Pekerja Migran Indonesia (PMI) Rawan Jadi “Santapan” Bos-Bos Korea
ApakabarOnline.com – Kondisi kehidupan yang sangat buruk, pelanggaran kemanusiaan yang terus menerus terjadi, membuat para pekerja migran asal Indonesia, Filipina dan Vietnam rentan menjadi korban perdagangan orang.
Hal itu terungkap dalam Laporan Penelitian Tied at Sea, yang dirilis oleh Sin Young Chung yakni Advocates for Public Interest Law (APIL).
Ketua Harian DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Marthin Hadiwinata menjelaskan, dalam laporan penelitian Tied at Sea yang diterimanya, diungkap betapa banyaknya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dialami para pekerja migran yang berasal dari Indonesia, Filipina dan Vietnam.
“Hidup buruk, pelanggaran kemanusiaan, kejahatan dan perdagangan orang, terungkap dalam laporan penelitian,” tutur Marthin Hadiwinata dalam keterangannya, Jumat (11/01/2019).
Dalam laporan itu menyebutkan, banyaknya pelanggaran HAM karena ketidakjelasan rekrutmen dan penempatan tenaga kerja. Banyak perusahaan penyedia jaga di industri perikanan, belum tahu standar layak untuk pekerjanya.
“Parahnya lagi, belum ada satu pun mekanisme untuk melindungi pekerja industri perikanan di tingkat regional. Sehingga mereka rentan menjadi korban perdagangan manusia dan kejahatan internasional,” ujarnya.
Dia merinci, beberapa masalah yang disebutkan dalam laporan tersebut seperti, rentan terhadap manipulasi sebelum proses perekrutan dimulai, karena tingkat pendidikan mereka yang umumnya rendah, pengangguran dan sumber daya financial yang terbatas.
“Penyebabnya karena kemiskinan struktural,” tegas Marthin.
Kemudian, keterlibatan banyak lembaga perantara perekrutan perantara selama proses rekrutmen yang menyulitkan pekerja.
Terjadi juga, biaya perekrutan tinggi, termasuk uang jaminan biasanya mendorong pekerja migran untuk melakukan pinjaman, bahkan sejak sebelum keberangkatan ke Negara tujuan.
“Penyebab selanjutnya, kontrak kerja yang memaksa mereka untuk bekerja dengan waktu yang panjang tanpa uang lembur yang memadai, dan upah yang sangat rendah. Serta mengharuskan mereka untuk menyerahkan paspor sebagai jaminan selama kontrak,” papar Marthin lebih lanjut.
Belum lagi, kurangnya fasilitas pelatihan dan pendidikan secara ideal mulai dari hak-hak dasar pekerja, sosial dan budaya, keselamatan kerja, bahasa Korea dan keterampilan khusus industri perikanan.
Sedangkan jam kerja yang panjang dari mulai 12 jam per hari 18-20 jam per hari hingga bahkan mencapai 22 jam per hari jika dalam waktu sibuk, menambah penindasan yang terjadi kepada para pekerja migran.
Mengenai upah, lanjut Marthin, pengupahan tidak setara antara pekerja dan sangat rendah di bawah upah minimum dalam standar pekerja lintas negara. “Termasuk penentuan yang tidak adil serta tidak dibayarnya upah lembur,” katanya.
Kondisi kehidupan mereka pun buruk. Kualitas tempat tinggal yang buruk bahkan tidak adanya jaminan sosial dan kesehatan serta supply nutrisi dari makanan yang sehat selama bekerja.
“Kemudian, terjadi kekerasan fisik dan verbal yang terjadi atas alasan kerja yang lamban. Bahkan, diskriminasi rasial juga menjadi persoalan yang serius,” bebernya.
Departemen Riset dan Advokasi DPP KNTI Henri Pratama menambahkan, laporan penelitian berjudul Tied at Sea: Human Rights Violations Against Migran Fishers on Korean Fishing Vessels dikerjakan oleh Advocates for Public Interest Law (APIL) dan The International Organization for Migration (IOM) Republic of Korea.
Laporan itu meringkas penelitian yang telah dilakukan APIL sebagai salah satu Organisasi Masyarakat Sipil di Korea, yang fokus dalam memberikan bantuan hukum bersama IOM Korea.
Penelitian dilakukan dalam kurun waktu antara tahun 2014 hingga 2016 dan telah diluncurkan pada tahun 2017.
“Tied at Sea menyebutkan banyak terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang dialami pekerja migran Indonesia, Vietnam dan Filipina di sektor perikanan Republik Korea. Banyak nelayan migran rentan terhadap manipulasi dan eksploitasi, bahkan sebelum mereka memulai proses rekrutmen. Sebagian besar berasal dari latar belakang sosial ekonomi rendah dengan pendidikan rendah,” tutur Henri Pratama. [wid]