma. Sifat itu melekat bagi MK dalam menguji konstitusionalitas UU.

MK sederhananya sebagai legislator dalam arti negatif karena berwenang untuk menghapus/membatalkan suatu norma dari UU, berlawanan dengan fungsi parlemen/lembaga legislatif sebagai legislator dalam arti positif.

Sebagai negative legislator, MK hanya berwenang melakukan judicial review untuk menghapus/membatalkan norma. Norma yang dihapus dan dibatalkan itu, harus disampaikan kepada pembuat UU untuk dilakukan perubahan dan penyempurnaan lewat legislatif review. Maka pembuatan norma oleh MK sudah melenceng jauh dari maksud terbentuknya MK sebagai lembaga negara yang bertugas untuk melakukan judicial review.

Jadi, peran pembuat suatu peraturan itulah yang akan mencabut sendiri peraturan yang dibuatnya. Karena itu, pengujian konstitusionalitas UU adalah untuk membatalkan norma yang dinilai melanggar konstitusi atau bertentangan dengan konstitusi.

Berdasarkan argumentasi sebagaimana dikemukakan diatas, evaluasi terhadap MK sebagaimana digagas oleh  Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia adalah sah sah saja dan DPR memang mempunyai otoritas untuk melakukannya untuk mengembalikan fungsi MK sesuai dengan kewenangannya

 

Dilema Evaluasi MK

DPR, sebagai lembaga legislatif, memiliki hak dan kewenangan untuk melakukan evaluasi terhadap institusi-institusi negara termasuk MK. Namun, pertanyaan yang muncul adalah apakah evaluasi terhadap MK ini didasarkan pada kebutuhan untuk memperkuat sistem ketatanegaraan atau justru merupakan bentuk tekanan politik kepada MK yang telah bertindak tidak sesuai dengan kehendak DPR yang diduga menjadi kepanjangan tangan penguasa ?

Dalam konteks ini, penting untuk memahami bahwa MK adalah lembaga yang berfungsi sebagai menjaga konstitusi dari kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan oleh legislatif maupun eksekutif. Evaluasi yang dilakukan tanpa dasar yang kuat dan objektif justru dapat menciptakan preseden buruk bagi demokrasi Indonesia.

Selain itu, perlu diperhatikan bahwa kepercayaan publik terhadap DPR sendiri tidak berada pada posisi yang kuat. Berdasarkan survei LSI pada tahun 2023, tingkat kepercayaan publik terhadap DPR/DPRD adalah 58%, dengan hanya 7% yang sangat percaya dan 51% cukup percaya, sementara 31% kurang percaya dan 5% tidak percaya sama sekali.

Data ini menunjukkan bahwa ada keraguan di kalangan masyarakat terhadap kemampuan DPR untuk melakukan fungsi pengawasannya secara objektif dan transparan. Sehingga ada keraguan di ranah publik terhadap DPR yang akan mengevaluasi MK.

Wajar kalau beberapa pengamat hukum tata negara dan pakar kebijakan publik mengkhawatirkan bahwa langkah DPR  untuk mengevaluasi MK dinilai sebagai upaya untuk mengooptasi MK.

Herdiansyah Hamzah dari Constitutional and Administrative Law Society (CALS) bahkan secara tegas menyebutkan bahwa DPR akan melakukan segala cara agar MK bisa dikooptasi. “DPR akan melakukan segala cara agar MK bisa dikooptasi,” ujar Castro, sapaan akrabnya (cnnindonesia.com, 30 Agustus 20240.

Menurutnya, upaya ini terlihat jelas pasca-putusan MK terkait ambang batas pencalonan dan syarat usia calon kepala daerah, yang menutup peluang bagi putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, untuk maju dalam Pilkada 2024.

Menurut Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran (Unpad) Prof. Susi Dwi Harijanti menilai rencana DPR RI untuk mengevaluasi MK dapat mengancam independensi MK.

“Kalau terjadi balasan-balasan semacam ini melalui evaluasi, independensi MK itu dalam posisi bahaya. Ketika independensi MK  dalam posisi bahaya karena diserang terus oleh lembaga politik, itu terjadi politicization of the judiciary, politisasi lembaga pengadilan,” kata Prof. Susi seperti dikutip media,  Kamis (30/8/2024).

