Pulang ke Purbalingga, Alumni Hong Kong Berkacamata ini Pilih Mengabdikan Diri Memajukan Desa
JAKARTA – Hardika Dwi Hermawan, Penerima Beasiswa LPDP dari Hong Kong University adalah anak desa yang berjuang untuk menebar manfaat, membuat lilin-lilin kecil yang bercahaya di seluruh pelosok negeri.
Lelaki asal Desa Cipaku, desa kecil di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Darah sebagai pengajar telah mengalir deras dalam dirinya, ditularkan dari keluarga yang berprofesi sebagai guru.
Semasa di bangku sekolah menengah dan SMA, Dika mulai aktif dalam keorganisasian serta hal-hal yang berhubungan dengan teknologi. Komputer inter pentium yang saat itu sedang melambung dikuliknya saat masih kelas 5 SD. Awalnya Dika senang untuk bongkar pasang dan mencoba aplikasi baru di komputer, kemudian berlanjut sampai Dika mengikuti ekstra kulikuler di SMP dan SMA.
Sebelum ke masa Hardika yang begitu mencintai dunia komputer, ada saat ketika SMA, Dika pernah berharap menjadi seorang diplomat. Jurusan Hubungan Internasional sudah dia kantongi, namun orang tua masih belum merestui. Cita-cita besarnya adalah ingin belajar ke luar negeri, namun orang tuanya kekeuh Dika masuk ke dunia pendidikan seperti anggota keluarga lainnya. Sempat kecewa, Hardika menyadari itu mungkin hanya keinginan sesaatnya saja, dia kembali merenungkannya.
Hardika mengambil jalur tengah, komputer masih menjadi hal yang dia suka dan pendidikan adalah passion-nya. Akhirnya, Dika memilih jurusan Pendidikan Teknik Informatika di Universitas Negeri Yogyakarta sebagai tempat mengejar mimpi besarnya. “Setelah direfleksikan ya ternyata di bidang pendidikan teknologi itulah ternyata sebenarnya yang saya rasa jalan terbaiknya,” kata Dika.
Walaupun masuk universitas pendidikan, Dika tak mau mimpinya terkukung. Ke luar negeri adalah hal yang selalu berdengung di kepalanya. Awal semester baru Dika langsung menabung demi bisa keluar negeri, “Waktu itu pas semester satu nabung seberapa pun nanti yang penting sebelum lulus kita bisa ke luar negeri,” cerita pemuda berkacamata ini.
Ketika impian itu kuat akan ada jalan untuk mewujudkannya. Hardika mengikuti berbagai lomba yang malah mengantarkannya ke dunia internasional. Tak sekali jadi, berbagai kesempatan yang ia coba kadang gagal, seperti kegagalan ke Thailand dan Malaysia. Dalam salah satu acara konferensi internasional, Dika diberi kesempatan untuk menjadi salah satu LO (Liaison Officer), dan di situlah dia sadar jika yang terpenting adalah kepercayaan diri, “justru itu yang bikin saya tuh makin pede kayak, oh enggak masalah ya, yang penting kita pede terus belajar, enggak ada salahnya,” kata Dika.
Awal berkuliah Dika tak ada niatan untuk lanjut, seperti halnya kebanyakan kampus pendidikan, setelah lulus Dika ingin menjadi guru. Lambat laun setelah bertemu beberapa teman, dosen dan civitas lainnya, pikiran Dika mulai terbuka, mulai timbul rasa haus untuk bisa menimba ilmu kembali. Selain itu, augmented reality (AR) dan virtual reality (VR) yang jadi bidangnya saat itu belum banyak dibahas di Indonesia, Dika ingin lebih mendalaminya di kampus yang ada di luar negeri.
Sebenarnya pada akhir studi sarjananya Dika mendapat tawaran beasiswa dari Italia, namun dia tolak. Setelah mencari beberapa informasi beasiswa, Dika terlanjur kepincut dengan LPDP. Menurutnya ada ikatan tersendiri dengan beasiswa plat merah tersebut. “Enggak lah saya mau coba LPDP dulu lah. Kenapa LPDP? Karena rasanya ada ikatan gitu dan itu dari Indonesia. Rasanya besok saya harus kembali ke Indonesia waktu itu,” terang Dika yang mendapat gelar sarjananya pada 2015 lalu.
