Sarana Prasarana Medikal Calon PMI Dievaluasi
MATARAM – Tingginya angka keberangkatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Nusa Tenggara Barat memerlukan kerjasama antara pemerintah dan swasta dalam setiap tahap proses pemberangkatan, salah satunya yang tidak terpisahkan ialah tahap pemeriksaan kesehatan. Sehingga untuk memberikan pelayanan terbaik bagi CPMI, perlu adanya sinergitas antara pemerintah dan sarana kesehatan (Sarkes) sebagai pelaksana pemeriksaan, baik sarkes swasta maupun milik pemerintah yaitu Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD).
Demikian diungkapkan Direktur Kerjasama dan Verifikasi Penyiapan Dokumen Penempatan (KVPD) BNP2TKI, Haposan Saragih, saat membuka rapat evaluasi sarana kesehatan pemeriksa calon PMI di wilayah Nusa Tenggara Barat pada Jumat 21 Desember 2018.
Dimoderatori oleh Plt. Kepala BP3TKI Mataram Noerman Adhiguna, rapat yang diadakan di Aula Kantor Disnaker Provinsi NTB ini diikuti oleh pemangku kepentingan terkait yaitu Himpunan Pemeriksa Kesehatan TKI (HIPTEK), Disnaker Kab/kota se-NTB, Dinas Kesehatan Kab/Kota se-NTB, Direktur RSUD se-NTB, Penanggungjawab Sarkes, serta perwakilan PPTKIS.
Saat memaparkan laporan pemeriksaan CPMI sepanjang tahun 2018, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTB, Nurhadini Eka Dewi memaparkan dari 29.921 CPMI yang diperiksa, sebanyak 1.328 CPMI dinyatakan unfit karena dinyatakan menderita Hepatitis.
Sementara itu, dari total CPMI fit yang sudah berangkat, tercatat 60 CPMI dideportasi karena dinyatakan unfit setelah medical check-up di negara penempatan, sebab terdeteksi menderita Tuberkulosis (TB). Sehingga, perlu adanya evaluasi agar meminimalkan jumlah PMI yang dipulangkan ke Indonesia karena dinyatakan unfit saat di negara penempatan.
“Seorang PMI akan dinyatakan fit jika hasil medical check-up menunjukan PMI tersebut bebas dari penyakit menular. Adanya perbedaan hasil medical check-up dimungkinkan karena beberapa hal. Pertama, jangka waktu antara medical check-up di daerah asal dan saat tiba di negara penempatan yang bisa berjarak 2 sampai 3 bulan. Jangka waktu yang memungkinan seseorang tertular TB. Kedua, dimungkinkan adanya perbedaan pembacaan hasil foto rontgen antara sarkes di Indonesia dan negara tujuan. Untuk itu dirasa perlu adanya peningkatan fasilitas alat pemeriksaan di setiap sarana kesehatan,” papar Nurhadini Eka Dewi.
Asisten Pemerintahan dan Kesra Setda Provinsi NTB, Agus Patria menyatakan, bahwa pemerintah melalui dinas kesehatan berkomitmen untuk terus melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap sarkes agar tercipta pelayanan pemeriksaan CPMI yang terjaga standar kualitas hasilnya.
Sekda Kabupaten Lombok Timur Rohman Farly dalam surat edarannya pun menyatakan apresiasi terhadap peran dan kontribusi HIPTEK dalam pemeriksaan CPMI serta menegaskan bahwa tujuan menciptakan hasil pemeriksaan CPMI yang berkualitas diperlukan peran dan fungsi seluruh Sarana Kesehatan dan tidak terbatas hanya tanggungjawab Sarkes RSUD saja.
Plt. Kepala BP3TKI Mataram Noerman Adhiguna, menyampaikan bahwa pertemuan tersebut merupakan awal yang sangat baik untuk meningkatkan sinergitas antar stakeholders demi pelayanan yang optimal kepada masyarakat NTB yang ingin bekerja ke luar negeri. Sehingga pertemuan serupa perlu dilakukan secara rutin. [Humas]