April 20, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Seribuan Orang yang Positif COVID-19 telah Bernafas dengan Ventilator Buatan Doktor Syarif

5 min read

BANDUNG – Malam beranjak larut, pada pertengahan April 2020. Kota Bandung telah terlelap, tapi tidak dengan Syarif Hidayat. Lampu di ruang tamu Yayasan Salman ITB tempatnya bekerja tampak benderang. Dia masih terjaga, berkutat merancang alat bantu pernapasan bagi penderita covid-19. Isi kepalanya saat itu berpusat pada pencarian cara mendorong oksigen hingga mengembangkan paru-paru pasien yang tak lagi mampu bernafas normal

Sudah beberapa pekan jam tidurnya berantakan. Rata-rata, hanya empat jam sehari. Syarif mesti berkejar dengan waktu sebab pandemi tambah mencemaskan. Rumah-rumah sakit makin dipenuhi para penderita yang kebanyakan terserang sesak. Kebutuhan akan ventilator sulit tertawarkan lagi.

Kegunaan paling sederhana dari ventilator adalah continuous positive airway pressure atau CPAP. Memberikan tekanan positif pada paru-paru agar terus mengembang. Ini penting, karena covid-19 menghasilkan lendir yang membuat paru-paru kuncup tak bisa menerima oksigen.

Sayangnya, Indonesia tak memiliki industri yang memproduksi ventilator. Sementara, impor juga bukan pilihan. Lonjakan orang yang terpapar wabah di dunia, membuat harga piranti tersebut melangit. Bahkan mencapai Rp500 juta. Serta-merta, ketersediaannya pun menipis.

Kalau pun alat tersebut bisa didapatkan, bakal muncul persoalan baru. Tak sembarang orang mampu mengoperasikannya. Hanya ahli tertentu, seperti dokter anestesi atau ICU saja, yang bisa menggunakan.

 

Menjawab Tantangan

Semua bermula dari sebuah tawaran. Seorang Alumni ITB yang juga anggota tim pembantu Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, meminta Syarif untuk membuat ventilator. Saat itu, Syarif tak langsung menyanggupi. Ia berdalih, ingin mempelajarinya dulu.

Waktu untuk menimbang tak berlangsung lama. Akhirnya Syarif mengiyakan.

“Saya tak ingin diam saja,” tutur Dosen Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) dari Kelompok Keahlian Ketenagalistrikan ITB, Senin (13/07/2020).

Berbekal pemikiran: apapun yang bisa dibuat manusia, maka ia bisa membuatnya, Syarif pun memulai prosesnya. Nama untuk ventilator rancangannya pun sudah disiapkan. Yakni, Vent-I.

Sebagai modal pembuatan, diajukannya dana pada Masjid Salman ITB senilai Rp50 juta.

“Dari awal saya sudah mengajukan dana ke Salman ITB karena membuat itu butuh dana,” imbuh akademisi yang kerap disapa Dokter Ahli Petir itu, lantaran banyak proyek setrum yang dikerjakan.

Untuk tempat kerja, Syarif memilih meninggalkan rumah nyamannya. Ia memanfaatkan berbagai ruangan di Masjid Salman. Termasuk, ruang tamu kantor yayasan, tempat malam-malamnya banyak dihabiskan.

Sejak 23 Maret, kegiatan Syarif berpusar di lingkungan Masjid Salman ITB yang telah diubah menjadi bengkel. Mulai dari ruang serba guna, kelas, hingga kantin.

Berbagai tantangan coba dijawab Syarif sekaligus. Harga ventilator buatannya harus murah agar bisa dijangkau banyak pihak. Material yang diperlukan juga mesti cukup untuk digubah menjadi ratusan produk. Terakhir, penggunaannya harus mudah.

Kendala pertama menghadang. Saat menugaskan stafnya untuk membeli komponen ventilator, Syarif dihadapkan kenyataan pahit, bahwa mafia di industri alat kesehatan begitu luar biasa. Jika harga daging impor harga naik empat kali lipat, menurut pengakuan Syarif, alat kesehatan justru bisa melonjak hingga sepuluh kali lipat.

Tak buntu akal, Syarif menempuh cara lain, tanpa menggunakan rantai pasok alat kesehatan.

Setelah jadi, Syarif membutuhkan berbagai masukan dibutuhkan demi kesempurnaan alat gubahannya. Foto purwarupa ventilator pun diunggah ke media sosial seraya mengundang para dokter untuk mengulas.

Sambutan bermunculan. Satu di antaranya datang dari seorang dokter anestesi Universitas Padjadjaran, Ike Sri Rejeki. Rancangan syarif dipuji bagus. Hanya saja, jenisnya tak sesuai dengan kebutuhan. Ventilator yang diperlukan mendesak waktu adalah yang memiliki fungsi continuous positive airway pressure atau CPAP.

Pernyataan itu, sontak membuat Syarif bimbang. Benaknya dipenuhi pertanyaan, apakah mampu membuat CPAP menggunakan komponen sederhana? Dan ventilator itu juga harus mampu bertahan selama 14 hari.

Kondisi pandemi membuat material yang ia butuhkan sulit ditemukan. Apalagi, material yang berasal dari luar negeri. Tentu bakal terkendala pengiriman sehingga sulit memastikan waktu tibanya. Mau tidak mau, harus mengolah bahan yang tersedia saja.