Dika mendaftar LPDP lewat jalur prestasi dengan bekal segudang prestasinya saat kuliah, baik di level nasional maupun internasional. Singkat cerita dengan segala persiapan yang Dika lakukan, pada 2017 Dika lolos beasiswa LPDP. Dia juga telah diterima di 8 universitas di berbagai penjuru dunia, namun masih ada yang mengganjal pada dirinya. Lagi-lagi tentang bidang yang digelutinya, VR. Menurutnya dari beberapa kampus itu belum ada yang cocok dengan keinginannya. Hong Kong University yang malah mencuri perhatiannya. “Kemudian kok ada satu nama Hong Kong University di peringkat 5 atau 6 di bidang pendidikan. Waktu itu terus saya masuk ke portalnya, terus cari informasinya. Wah ada laboratoriumnya terus juga ke arah sana gitu (AR dan VR), kenapa enggak saya coba kampus ini gitu? Nah akhirnya saya coba,” terang Dika. Awalnya Dika sempat ditolak, namun setelah mendaftar kedua kalinya dia akhirnya bisa diterima.
Berjuang di Negeri Seberang
Perjuangannya baru dimulai. Awalnya Dika merasa kesulitan karena tak ada alumni atau mahasiswa angkatannya yang berkuliah disana, walaupun Hong Kong University masuk pada jajaran kampus top dunia di bidang Pendidikan. Namanya memang tak semasyhur kampus di Amerika, Inggris, atau Australia yang lebih bergengsi. Selanjutnya, ternyata uang saku yang didapatnya masih jauh dari cukup untuk bisa bertahan di tengah living cost yang terlampau tinggi di Hong Kong. Belum ada penyesuaian seperti saat ini yang membuat Dika harus memutar otak agar bisa tetap bertahan.
Setelah berkelana sendiri di jantung kota Hong Kong, Dika memutuskan untuk tinggal di kamar kos berukuran 2×1 m², dengan segala kekurangannya setelah 2 minggu pertama dia habiskan di hostel backpaker. Dika harus rela berbagi tempat dengan semua barang yang dibawanya. Untuk salat saja dia hanya bisa sambil duduk, apalagi untuk belajar, sudah bisa ditebak pasti sangat sulit. Namun, hanya itu tempat yang pas untuk kantongnya. Setiap Ibunya menelepon, Dika selalu menolak ajakan videocall dengan berbagai alasan. Dika sadar jika Ibunya tau keadaannya saat itu pasti beliau akan khawatir. Tak kurang akal, Ibunya meminta tolong pada tetangganya yang kebetulan bekerja sebagai TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di sana untuk menengok Dika. Betapa terkejutnya sang Ibu setelah mengetahui Dika tinggal di kawasan kumuh di tempat sempit tersebut. Akhirnya lewat tetangganya itu pula akhirnya Dika dibantu dicarikan tempat tinggal, walau berjarak lumayan jauh dan harus berganti-ganti moda transportasi menuju kampusnya.
Untuk membantu kebutuhan sehari-harinya Dika mendaftar sebagai mentor untuk program Academy For The Talented Around The World. Tugasnya adalah mendampingi anak-anak SMA dari beberapa negara untuk membuat project tentang IT. Hal itu cukup membantunya, namun, Dika dihadapkan dengan masalah baru yaitu manajemen waktu. Tempat tinggal yang jauh, padatnya jadwal kuliah, tugas yang menumpuk, serta side job yang dia ambil mengharuskannya disiplin mengatur waktu.
“Tempat tinggal yang ketiga itu naik semacam MRT aja enggak bisa sampai lokasi itu. Jadi dari stasiun yang jumlahnya ada 25 itu, sekitar satu setengah jam lah, beda pulau jadi di new territory dan itu yang bikin melelahkan itu bulan puasa. Jadi saya harus berangkat setengah enam ke kampus, jam tujuh harus mulai training kemudian sampai sekitar setengah tujuh malam. Buka puasa itu kan jam tujuh malam di sana, saya kuliah lagi setengah tujuh sampai harus kuliahnya itu selesai setengah sepuluh malam. Perjalanan pulang itu, saya sampai tempat tinggal setengah 12 malam dan harus ngerjain tugas-tugas saya di kampus, tapi juga tugas jadi pendamping anak-anak itu, ya tiba-tiba sudah sahur lagi tuh, subuh berangkat lagi,” kenang Dika diiringi air mata yang mulai menumpuk di ujung matanya.
Dika sempat mempertanyakan, kenapa dia harus melewati semua ini. Di dekat pelabuhan Dika terduduk sambil menangis tanpa sadar, meluapkan sesak yang selama ini ia tahan. Dika batal kuliah hari itu, masjid menjadi tempat yang dia tuju. “Akhirnya mengingat bagaimana harapan dari keluarga atau mungkin tanggung jawab yang sudah diberikan ke saya dari LPDP juga atau masyarakat juga, akhirnya ya sudah pergi ke masjid dan di situ saya nangis ” terangnya.
