Sertifikat Tanah Bukan Bukti Kepemilikan Mutlak
ApakabarOnline.com – 11 dari 10 orang menjawab bahwa tanah merupakan objek permasalahan hukum yang sering banget terjadi di masyarakat. Sepakat? Harus! Sebab, tanah itu kebutuhan dasar manusia yang tidak hanya bernilai historis dan sosiologis, tapi juga bernilai ekonomis. Melihat hal tersebut, wajar saja sering terjadi konflik dalam dunia pertanahan. Salah satu hal yang seringkali menjadi konflik adalah terkait dengan Sertipikat. Inget ya, Sertipikat bukan sertifikat.
Sebelumnya, ada baiknya kalo saya cerita dikit tentang sejarah aturan hukum yang mendasari timbulnya sertipikat sebagai tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Pertama, kita perlu ingat bahwa rumusan mengenai pertanahan pertama kali terdapat dalam konstitusi, tepatnya ada dalam Pasal 33 UUD 1945. Ayat ke 3 menggambarkan cita-cita luhur bangsa Indonesia di bidang kekayaan alam yang di dalamnya mengatur tentang pertanahan.
Kedua, sebagai turunan dari Pasal 33 UUD 1945, disusun dan diterbitkanlah UU No. 5Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang diterbitkan pada tanggal 24 September 1960. Nah, salah satu tujuan dari diterbitkannya UUPA tersebut adalah untuk memberikan jaminan kepastian hukum kepada rakyat Indonesia.
Ngomongin tentang kepastian hukum hak atas tanah, kita mesti menengok Pasal 19 Ayat (1) dan (2) UUPA. Pada intinya, Pasal 19 Ayat 1 UUPA menerangkan bahwa jaminan hukum diberikan pemerintah pada tanah-tanah yang telah didaftarkan. Adanya kata ‘diadakan pendaftaran tanah’ menjadikan bahwa Pasal 19 Ayat 1 mengamanatkan pemerintah untuk berkewajiban mengadakan pendaftaran tanah.
Pasal 19 Ayat ke 2 mengamanatkan bahwa pendaftaran tanah meliputi:
- pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah;
- pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
- pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Pasal 19 UUPA menggambarkan bahwa negara memberikan jaminan hukum dan kepastian hak terhadap hak atas tanah yang sudah terdaftar. Namun di sana, belum ditemukan adanya kata ‘sertipikat.’ Dalam pasal tersebut hanya terdapat kata ‘surat-surat tanda bukti hak.’
Berdasarkan amanat Pasal 19 Ayat ke 1 yang menyatakan bahwa aturan lebih lanjut akan diatur dalam PP (peraturan Pemerintah), maka untuk mengimplementasikan pasal tersebut diterbitkanlah PP No. 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran tanah yang di kemudian hari PP 10/1961 tersebut digantikan oleh PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah.
Berdasarkan PP 10/1961 tersebut, barulah kita menemukan kata-kata Sertipikat. Tepatnya berada di dalam Pasal 13 Ayat (3). Kemudian, Pasal 13 Ayat ke 4 PP 10/1961 menegaskan bahwa Sertipikat yang dimaksud dalam Ayat ke 3 merupakan surat-surat tanda bukti hak sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19 UUPA.
Sertipikat? Kalo mau tahu definisinya, bisa kita cek dalam Pasal 1 angka ke 20 PP No. 24 tahun 1997. Di sana dijelaskan bahwa sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.
Berdasarkan aturan-aturan yang sudah digelarkan di atas, kita ketahui bahwa Sertipikat menjadi tanda sekaligus sebagai alat bukti hak kepemilikan atas tanah yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Sertipikat merupakan produk hukum yang memuat data fisik dan yuridis.
Bila kita mengutip pernyataan Prof. Maria SW Sumardjono yang mengatakan bahwa sertipikat hak atas tanah sebagai hasil akhir proses pendaftaran tanah berisi.
Data fisik (keterangan tentang letak, batas, luas bidang tanah, serta bagian bangunan atau bangunan yang ada diatasnya bila dianggap perlu)
Data yuridis (keterangan tentang status tanah dan bangunan yang didaftar, pemegang hak atas tanah dan hak-hak pihak lain, serta beban-beban lain yang berada diatasnya).
Dengan memiliki sertipikat maka kepastian hukum berkenaan dengan jenis hak atas tanah, subjek hak dan objek haknya menjadi nyata.
Perlu kita ketahui bahwa selama ini masyarakat kita menganggap bahwa sertipikat merupakan alat bukti yang mutlak. Siapapun yang memiliki sertipikat, dialah yang memiliki hak atas tanah dan tidak bisa diganggu gugat. Faktanya? Ada loh, objek tanah yang memiliki sertipikat lebih dari satu. Atau, kadangkala ada oknum yang sengaja mensertipikatkan tanah yang bukan miliknya.
Inget! Berdasar pasal-pasal yang sudah diuraikan di atas, memang benar kalo sertipikat hak atas tanah itu merupakan tanda bukti yang diterbitkan oleh BPN. Dengan tujuan, untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah yang dimiliki baik itu oleh orang maupun badan hukum.
Akan tetapi, Pasal 19 Ayat (2) huruf ‘c’ hanya mengamanatkan bahwa tanda bukti hak yang diberikan tersebut hanya berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Dalam konteks ini, Prof. Maria SW Sumardjono menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘kuat’ berarti harus dianggap benar sepanjang tidak dapat dibuktikan sebaliknya di Pengadilan dengan alat bukti yang lain.
Jadi meskipun sertipikat dikatakan sebagai alat bukti yang kuat, bukan berarti sertifikat tidak dapat diganggu gugat. Selama orang yang merasa dirugikan dapat membuktikan bahwa dialah pemilik sah dari objek tanah yang telah bersertipikat tersebut, maka Hakim dapat membatalkan atau mencabut sertipikat tersebut. Meskipun, orang yang merasa dirugikan tersebut hanya berbekal letter c, girik, petok, ataupun SKT (surat keterangan tanah).
Poinnya adalah, dengan terbuka peluang bagi orang yang merasa dirugikan untuk mengajukan gugatan secara hukum terhadap pemegang sertipikat hak atas tanah, maka dapat disimpulkan bahwa kekuatan hukum Sertipikat hak atas tanah tidaklah mutlak. []
Penulis : Dedi Triwijayanto