Perdalam Kesenjangan Sosial, Struktur Gaji Pejabat Harus Dikoreksi
JAKARTA – Struktur upah pejabat negara mendapat sorotan. Sebab, kini pemerintah memberikan tunjangan hari raya (THR) dan gaji ke-13 untuk para pensiunan.
Sebelumnya, THR sudah diberikan sejak tahun 2016 kepada para aparatur sipil negara (ASN). Total yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk pembayaran gaji ke-13 dan THR adalah Rp35,76 triliun atau 69% lebih banyak dari jumlah tahun lalu.
Chairman, Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED) Farouk Abdullah Alwyni mengatakan, struktur penggajian institusi negara memperburuk kondisi ketimpangan sosial. Belum lagi struktur penggajian yang fantastis dari banyak direktur dan komisaris BUMN.
Bahkan belum lama ini juga mencuat polemik penggajian Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang mencapai Rp 100 juta per bulan, belum lagi kasak kusuk total remunerasi kalangan anggota dewan di Senayan, yang dalam setahun bisa mencapai miliaran.
“Yang harus dilihat adalah sejauh mana pendapat per kapita masyarakat secara menyeluruh di bandingkan penghasilan para elite tersebut. Jika tidak berdampak besar terhadap kinerja dan kemaslahatan secara umum, tentunya sebuah penghianatan yang memboroskan angggaran negara,” jelsnya dalam rilis yang ditrima, Rabu (27/6/2018).
Menurutnya, perlu ada evaluasi terhadap struktur penggajian dalam kaitannya dengan persoalan ketimpangan sosial ini. Penentuan gaji institusi publik, kat dia, perlu menggunakan dasar perbandingan pendapatan per kapita penduduk, ataupun mungkin dari penghasilan terendah anggota masyarakat yang ada.
“Cara perhitungan ini untuk memberikan rasa keadilan sebagaimana amanat konstitusi dan falsafah Pancasila. Pejabat negara yang bergaji besar tapi tidak ada manfaatnya bagi peningkatan kesejahteraan rakyat sama artinya melanggar setidaknya empat pasal dalam Pancasila,” imbuhnya.
Dalam kondisi beban utang negara yang besar, kondisi ekonomi rakyat secara umum masih berat, pekerja migran non-skill kita yang masih tinggi, pemerintah bisa mengambil langkah solidaritas meski tidak populer, yakni memangkas gaji segenap pejabat negara, direksi dan komisaris BUMN untuk efisiensi anggaran.
Dalam hal ini, pejabat negara dan BUMN dengan gaji yang sangat besar dituntut serius bekerja sesuai dengan bagiannya masing-masing dalam mengupayakan perbaikan taraf hidup masyarakat.
“Artinya, pendapatan naik kalau penghasilan rakyat secara menyeluruh juga bertambah. Jika tidak, gaji elite semakin besar tapi kesejateraan rakyat secara umum tidak meningkat. Ujung-ujungnya, kita akan tetap menjadi negara dunia ketiga yang mengekalkan struktur kolonial dan feodal,” ujarnya.
Dia mengakui, selama ini memang terjadi pertumbuhan ekonomi meski dalam kondisi stagnan. Tapi selama ini yang banyak menikmati hanya sejumlah kecil, yakni kelompok elite masyarakat. Pertumbuhan ekonomi tidak bisa dinikmati secara merata.
Merujuk data BPS, per September 2017, jumlah masyarakat miskin Indonesia adalah sekitar 26,6 juta, atau sekitar 10.12% dari total jumlah penduduk.
Persoalannya adalah parameter penduduk miskin ini menggunakan batas garis kemiskinan yang sangat kecil, yakni Rp400.995 untuk masyarakat perkotaan dan Rp370.910 untuk warga pedesaan.
Tapi jika menggunakan indikator Bank Dunia dalam menentukan batas kemiskinan, yaitu pendapatan sebesar US$2 per hari per orang, maka penduduk miskin Indonesia masih sangat tinggi, yakni di perkirakan mencapai 47% atau 120 juta jiwa dari total populasi.
“Batasan garis kemiskinan Rp400.000 ini terlalu rendah, karena orang kota dengan penghasilan Rp500.000 sudah dianggap tidak miskin, yang bahkan belum tentu cukup untuk kebutuhan dasar. Padahal kebutuhan manusia itu bukan makan saja tapi juga pakaian, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, juga rekreasi dan hiburan,” paparnya.[Arif]