Tak ada perjuangan yang sia-sia, walaupun tertatih, Dika berhasil menyelesaikan study-nya di sana. Anak yang sebelumnya dia mentori juga berhasil menyelesaikan project-nya, bahkan sampai mengikuti international conference, dan saat ini ada yang sudah lulus dari Stanford University, USA. 2019 Dika berhasil mendapat gelar masternya dan kembali ke Indonesia. Saat kembali ke Indonesia, Dika mendapat penghargaan sebagai alumni terbaik di bidang pendidikan dari LPDP. Di sela-sela padatnya jadwal, ternyata Dika masih sempat menulis berbagai paper dan memenangi beberapa lomba internasional yang membuatnya diapresiasi oleh LPDP saat itu.
Desamind
Dika sempat bekerja di salah satu instansi pemerintah setelah lulus sarjananya, namun cita-citanya menjadi pendidik sepertinya lebih besar. Dika mendaftar sebagai salah satu dosen tetap di Universitas Muhammadiyah Surakarta sekembalinya ke tanah air dan diterima. Hal itu dia geluti sampai saat ini.
Awalnya Dika merencanakan kontribusi selepas pulang ke Indonesia dengan membuat organisasi yang ia sebut sebagai Pokdartek, atau Kelompok Sadar Teknologi. Namun Dika menyadari bukan hanya teknologi yang menjadi inti permasalahan, dan kemudian setelah dipikir ulang, pemikiran Dika tersebut kemudian bertransformasi menjadi Desamind. Desamind adalah organisasi nonprofit yang ditunjukkan untuk anak muda Indonesia yang berada di dalam ataupun luar negeri. “Kita ingin mendorong lahirnya local hero bagi pengembangan desa yang mereka itu punya world class competence, tetapi punya strong grass root understanding. Jadi saya pengin banyak melihat anak-anak desa ini, sekolah tinggi keluar sana, tapi mereka punya pemahaman lokal yang bagus dan mereka nanti mau mengembangkan desa,” terang Dika. “Setelah saya pergi sudah dapat ilmu masa enggak ngelakuin apa-apa,” sambungnya.
Ada empat alasan kenapa Dika memilih desa sebagai tempatnya mengabdi. Pertama menurutnya tentang pola pikir di desa yang kebanyakan belum berkembang. Kedua banyak diantara pemuda di desa ingin melihat dunia, namun yang sudah berkeliling dunia tidak melihat ada desa yang harus dikembangkan. Desamind ingin menjembatani gap tersebut. Ketiga, banyak aktivis kampus yang mempesona di lingkungan kampus, namun tidak bisa membangun desanya sendiri, Desamind mengajak para pemuda untuk bersama-sama membangun desa. Dan yang terakhir adalah disparitas informasi. “Ya itu pada kuliah sekolah. Habis itu mereka pergi merantau enggak pulang ke desa, apa kita enggak kasih kesempatan mereka aja untuk pulang ke sini. Mau membuat program apa kaya gitu kan desa bisa lebih berkembang gitu,” terang President Director Desamind itu.
Banyak proyek riil yang telah dilakukan Desamind, antara lain memberikan beasiswa kepada anak muda dari desa untuk bisa menempuh pendidikan tinggi. Tidak hanya biaya pendidikan dan uang saku, namun Desamind memberikan kurikulum khusus tentang kepemimpinan desa, dan pelatihan agar nantinya setelah lulus anak muda tersebut bisa membawa desanya ke jenjang yang lebih maju. Kemudian adalah Desamind chapter, yang dibentuk dari beberapa pengurus. Para pengurus berpartner dengan desa untuk membentuk sebuah usaha atau melakukan pendampingan dan mentoring program untuk kemajuan desa. Contohnya seperti dibentuknya Desamind farm, yaitu peternakan desa yang dibuat dari kerjasama pengurus Desamind dengan peternak untuk mengembangkan peternakan, mulai dari perencanaan, pengelolaan hingga memanfaatkan hasil dari peternakan tersebut, dan berbagai project lainnya.
