Remaja Pelaku Dan Korban Kekerasan Seksual, Kurang Pengawasan
MAJALENGKA – Kasi Tindak Pidana Umum Kejaksaan Negeri Majalengka Yusuf Luqita Danawihardja menyebutkan, pelaku tindak kekerasan anak dan pelecehan seksual di Majalengka hampir 95 persen lebih dilakukan keluarga tidak mampu.
Bahkan, menurut pria yang akrab disapa Luqi ini, banyak korban kekerasan seksual yang juga pelakunya adalah anak-anak. “Kebanyakan adalah usia remaja setingkat SMP atau sederajat,” kata Luqi kepada wartawan koran ini, kemarin.
Berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan, sebut Luqi, mereka yang memproses pelaku dilatarbelakangi adanya ketidak sepakatan penyelesaian masalah kekeluargaan antara keluarga korban dan keluarga pelaku. Atau keluarga korban serta korban mengingkari kesepakatan yang telah dirundingkan sebelumnya.
“Begitu juga dengan kekerasan fisik akibat kenakalan remaja. Misalnya saja ketika diketahui terjadi dua remaja berbuat pelecehan. Biasanya keluarga korban bertemu dengan keluarga tersangka. Hasil perundingan dicapai kesepakatan untuk dinikahkan namun belakangan ternyata pelaku tidak menepati janjinya,” jelasnya.
Banyak kasus perbuatan kekerasan seksual dilakukan anak-anak bukan karena paksaan. Namun, lebih pada keinginan berdua setelah mereka pacaran. Beberapa waktu lalu tepatnya setelah Lebaran Idul Fitri, pihaknya menyelesaikan persidangan kasus pelecehan seksual dengan vonis dua tahun enam bulan kepada pelaku.
“Karena mereka masih anak-anak setingkat kelas VII SMP, maka kami antarkan ke panti. Proses peradilan ini dilakukan karena sebelumnya disepakati untuk dinikahkan tetapi ternyata anak laki-lakinya kabur,” tutur Luqi.
Di samping itu, sebutnya, para pelaku hampir kebanyakan adalah remaja yang kurang pengawasan serta asuh dari orang tua mereka.
“Ada yang tidak dididik sama sekali oleh orang tuanya karena broken home akibat perceraian kedua orangtuanya kemudian anak tinggal bersama neneknya. Ada pula yang akibat orang tuanya meninggal dan terpaksa tinggal bersama kakek dan neneknya. Atau juga ada yang bapaknya meninggal, sementara ibunya pergi menjadi TKI,” bebernya.
Namun, ada beberapa anak diantaranya yang tinggal bersama orang tua namun anaknya dianggap susah diatur sehingga bergaul dengan anak-anak lain yang biasa tinggal di jalanan hingga jarang pulang sementara di luar rumah dia bergaul bebas tidak ada batasan antara laki-laki dengan perempuan.
“Kami punya beberapa pengalaman menangani kasus anak-anak yang seperti ini beberapa diantaranya adalah anak jalanan yang menurut keterangan orang tuanya, anak tersebut jarang berada di rumah. Kalaupun pulang ke rumah anak sulit di kendalikan perilakunya dan dianggap tidak sesuai dengan norma yang ada di lingkungan keluarga,” pungkasnya. [ono]