SENGKARUT MASALAH PENGIRIMAN PMI KE ARAB SAUDI
JAKARTA – Pemerintah melalui Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) belum juga membatalkan rencana pengiriman pekerja migran Indonesia (PMI) ke Arab Saudi. Padahal, sudah banyak protes terhadap rencana pengiriman PMI tersebut, menyusul eksekusi mati Tuti Tursilawati di Arab Saudi pada 29 Oktober 2018 – yang dilakukan tanpa notifikasi ke Indonesia.
Eksekusi mati tanpa notifikasi ini bukan kali pertama dilakukan Pemerintah Arab Saudi. Migrant Care mencatat, sepanjang 2008-2018 ada lima kasus serupa yang terjadi di Arab Saudi. Masing-masing eksekusi mati terhadap Yanti Irianti, Ruyati, Siti Zaenab, Karni, dan Muhammad Zaini Misrin Arsad.
Dasar pengiriman PMI ke Arab Saudi, tak lain kesepakatan kerja sama bilateral Sistem Penempatan Satu Kanal (one channel) PMI yang ditandatangani Pemerintah Indonesia dan Arab Saudi. Penandatanganan kerja sama dilakukan oleh Menteri Ketenagakerjaan RI M. Hanif Dhakiri dengan Menteri Tenaga Kerja dan Pembangunan Sosial Kerajaan Arab Saudi Ahmed bin Suleiman bin Abdulaziz al Rajhi, Kamis, 11 Oktober 2018, di kantor Kementerian Ketenagakerjaan RI.
Penandatanganan kerja sama oleh kedua menteri dilanjutkan dengan penandatanganan technical arrangement oleh Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan RI, Marulli A. Hasoloan, dan Wakil Sekretaris Hubungan Internasional Menteri Tenaga Kerja dan Pembangunan Sosial Arab Saudi, Abdulaziz al Amr.
Namun, aktivis Migrant Care Anis Hidayah menuding, pemerintah tidak transparan terkait kesepakatan tersebut. Sebab, hingga kini, Kemnaker belum juga membuka kesepakatan tersebut ke publik. ”Sampai hari ini sama sekali kita tidak tahu apa isi agreement-nya. Padahal, kebijakan yang dibuat oleh pemerintah seperti ini seharusnya melalui konsultasi publik. Jadi, sebenarnya itu cacat secara hukum,” kata Anis Hidayah, Kamis (15/11/2018), seperti dinukil dari Antara.
Anis Hidayah menambahkan, berdasarkan pemberitaan media di Arab Saudi, PMI yang akan dikirimkan ke sana jumlahnya sekitar 30.000 orang. Namun, jumlah ini dibantah oleh Menaker Hanif. ”Begini. MoU-nya memang ada, tapi angka 30.000 itu dari mana didapatkan? Jangan ngarang,” kata menteri dari Partai Kebangkitan Bangsa tersebut di kantor Bappenas, Jakarta Pusat, Kamis (8/11/2018).
Anis Hidayah tidak mempersoalkan bantahan Hanif Dhakiri terkait jumlah PMI yang dikirim. Kata dia, yang justru lebih penting adalah soal keselamatan para PMI jika nantinya mereka dikirim ke Arab Saudi. Pasalnya, Arab Saudi dan Malaysia merupakan negara dengan kasus pekerja migran yang ancaman hukuman matinya tertinggi.
”Konsen kita adalah penempatan kembalinya, apakah 5.000, 10.000, atau 30.000. Ini bukan soal angka, tapi penempatan kembali dalam situasi kita pasca-eksekusi. Selain itu, kita sedang dalam masa transisi pembaruan kebijakan migrasi, dan harus mempersiapkan segala macam. Itu yang perlu diperhatikan,” tambah Anis.
Pengiriman PMI ke Arab Saudi dikhawatirkan akan menambah panjang kasus hukuman mati WNI di luar negeri. Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri (Kemlu), sepanjang 2011-2017 terdapat 188 kasus WNI terancam hukuman mati yang dalam proses penanganan. Sebanyak 72 persen di antaranya, menurut Migrant Care, adalah perempuan.
Mengutip Jawa Pos, harapan soal perbaikan kebijakan rencana pengiriman PMI juga datang dari Kemlu. Direktur Perlindungan WNI Kemlu Lalu Muhammad Iqbal mengatakan, kebijakan tersebut semestinya mendapat dukungan dari semua pemangku kepentingan. Termasuk dari Kemlu, yang akan menangani kasus PMI jika nantinya bermasalah di luar negeri.