Saat ini Desamind telah tersebar di 16 chapter (cabang) mulai dari Aceh hingga Asmat, yang tingkatnya berada di kabupaten, dan dipegang oleh lebih dari 350an pengurus chapter. Selain itu ada juga pengurus yang berasal dari luar negeri. Mata kuliah electronic leadership yang dipelajari Dika sewaktu kuliah di Hong Kong nyatanya sangat berguna saat proses mengelola Desamind. Terbukti tahun ini Desamind memasuki tahun kelima berdiri, usia yang cukup matang untuk organisasi nonprofit yang biasanya sangat rapuh dalam bab keberlanjutan. “Alhamdulillah sudah setengah dekade Desamind itu ada dan kita sudah melibatkan sekitar 28.000 masyarakat untuk berpartisipasi, dengan lebih dari 280 project sosial dengan kemitraan hingga 200 lembaga dari mulai lokal hingga internasional,” jelas Dika sumringah.
“Organisasi kesukarelawanan itu tantangan pertama itu adalah menjaga anggota-anggotanya. Yang pertama itu kita harus perkuatkan dulu sosial emosionalnya antar kita, jadi kita punya core value,” terang Dika. Hal itu terbukti ampuh dengan bertambah dan berkembangnya Desamind baik dari sisi jumlah anggota maupun cakupan wilayahnya. Anggotanya-pun bukan kaleng-kaleng, banyak lulusan awardee LPDP dari universitas dalam negeri maupun luar negeri. Dari segi pendanaan selain unit usaha yang dimiliki Desamind, Dika dan kawan-kawannya berhasil menggaet beberapa donatur tetap.
“Kadang saya juga bertanya, kenapa sih (relawan Desamind) mau (bergabung), mereka itu adalah ekosistem di Desamind. Itu membuat mereka tumbuh gitu, tumbuh menjadi manusia. Tumbuh enggak hanya hidup itu sekedar hidup, tapi punya makna tersendiri gitu. Banyak mahasiswa juga melihat bahwa ini kakak saya jadi sumber inspirasi, saya juga mau seperti mereka. Saya juga mau mengembangkan (diri). Itu sih yang membuat mereka juga bertahan sampai lulus, menikah punya anak, masih bertahan di tempat kita,” bangga Dika.
Pemuda
Bidang kepemudaan sangat erat berkaitan dengan Hardika, baik dalam kapasitas menjadi dosen, ataupun menjadi pengurus Desamind, semua memiliki unsur pemuda. Menurut Dika, pemuda memiliki potensi yang sangat besar bagi tumbuhnya Indonesia. Lebih jauh Dika menggolongkan pemuda dalam 3 kelompok, pertama adalah pemuda sebagai penerima manfaat, kedua pemuda sebagai mitra kolaborasi, dan yang tertinggi adalah pemuda sebagai pemimpin atau inisiator. Melalui gerakannya, Hardika berharap semakin banyak pemuda yang bisa dia ajak sebagai mitra dan makin banyak pula lahir pemuda-pemuda inisiator yang nantinya menjadi pemimpin, “potensinya sangat banyak, hanya butuh kerjasama, kerja bareng bareng gitu untuk mendorong mereka,” terang Dika yang masih bermimpi untuk melanjutkan studinya.
“Dan kita ingin membuktikan bahwa anak muda ini bisa melakukan sesuatu dan tanggung jawab. Melunasi janji kemerdekaan itu bukan hanya tanggung jawab negara, tapi tanggung jawab kita juga sebagai bagian dari masyarakat Indonesia itu sendiri,” kata Dika. “Ada seorang tokoh nasional itu menyampaikan bahwa katanya tanggung jawab kaum terdidik itu adalah mendidik mereka yang belum atau tidak terdidik. Sungguh sebuah dosa, katanya jika kita dianugerahi ilmu, tapi kita juga enggak memberikan ilmu kita ke masyarakat gitu,” sambungnya.
Dika juga membagikan pentingnya berempati, “Saya rasa itu yang paling penting, berempati. Melihat sekitar bahwa tanggung jawab sekitar itu juga ada tanggung jawab kita sendiri (di dalamnya). Tanggung jawab moral sama sosial pun ada di diri kita sendiri. Jadi ya with great knowledge come great responsibility,” Dika mengingatkan.
Pada akhir wawancara Dika juga membagikan pesannya, “untuk teman-teman pemuda saya teringat sekali, salah satunya itu dari Tan Malaka pernah mengatakan bahwa bila kita sekolah tinggi-tinggi dan menganggap diri kita terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali. Dan kita meyakini bahwa Indonesia itu besar bukan hanya karena obor di Jakarta, tapi karena lilin-lilin di desa. Makanya ayo bareng-bareng lah bersama kami, masih banyak PR yang perlu kita kerjakan bersama dan saya rasa masa depan Indonesia itu ada bareng-bareng di tangan kita semua. Saya dan kalian tentunya,” pungkasnya. []
Sumber Kemenkeu