Sediakan Jiwamu Untuk Menyerap Lailatul Qadar
Kaum muslimin yang berpuasa sedang berada di keindahan hari-hari di mana cahaya Lailatul-Qadar mungkin menaburi ubun-ubun mereka.
Malam Qadar senantiasa menjadi tumpuan harapan setiap muslim. Harapan Apa? Mungkin, harapan-harapan untuk mendapatkan kemuliaan di sisi Allah. Mungkin harapan untuk memperoleh pahala. Mungkin, kemesraan khusus dengan Sang Khaliq. Atau mungkin harapan yang lebih sederhana: rezeki, dunia, kekayaan, sukses hidup, jodoh, terbayarnya utang, terbebaskannya dari kesulitan yang panjang dan bertele-tele, atau apa pun. Lailatul-Qadar merangsang rasa penasaran abadi. Tapi sekaligus ia sangat misterius. Sangat jarang terdengar bahwa seseorang di antara kita melaporkan ke saudara-saudaranya bahwa ia telah dimurahi Allah mendapatkan hikmah Lailatul-Qadar.
Mungkin ada yang pernah merasa begitu, tapi tidak benar-benar yakin karena Lailatul-Qadar memang tidak merupakan informasi yang formulanya jelas. Apalagi, formula yang dimaksudkan manusia biasanya adalah berdasarkan bentuk-bentuk fisik atau sosial sebagaimana mereka pahami sehari-hari.
Namun di tengah misteri dan kekaburan paham kita tentang Lailatul-Qadar, tetap saja kita setia menyongsongnya, menghayatinya, membayangkannya, dan merindukannya.
Banyak orang bertanya kepadaku, mengulang kalimat Allah tanpa mereka sadari: wa-ma adraka ma lailatul-qadr? Apa gerangan Lailatul-Qadar itu?
Bagiku adalah sejenis Lailatul-Qadar juga kalau sampai ada yang bertanya kepadaku apa itu Lailatul-Qadar. Suatu penghormatan yang luar biasa bahwa aku dijadikan sumber pengetahuan mengenai hal-hal yang si penanya tidak tahu atau merasa tidak tahu. Mungkin, mereka menganggap aku ini akrab dengan Lailatul-Qadar. Aku ini muslim dan “hafal” Lailatul-Qadar. Dan itu keliru. Dan alhamdulillah, aku tidak percaya bahwa mereka bertanya kepada orang yang tepat. Mereka salah sangka kepadaku.
Aku bukan “Ahli Lailatul-Qadar” (al-ahl al-lailah al-qadr). Aku sama dengan semua mereka yang bertanya kepadaku. Aku masih pada taraf merindukan, penasaran, dan mencari pengetahuan dan pengalaman Lailatul-Qadar. Bahkan, mungkin mereka berada di depanku dalam hal kualitas untuk “antre” mendapatkan Lailatul-Qadar.
Aku sekadar pemimpi ridla Allah di hadapan Allah. Lailatul-Qadar bagiku, puncaknya, adalah ridla-Nya atas segala yang kulakukan selama Ia menugasiku di muka bumi, di Menturo, di Yogya, di Jakarta, seluruh Indonesia, dan dunia. Aku hanya tahu bahwa sebaiknya kita memusatkan perhatian kita tidak pada “cahaya dari langit” yang kita bayangkan sebagai Lailatul-Qadar. Cahaya di situ bisa simbolik, bisa letterlijk (lahiriyah/tekstual).
Yang sepenuhnya harus kita urus adalah receiver spiritual kita sendiri untuk mungkin menerima Lailatul-Qadar. Kesiapan diri kita. Kebersihan jiwa kita. Kejernihan ruh kita. Kelembutan hati kita. Keadilan pikiran kita. Kepenuhan iman kita. Totalitas iman dan kepasrahan kita. Itulah yang harus kita maksimalkan.
Kalau lampumu tak bersumbu dan tak berminyak, jangan bayangkan api. Kalau gelasmu retak, jangan mimpi tuangan minuman. Kalau mentalmu rapuh, jangan rindukan rasukan tenaga dalam. Kalau kaca jiwamu masih kumuh oleh kotoran-kotoran dunia, jangan minta cahaya akan memancar dengan jernih atasmu.
Jadi, bertapalah dengan puasamu. Bersunyilah dengan i’tikafmu. Mengendaplah dengan lapar dan hausmu. Membeninglah dengan rukuk dan sujudmu. Puasa mengantarkanmu menjauh dari kefanaan dunia, sehingga engkau mendekat ke alam spiritualitas. Puasa menanggalkan barang-barang pemberat pundak, nafsu-nafsu pengotor hati, serta pemilikan-pemilikan penjerat kaki kesorgaanmu.
Satu malam Lailatul-Qadar itu lebih berkualitas dibanding seribu bulan. Bulan dalam arti benda alam yang dipakai oleh Allah untuk melambangkan spiritualitas dan cinta. Maupun bulan dalam arti rentang waktu di mana manusia mengembarai hidupnya.
Jadi, Lailatul-Qadar itu sebuah luxury. Suatu momentum amat sangat istimewa, yang kalau manusia sanggup menyentuhkan diri padanya, maka pengalaman dan perolehan sesaatnya itu akan mengatasi kualitas pengalamannya dalam seribu bulan.
Tanazzalu-l-mala`ikatu wa-r-ruhu fi-ha. Turun secara bergelombang, secara berduyun-duyun, berbondong-bondong para malaikat yang dipimpin Sang Ruh, yakni Paduka Jibril. “Tim lengkap” malaikatullah itu diizinkan Allah untuk bekerja bersama-sama dan beramai-ramai dalam kesunyian dunia demi suatu perahmatan masal jika kaum muslimin memahaminya dan mengerti bagaimana menyongsongnya.
Tanazzal beda dengan nuzul yang biasa dipakai untuk menggambarkan turunnya Al-Qur`an. Tanazzal menggambarkan keriuh-rendahan, keberbondongan, semangat dan pesta rahmat. Ya Allah, betapa Engkau telah kirimkan para malaikat-Mu, bahkan langsung di bawah komando Sang Jibril. Dan mereka semua membawa berlaksa-laksa rahmat-Mu untuk ditaburkan kepada manusia.
Akan tetapi, betapa sombongnya para hamba itu! Banyak sekali di antara mereka yang bersikap acuh tak acuh pada pesta rahmat itu. Mereka berseliweran di jalanan-jalanan di mana mereka tak memperoleh apa pun kecuali kepuasaan sesaat yang segera sirna oleh berlangsungnya waktu. Waktu berdansa-dansi di klub-klub, bercengkerama di warung-warung, mengobrolkan hal-hal yang tak pernah ada manfaatnya di dunia maupun akhirat. [Rois]