Pekerja Migran, Mereka yang Membnangun Negeri dari Perantauan
JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, menyebut ada enam sektor motor penggerak utama perekonomian. Keenam sektor yang banyak menyerap tenaga kerja itu adalah manufaktur, agribisnis, pariwisata, tenaga kesehatan, ekonomi digital, dan pekerja migran. Darmin meminta, proses penempatan pekerja migran dipersiapkan dengan sangat serius.
Sebab, makin berkualitas pekerja migran, makin besar pendapatan, semakin besar pula kontribusinya terhadap perekonomian nasional. Merespon hal itu, Menteri Ketenagakerjaan Muhammad Hanif Dhakiri memastikan, saat ini penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) jauh lebih baik.
Penempatan PMI sesuai prosedur, terus menunjukkan perkembangan positif. Pada tahun 2016 PMI prosedural mencapai 234.451 orang. Dua tahun berikutnya naik menjadi 283.640 orang. Peningkatan tersebut sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat yang ingin bekerja di luar negeri secara legal.
Kini, banyak PMI yang sudah memenuhi syarat 5S, yakni siap dokumen, siap keterampilan, siap fisik dan mental, siap bahasa, dan siap pengetahuan negara tujuan. Syarat-syarat itu sesuai amanat UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI). Kesadaran akan 5S juga berdampak pada penurunan pengaduan kasus ketenagakerjaan yang dialami PMI.
Jumlah pengaduan terkait gaji yang tak dibayar, sakit, dan pekerjaan yang tak sesuai kontrak tercatat mengalami penurunan. Kasus gaji yang tak dibayar turun dari 36 kasus pada 2017 menjadi 25 kasus pada 2019. Pengaduan terkait PMI yang sakit juga berkurang dari 23 orang pada 2017 menjadi 7 orang saja pada 2019.
Pengaduan PMI yang tak sesuai janji juga menyusut dari 11 kasus menjadi 7 kasus. Penurunan kasus di negara tujuan, juga menjadikan sejumlah negara kini menjadi tujuan favorit PMI. Taiwan, Hong Kong dan Korea Selatan menjadi negara favorit baru karena angka pengaduan di negara itu relatif kecil.
Pengaduan di Taiwan yang pada 2017 mencapai 58 kasus, pada 2019 menjadi 39 kasus. Di Hong Kong, pengaduan berkurang drastis dari 43 kasus di 2018 menjadi 10 pengaduan di 2019. Kasus di negara Asia Pasifik ini jauh di bawah negara Arab Saudi yang mencapai 115 kasus pada 2017 dan Malaysia yang mencapai 355 kasus pada 2019.
Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan di Taiwan, Hong Kong, dan Korea Selatan lebih memadai. Di tahun 2018, Korea Selatan masuk dalam lima besar negara tujuan utama, seiring dengan kerja sama antarpemerintah (G to G) yang dijalin Pemerintah Indonesia dengan negeri ginseng tersebut. Sementara dari tahun ke tahun, daerah asal pekerja migran tak banyak berubah.
Enam provinsi yang memberangkatkan pekerja migran terbanyak selama lima tahun terakhir adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Lampung, dan Sumatera Utara. Keenam provinsi ini juga paling banyak menerima devisa dari remitansi yang dikirim para pekerja migran. Remitansi adalah dana yang dikirim oleh PMI dari negara tempatnya bekerja ke Indonesia.
Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, nilai remitansi selama periode 2014 hingga 2018 berfluktuasi. Tahun 2015, besaran remitansi tercatat naik drastis menjadi US$ 9,42 miliar atau sekitar Rp 131,8 triliun dari tahun 2014. Namun, pada 2016 dan 2017 mengalami penurunan. Pada tahun 2017 misalnya, turun menjadi US$ 8,76 miliar atau setara Rp 122,64 triliun. Turunnya angka remitansi pada 2017 sebagai dampak lesunya perekonomian regional dan global.
Faktor lainnya adalah kebijakan pemerintah yang melarang penempatan PMI untuk pengguna perseorangan di seluruh negara Timur Tengah. Pelarangan disebabkan masih buruknya perlindungan PMI di negara Timur Tengah. Seiring dengan membaiknya ekonomi global, pada 2018, nilai remitansi pekerja migran kembali melonjak menjadi US$ 10,97 miliar atau sekitar Rp 153,6 triliun. Nilai ini bahkan jauh lebih besar dari anggaran kesehatan Republik Indonesia yang mencapai Rp 123,1 triliun.
Negara di kawasan Asia Pasifik adalah pendulang remitansi terbesar, yakni sebesar US$ 6,6 miliar (Rp 92,4 triliun). Kawasan Timur Tengah dan Afrika mencapai US$ 4,4 miliar (Rp 61,6 triliun). Meski demikian, Arab Saudi mejadi negara penempatan PMI pengirim remitansi terbesar dengan nilai US$3,88 miliar (Rp 54,32 triliun), diikuti Malaysia US$ 3,3 miliar (Rp 46,2 triliun). Dibanding negara-negara lain di ASEAN, remitansi yang diterima Indonesia dari PMI adalah nomor dua yang terbesar, setelah Filipina. Pendapatan Filipinan dari remitansi mencapai US$ 24 juta per tahun atau dua kali lipat remitansi yang diterima Indonesia.
Meski kalah dari Filipina, The Global Knowledge Partnership on Migration and Development (KNOMAD) mencatat, Indonesia termasuk dalam 10 besar negara dengan remitansi terbesar di dunia. India adalah negara yang memperoleh remitansi terbesar di dunia dengan nilai US$ 69 miliar, lalu Cina (US$ 64 miliar). Posisi ketiga adalah Filipina dengan nominal US$ 33 miliar.
Laporan Bank Dunia pada 2017 menyebutkan, PMI telah memberikan kontribusi besar bagi kehidupan keluarganya dan juga perekonomian nasional. Adapun studiyang dilakukan Richard H. Adams Junior dan Alfredo Cuecuecha menunjukkan, remitansi PMI mengurangi kemungkinan rumah tangga Indonesia mengalami jatuh miskin.
Sekitar 80 persen keluarga pekerja migran menggunakan dana remitansi yang diterima untuk membeli kebutuhan pokok termasuk pangan, perumahan, pendidikan, dan kesehatan. Bank Dunia juga menyebut, remitansi telah meningkatkan taraf hidup jangka panjang PMI dan keluarganya. Sebab, penghasilan pekerja migran enam kali lebih tinggi dibanding pekerjaan serupa di dalam negeri.
Sekitar 40 persen rumah tangga PMI memanfaatkan remitansi untuk pendidikan, 15 persen untuk investasi modal usaha, dan lebih dari 20 persen untuk simpanan di rekening tabungan. Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi desa dari pemanfaatan remitansi, pemerintah terus berupaya melakukan edukasi pengelolaan keuangan ke remitansi di desa benar-benar dimanfaatkan secara produktif.
Warga juga harus memiliki literasi keuangan yang baik, salah satunya dalam bentuk koperasi usaha, untuk memperkuat usaha-usaha produktif masyarakat untuk jangka panjang dan berkelanjutan. Dengan pemanfaatan dalam bentuk koperasi dan usaha-usaha produktif ini, dana remitansi dari PMI tidak hanya dinikmati keluarganya saja, tapi juga bagi masyarakat sekitarnya.
Dari tanah seberang, mereka telah turut menyumbang pertumbuhan ekonomi di daerah asal mereka, bahkan perekonomian Indonesia.[Data]