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menjadi salah satu lembaga yang menyuarakan kecaman terhadap DPR yang akan mengevaluasi MK. PSHK menilai publik bersama MK harus melawan rencana DPR RI itu demi menjaga independensi MK.”MK dan publik perlu bersiap melawan,” tutur peneliti PSHK Violla Reininda kepada CNNIndonesia.com melalui pesan tertulis, Jumat (30/8).

“Jika pengurangan kewenangan konstitusional tersebut terjadi, maka independensi MK semakin terganggu dan MK tidak dapat menjalankan fungsi konstitusional sebagaimana mestinya,” begitu katanya seperti dikutip media. Violla kemudian mengatakan keinginan DPR itu tak mengherankan. Sebab, MK beberapa waktu terakhir kerap membatalkan legislasi DPR dan Presiden setelah judicial review.

Ia pun menilai berbagai putusan MK itu kerap mengganggu upaya DPR dan Presiden, seperti yang terjadi dalam UU Pilkada.”Tidak mengherankan jika DPR menyampaikan hal tersebut, sebab sejumlah legislasi bermasalah yang dihasilkan oleh DPR dan Presiden trennya langsung di-judicial review ke MK sesaat setelah disahkan, kemudian beberapa dibatalkan atau ditafsirkan agar bernilai konstitusional oleh MK,” ujar Violla.”Dalam tanda kutip, beberapa putusan MK mengganggu upaya DPR dan Presiden melakukan otokrasi legalisme,” sambungnya.

Penilaian minor yang disampaikan oleh para pengamat terhadap DPR yang akan mengevaluasi MK kiranya sangat beralasan mengingat DPR sendiri bersama Pemerintah tidak konsisten dalam menyikapi keputusan MK. Sebagai contoh tanggapan DPR RI dan Pemerintah terhadap Putusan MK  Nomor 70/PUU-XXII/2024 sangat berbeda dengan tanggapan terhadap Putusan MK Nomor 90.

Menyikapi keputusan MK No. 70/2024 Badan Legislasi (Baleg) DPR sangat cepat dalam menanggapi putusan MK dengan menyetujui revisi RUU Pilkada untuk menganulir keputusan MK guna meloloskan Kaesang Pangarep anak Jokowi Raja Jawa agar bisa maju di Pilkada. Dalam hal ini DPR tidak mengakui kalau keputusan MK itu bersifat final dan mengikat.

Berbanding terbalik ketika Putusan MK Nomor 90/2023 dimana DPR dan bahkan Presiden langsung menyatakan bahwa keputusan MK itu bersifat final dan mengikat dan KPU langsung membuat Peraturan KPU-nya untuk menguatkannya. Sementara DPR sendiri tidak meributkan atau menolaknya bahkan cenderung mengamininya. Maklum Keputusan MK No. 90/2023 saat itu diperuntukkan untuk memuluskan langkah Gibran Rakabuming Raka untuk maju menjadi calon wakil Presiden mendampingi Prabowo.

Dengan mempertimbangkan fenomena tersebut maka jika evaluasi terhadap MK dilakukan tanpa dasar yang kuat dan independen, maka ada risiko bahwa DPR akan mengubah struktur dan peran MK sedemikian rupa sehingga justru melemahkan fungsi pengawasan konstitusionalnya. Hal ini dapat berdampak negatif terhadap penegakan hukum dan keadilan di Indonesia.

Pada hal sebagai negara demokrasi, Indonesia membutuhkan lembaga peradilan yang independen dan berani untuk menegakkan konstitusi, termasuk ketika berhadapan dengan lembaga-lembaga negara lainnya.

Lebih jauh lagi, revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) yang direncanakan oleh DPR juga menimbulkan kekhawatiran akan adanya upaya untuk mengurangi kewenangan MK dalam mengawal demokrasi di Indonesia

Nasib MK nantinya bisa saja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjadi tidak berdaya setelah revisi UU KPK. Pada hal saat revisi dilakukan, DPR koar koar kalau revisi itu dilakukan untuk memperkuat KPK tapi yang terjadi justru sebaliknya dimana KPK menjadi lemah tak berdaya.

