Perempuan Tak Perlu Menjadi Pekerja Migran
JAKARTA – Minimnya keahlian, pendidikan yang rendah serta tanpa pengalaman kerja, membuat perempuan rela meninggalkan tanah air mengadu nasib di negeri orang. Dengan alasan desakan ekonomi, minimnya lapangan kerja, dan tuntutan menafkahi keluarga, mendorong para perempuan meninggalkan keluarganya.
Kembali menorehkan duka. Seorang buruh migran wanita kembali ke kediamannya dalam keadaan tidak bernyawa. Nadya Pratiwi (27) meninggal di Kairo, Mesir. Kematian ini diduga akibat korban jatuh dari lantai III apartemen majikannya. Tiba di rumah keluarga, di Kabupaten Majalengka Sabtu, 6 Juli 2019 pukul 01.00 WIB.
Kasus serupa terjadi pada warga Kabupaten Majalengka lainnya. Tasini (41) yang bekerja di Abu, Saudi Arabia selama 10 bulan, pulang ke kampung halamannya dengan kondisi mengenaskan akibat siksaan majikannya. Ia kini harus menjalani perawatan di RSUD Majalengka sejak Jumat malam 5 Juli 2019. Akibat luka yang dialaminya, sekujur tubuhnya sulit digerakkan.
Dinas Tenaga Kerja dan Perindustrian (Disnakerperin) kabupaten Majalengka Dr H Sadili MSi mengatakan, dari awal tahun 2019 disnaker mencatat ada 12 laporan pengaduan pekerja migran Indonesia (PMI) yang bermasalah di luar negeri.(Idntimes, 8/7/2019). Padahal mereka digadang-gadang sebagai pahlawan devisa.
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), penerimaan remitansi dari pekerja imigran selama 2018 mencapai 10,97 miliar dolar AS atau setara Rp 153,58 triliun. Angka tersebut meningkat 24,66 persen dibandingkan periode 2017 yang tercatat 8,8 miliar dolar AS (CNBCIndonesia, 23/5). Sungguh sebuah angka yang menggiurkan demi bergeraknya perekonomian negara.
Hanya saja sayangnya, di balik penghargaan sebagai ‘Pahlawan Devisa’ tidak berbanding lurus dengan penjagaan negara. Padahal seluruh warga berhak atas perlindungan keamanan dan kehormatan di dalam dan di luar negeri. Inilah bukti bahwa sistem yang ada gagal memberi penjagaan terhadap warganya.
Padahal dalam Islam para perempuan, yang memiliki tugas menjadi ibu pencetak generasi. Di pundaknya bahkan tidak dibebani tanggung jawab mencari nafkah. Bahaya yang muncul pada buruh migran perempuan seperti, perkosaan, penyiksaan, pemalakan, hingga nyawa melayang membuat aktivitas menjadi tenaga kerja wanita, haram.
Sebab berdasarkan kaidah fiqih Al-Wasilah ila al-Haram Muharramah yaitu segala perantaraan yang mengakibatkan terjadinya keharaman, hukumnya menjadi haram. (M. Shidqi Burnu, Mausu’ah Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, 12/199).
Maka pengiriman tenaga kerja perempuan ke luar negeri pun wajib dihentikan, sesuai kaidah fiqih Al-Dharar yuzaal yaitu segala macam bahaya wajib dihilangkan. (Imam Suyuthi, Al-Asybah wa Al-Nazha`ir, hal. 83; M. Bakar Ismail, Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah Bayna Al-Ashalah wa Al-Taujih, hal. 99).
Sepatutnya negara melindungi hak-hak umat atas dasar keimanan pada Allah. Memberi kemudahan akses pendidikan dan kehidupan yang layak. Sehingga tidak akan ada lagi kasus serupa seperti yang terjadi pada Nadya dan Tasini.
Penulis: Lulu Nugroho, Muslimah Penulis dari Cirebon