Selama Pandemi, Kasus Anak di Jabar yang Kecanduan Game Gadget Meningkat, Ada yang Dirawat di RSJ Hingga Meninggal Dunia
JAKARTA – Berbagai kasus kecanduan gawai bermain game di kalangan anak-anak di Jawa Barat cukup memprihatinkan terlebih saat pandemi mendera, dan proses belajar menggunakan pola daring. Bulan Februari 2021 lalu, siswa SMP kelas 1 di Subang meninggal diduga penyebabnya karena kecanduan game. Tak hanya itu, jumlah pasien anak yang kecanduan gawai di RS Jiwa Cisarua Bandung Barat meningkat pesat.
Raden Tri Sakti (12), siswa SMP kelas 1 asal Desa Salam Jaya, Pabuaran, Subang meninggal dunia dengan diagnosa mengalami gangguan syaraf. Pihak keluarga menyebut penyakit yang dideritanya dikabarkan karena kecanduan bermain game online di telepon seluler. Raden meninggal 23 Februari.
Endang, paman Raden, menceritakan keponakannya sejak awal tahun mengeluhkan sakit kepala, bahkan tangan dan kakinya susah digerakkan. Sempat dirawat selama di RS Siloam, Endang mengatakan dokter yang merawatnya mengatakan gangguan saraf yang diderita keponakannya itu karena radiasi telepon seluler.
Endang menuturkan keponakannya selama ini selalu bermain game online seharian, ditambah dengan sekolah jarak jauh yang otomatis selalu memegang handphone. “Jadi anak itu tadinya sering main HP game online siang malam, tidur subuh pukul 03.00 WIB. Trus kerap mengigau kaya lagi bermain game,” ujar Endang.
Meski penyebab gangguan saraf ini dibantah oleh Ketua IDI cabang Kabupaten Purwakarta dr Susilo Atmojo. Menurutnya gangguan syaraf tidak ada hubungannya dengan radiasi handphone. Kecanduan gawai atau kecanduan bermain game berakibat kepada perubahan perilaku anak.
Sementara itu berdasarkan catatan RSJ Cisarua, Jawa Barat, pada bulan Januari hingga Februari 2021 ada 14 anak alami kecanduan gawai yang menjalani rawat jalan. Sementara pada tahun 2020 rentang bulan Januari sampai Desember total ada 98 anak yang menjalani rawat jalan gegara kecanduan gawai.
Spesialis Psikiater Anak dan Remaja RSJ Cisarua Lina Budianti mengatakan usia anak paling muda yang pernah menjalani perawatan jalan karena kecanduan gawai yakni usia 7 tahun.
“Untuk yang termuda itu 7 tahun, dia juga murni kecanduan gawai karena kurangnya pengawasan orangtua. Kalau secara keseluruhan, rata-rata yang dirawat jalan di sini usia 7-15 tahun,” katanya dihubungi media, Sabtu (20/03/2021).
Menurut Lina penyebab anak-anak menjadi pencandu gawai karena banyak faktor, seperti membuat anak anteng karena kebanyakan orangtua sibuk.
“Orangtuanya di awal memberikan kelonggaran, karena mereka berpikir kalau enggak main game terus mau ngapain. Tapi lama-lama pemakaian tidak terkendali, akhirnya jadi adiksi,” kata Lina.
Hal itu diperparah dengan kondisi pandemi COVID-19 saat ini, di mana anak mau tidak mau setiap hari memegang gadget karena proses belajar mengajar dilakukan secara daring.
“Sebagian yang datang ke kami diperberat dengan kondisi ini (pandemi COVID-19). Jadi pandemi mereka tidak kemana-mana. Mereka juga dapat kuota gratis kan. Kita tanya orangtua sudah berusaha dibatasi atau belum ternyata jawabannya sudah, tapi memang sulit,” jelasnya.
Lina mengatakan jumlah anak yang mengalami kecanduan gawai bertambah setiap tahunnya. “Dulu kalau mau senang itu lewat olahraga, rekreasi atau interaksi dengan sesama. Kalau sekarang, untuk mendapat dophamine itu, anak-anak bisa bermain game dan internetan di ponsel. Tapi kalau berlebihan nanti berubah fungsi bisa berdampak pada masalah psikiatri ya adiksi ini,” terangnya.
Lebih lanjut Lina mengatakan untuk mengurangi potensi adiksi anak terhadap gawai, orangtua tak perlu melarang keras anak mengakses gawai, namun berikan edukasi pada anak soal tanggungjawab dan batasan yang jelas.
“Sebetulnya yang dilakukan orang tua untuk membatasi adiksi itu bukan melarang, tapi mengajari anaknya memakai internet dengan bertanggungjawab. Hanya saja karena orangtua sibuk dan anaknya anteng tanpa diawasi akhirnya ya bablas. Intinya orangtua harus bisa mengawasi dengan ketat,” tegasnya. []