Atas dasar pemikiran sebagaimana dikemukakan diatas, kita patut curiga bahwa gagasan untuk mengevaluasi MK kali ini sangat kental nuansa politisnya. Karena DPR dendam kesumat setelah banyak produk Undang Undangnya yang di evaluasi oleh MK terakhir adalah soal ambang batas Pilkada dan usia calon yang akan maju di Pilkada.

 

Bagaimana Sebaiknya ?

Kalau seandainya DPR merasa MK telah terlampau jauh mengambil kewenangan legislatif dari DPR dan Presiden, maka aturan main pengujian UU di MK harus disempurnakan, sehingga dibatasi kewenangan MK untuk menguji UU terhadap UUD, tidak boleh membentuk norma.

Selain itu, DPR harus membentuk peraturan perundangan-undangan berkualitas, yang mampu memberikan keadilan dan kemajuan rakyat bangsa dan negara. Selama ini produk legislasi selalu dipersoalkan dan berakhir di MK. Ada yang salah dari produk legislasi DPR dan presiden sehingga harus dikoreksi oleh MK. Karena itu, kesalahan itu jangan diulang-ulang, harus diperbaiki dengan membentuk peraturan yang adil dan benar untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara.

Pembentuk UU (presiden dan DPR) harus mengevaluasi diri, tidak boleh sewenang-wenang dalam membuat peraturan perundang-undangan yang menjadi kewenangannya. Bernegara bukan ditentukan oleh partai besar atau kelompok dominan saja. Bernegara sangat ditentukan dari tegaknya nilai kebenaran dan kejujuran yang dijunjung bersama. Peraturan yang adil akan bermanfaat bagi seluruh rakyat, pasti akan diterima oleh semua warga bangsa. Sementara peraturan yang tidak adil, akan digugat dan dipersoalkan pada akhirnya  .

Bagaimanapun dalam menghadapi situasi ini, sangat penting bagi para pemimpin dan pembuat kebijakan harus bersedia mendengarkan aspirasi rakyat pada umumnya. Karenanya proses evaluasi terhadap institusi negara, termasuk MK, harus dilakukan dengan transparansi, objektivitas, dan dengan tujuan untuk memperkuat fondasi demokrasi Indonesia, bukan sebaliknya.

Masyarakat sipil, akademisi, dan para pakar hukum harus dilibatkan dalam proses evaluasi ini untuk memastikan bahwa setiap langkah yang diambil benar-benar didasarkan pada prinsip-prinsip hukum yang berlaku dan kepentingan terbaik bangsa.

Sebagai negara dengan sejarah panjang perjuangan demokrasi, Indonesia harus memastikan bahwa semua lembaga negara berfungsi sesuai dengan mandat konstitusionalnya. Evaluasi yang dilakukan dengan niat baik dan berdasarkan kajian yang mendalam dapat memperkuat sistem ketatanegaraan dan menjaga keseimbangan kekuasaan.Namun, jika evaluasi hanya  dipicu oleh kepentingan politik jangka pendek, maka hal ini justru dapat merusak tatanan demokrasi yang selama ini sudah kita bangun bersama sama.

Karena itu langkah DPR untuk mengevaluasi posisi MK, meskipun memiliki landasan hukum, harus dijalankan dengan penuh kehati-hatian dan tanggung jawab untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara.

Evaluasi ini seharusnya tidak menjadi alat untuk menekan atau melemahkan lembaga yang berfungsi sebagai penjaga konstitusi dan demokrasi dinegara kita. Dalam hal ini, transparansi, dialog terbuka, dan keterlibatan publik menjadi kunci untuk memastikan bahwa setiap perubahan yang dilakukan benar-benar untuk memperkuat, bukan merusak, demokrasi Indonesia.

Kita semua memiliki tanggung jawab untuk menjaga keutuhan sistem ketatanegaraan kita dan memastikan bahwa setiap langkah yang diambil adalah untuk kebaikan dan kemajuan bersama. Dengan pendekatan yang inklusif dan transparan, Indonesia dapat melangkah menuju masa depan yang lebih demokratis, adil, dan sejahtera. Semoga. []

Sumber Law and Justice

Advertisement
Advertisement