Walau sukar, Syarif tak punya pilihan lain kecuali menyempurnakan ventilatornya. Ia putuskan untuk merangkai sendiri material yang dibutuhkan. Misalnya dalam pembuatan pompa, ia mencari produk yang mudah didapatkan, dan tidak berebut dengan pihak-pihak lain. Pilihannya jatuh pada pompa peniup kasur.

Dimodifikasinya pompa peniup kasur itu sedemikian rupa, dikawinkan dengan motor yang biasa digunakan drone. Lalu, dilengkapi venting.

Usai dihadapkan pada kendala bahan, Syarif dan timnya pun mesti menerima berbagai cibiran. Mereka dinilai tidak akan mampu menyelesaikan ventilator. Bahkan, ada juga yang bilang, Vent-I sebagai proyek mission impossible. Semua tak dihiraukannya.

Percobaan pertama, ventilator besutan Syarif hanya dapat bertahan selama dua hari dua malam. Masih semangat, ia coba perbaiki dan ganti material. Hasilnya lebih parah. Alat hanya bertahan 12 jam, kemudian rusak.

Saat itu juga air mata tumpah. Kesedihan merundung. Syarif sempat kecil hati dengan keberhasilan upayanya. Namun, dia segera bangkit, kembali melakukan percobaan.

“Saya cari-cari solusi. Cari lagi informasi apa yang bisa saya lakukan,” ungkapnya.

Hingga akhirnya, hasil baik terjelang. Alat berhenti diujicobakan setelah melewati 21 hari.

Enam pekan berjuang, Ventilator Portabel Indonesia atau Vent-I telah dinyatakan lolos uji produk oleh Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan (BPFK) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada 21 April 2020. Semua kriteria tes berhasil dilewati.

Vent-I dinyatakan aman digunakan sebagai ventilator non-invasive untuk membantu pasien covid-19 yang mengalami sesak, meski masih mampu bernapas secara mandiri atau masih dalam fase intermediate. Diharapkan, bantuan tersebut dapat mencegah kondisi pasien memburuk.

Alat bantu pernapasan buatan Syarif itu dinyatakan telah sesuai dengan standar SNI IEC 60601-1:204: Persyaratan Umum Keselamatan Dasar dan Kinerja Esensial dan Rapidly Manufactured CPAP Systems, Document CPAP 001, Specification, MHRA, 2020. Vent-I lantas dipatenkan.

Selain terbuat dari bahan-bahan yang dapat ditemukan di pasaran dalam negeri, pengoperasian vent-I yang menggunakan mesin ventilator positive end-expiratory pressure atau PEEP itu juga mudah. Bahkan, dokter umum dan perawat sekalipun bisa menggunakannya. Keunggulan lain, Vent-I dikemas ringkas sehingga mudah ditenteng kemana-mana.

Harganya terbukti jauh lebih rendah dari ventilator portabel di dunia internasional yang berkisar Rp30–70 juta. Vent-I hanya Rp18 juta saja. Bahkan, harga non komersialnya bisa lebih murah.

Saat ini, produksi Vent-I melibatkan pelajar dan mahasiswa seperti ITB, Unpad, UPI, Polman, Polban, serta sejumlah SMK di Bandung. Juga dibantu PT Dirgantara Indonesia.

 

Berutang Pada Masyarakat

Kegigihan Syarif telah mengetuk hati orang banyak. Masyarakat tergerak menyumbang melalui crowd funding demi keberhasilan Vent-I. Syarif merasa berutang kepada masyarakat.

Semula dana yang terkumpul hanya mampu untuk memproduksi 200 unit. Lama-lama, jumlahnya bertambah, sampai mencapai Rp12 miliar lebih. Setara dengan 1.000 ventilator.

Ventilator karya Syarif itu akan dibagikan secara cuma-cuma ke rumah sakit di seluruh Indonesia. Sebagiannya sudah disebar, terbanyak di Pulau Jawa. Selain itu, Syarif juga memproduksi ventilator non-donasi atau komersial. Proses industrinya dilaksanakan oleh PT Rekacipta Inovasi ITB yang bekerja sama dengan ITB, BUMN, dan swasta.

Tak hanya mendapat respons baik dari masyarakat, ventilator buatannya juga menarik perhatian Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Pujian diterima Syarif. Sebanyak 1.000 Vent-I pun dipesan, untuk dibagikan ke rumah sakit yang berafiliasi dengan Kemenhan serta TNI.

Menhan bahkan mendukung rencana tim Vent-I yang akan membuat ventilator lebih canggih lagi, yaitu High Flow Nasal Cannul atau HFNC.

Ke depan, Vent-I bakal diproduksi perusahaan multinasional asal Jepang. Kebahagiaan Syarif pun buncah. Jika selama ini, orang Indonesia lah kerap merakit produk Jepang, kini justru sebaliknya. Giliran perusahaan Negeri Matahari Terbit itu yang akan merakit produk Indonesia.

Sejumlah negara lain juga menyatakan ketertarikannya kepada Vent-I. Seperti Kuwait, Arab Saudi, juga Filipina.

Syarif bertekad terus mengembangkan ventilatornya. Ia juga mengaku berminat membuat alat-alat lain yang bisa mempermudah kehidupan masyarakat.

“Insya Allah saya akan terus mengembangkan yang sifatnya untuk membantu masyarakat. Bukan hanya ventilator, tapi alat-alat lain yang sifatnya bisa disubstitusikan. Harapan saya semoga covid-19 nya bisa cepat berlalu sehingga masyarakat bisa kembali beraktivitas,” tutupnya. []

Dihimpun dari berbagai sumber, ditulis oleh Fitriana Monica Sari

Advertisement
Advertisement