”Seharusnya kebijakan itu lebih inklusif. Karena kebijakan yang bagus harus mendapat support dari sebanyak mungkin stakeholder. Sebab, dampaknya akan melibatkan stakeholder yang lain,” jelas Iqbal, Kamis (15/11/2018). ”Yang pasti, tukang cuci piringnya kan Kemlu. Susahnya bagi Kemlu, UU No. 37/1999 mengenai hubungan luar negeri memandatkan perlindungan bagi WNI di luar negeri sebagai tugas Kemlu,” ujarnya.
Respons Kemnaker
Selain membantah jumlah 30.000 PMI yang akan dikirim, sampai sekarang memang belum ada penjelasan dari Kemnaker terkait hal ini. Namun, dalam laman resmi www.kemnaker.go.id, Kemnaker menjelaskan, kerja sama dengan Arab Saudi dilakukan dalam rangka pembenahan tata kelola penempatan PMI, baik terkait perlindungan maupun peningkatan kesejahteraan.
”Bagi Pemerintah Indonesia, kerja sama bilateral ini bukanlah hal yang mudah. Ini karena banyak kasus yang menimpa PMI di Arab Saudi, seperti kekerasan, pelecehan seksual, gaji yang tidak dibayar, eksploitasi, hingga ancaman hukuman mati yang mempengaruhi persepsi publik,” kata Menteri Hanif, Kamis (11/10 /2018).
Hanif berharap, kerja sama bilateral ini dapat meningkatkan mekanisme penempatan dan perlindungan PMI. ”Kami optimistis, dengan berbagai perbaikan yang terintegrasi melalui satu sistem yang disepakati kedua negara, menjadikan penempatan dan perlindungan PMI berjalan jauh lebih baik,” ungkapnya.
Kerja sama ini bersifat uji coba secara terbatas. Yakni, dengan jumlah PMI tertentu, dilakukan evaluasi setiap tiga bulan, lokasi tertentu (Jeddah, Madinah, Riyadh, dan wilayah timur: Damam, Qobar, Dahran), juga jabatan tertentu (baby sitter, family cook, elderly caretaker, family driver, child careworker, housekeeper).
Setidaknya ada 21 poin penting pada Sistem Penempatan Satu Kanal yang tidak diatur dalam kerja sama sebelumnya, sekaligus menjadi titik lemah dalam perlindungan pekerja migran. Poin baru tersebut, antara lain, proses rekrutmen dan penempatan PMI melalui sistem online terintegrasi yang memungkinkan kedua pemerintah melakukan pengawasan, pemantauan, dan evaluasi.
PMI tidak lagi bekerja dengan sistem kafalah (majikan perseorangan), melainkan sistem syarikah (perusahaan yang ditunjuk dan bertanggungjawab kepada pemerintah Arab Saudi). Sistem ini mempermudah PMI dan pemerintah Indonesia melakukan perlindungan.
Perjanjian juga mengacu pada kontrak kerja yang telah ditetapkan berdasarkan prinsip kerja yang layak. Gaji dibayarkan melalui perbankan, sehingga pembayaran gaji dapat diawasi, dan apabila terjadi keterlambatan pembayaran dapat segera terdeteksi.
Kedua negara juga sepakat membentuk joint committee yang bertugas mengawasi/mengevaluasi implementasi proses rekrutmen dan penempatan PMI di lapangan. Termasuk, terdapat call center khusus yang menangani masalah ketenagakerjaan dengan bahasa Indonesia. PMI juga mendapatkan akses komunikasi dengan keluarga.
Menteri Hanif menjelaskan, SPSK tidak berarti mencabut Peraturan Menteri No. 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan TKI pada Pengguna Perseorangan ke Kawasan Timur Tengah. Sebaliknya, SPSK adalah kebijakan untuk memastikan tidak ada pelanggaran dalam pelaksanaan kebijakan penghentian dan pelarangan PMI ke Timur Tengah. ”Pengiriman PMI juga berdasarkan jabatan dan keahlian tertentu. Bukan sebagai pembantu rumah tangga yang mengerjakan semua pekerjaan domestik,” ujarnya.
Sementara itu, mengutip Republika, Kepala Bagian Humas BNP2TKI Ahnas menjelaskan, sejauh ini rencana pengiriman PMI ke Arab Saudi belum final. Karena itu, BNP2TKI selaku operator pelaksana masih menunggu kepastian dari Kemnaker. ”Secara teknis rencana pengiriman itu memang belum final. Pembahasan teknisnya saja belum ada,” jelas Ahnas, Senin (26/11/2018).
Pertanyaannya, kalau belum final, mengapa Kemnaker sampai sekarang tidak kunjung membuka dokumen kerja sama tersebut untuk mendapat masukan dari masyarakat dan kementerian terkait? []