Sikap-Sikap Tercela yang Rawan Terjadi Pada Seseorang Karena Berharta
ApakabarOnline.com – Harta itu tidak tercela karena harta itu sendiri. Celaan itu tidak tertuju kepada harta namun tertuju kepada sikap manusia terhadap harta. Menurut Ahmad bin Qudāmah ada lima sikap manusia terhadap harta yang tercela.
Pertama, rakus dengan harta. Orang yang rakus dengan harta menjadikan harta dan dunia sebagai orientasi hidupnya.
Dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda, “…. Dan siapa saja yang dunia menjadi orientasi hidupnya Allah akan meletakkan kefakiran di antara kedua matanya. Allah akan cerai beraikan urusannya dan dia tidaklah mendapatkan dunia kecuali sebesar yang Allah takdirkan untuknya” (HR Tirmidzi no 2465).
Di antara doa yang sering Nabi panjatkan sebelum beranjak meninggalkan tempat duduknya adalah kalimat sebagai berikut:
“…. Ya Allah janganlah Kau timpakan kepada kami musibah agama dan janganlah Kau jadikan dunia sebagai orientasi terbesar kami dalam hidup dan maksimal pengetahuan kami. …” (HR Tirmidzi no 3502 dari Ibnu Umar).
Sikap rakus dengan harta Allah gambarkan dalam firmannya,
“Orang yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya” (QS al-Humazah[104]: 2).
Ketika menjelaskan kata wa’addadahu Ibnu Utsaimīn mengatakan, “Maksudnya karena demikian besar rasa cintanya dengan harta berulang kali orang tersebut mendatangi tempat penyimpanan hartanya dan menghitung-hitungnya. Pada pagi hari dia hitung uang yang ada di tempat penyimpanan. Pada sore hari kembali dia hitung uang tersebut padahal dia mengetahui dan menyadari bahwa uang yang ada di tempat penyimpanan tersebut sedikit pun belum diambil dan belum ditambahi. Akan tetapi karena demikian dalam rasa cintanya dengan harta berulang kali dia mendatangi tempat penyimpanan harta dan menghitung-hitungnya.
Oleh karena itu digunakan bentuk hiperbola. Orang tersebut bolak balik menghitung harta karena sangat cinta dengan harta dan khawatir hartanya berkurang atau sekedar agar semakin menenangkan hati dengan jumlah harta yang dimiliki. Oleh karena itu orang tersebut bolak balik menghitung hartanya4.
Kedua, mendapatkan harta tidak melalui jalan yang halal. Harta itu tercela jika didapatkan dengan cara-cara yang haram. Itulah kondisi akhir zaman yang Nabi ceritakan agar diwaspadai.
Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, “Manusia akan menjumpai suatu masa. Pada masa tersebut orang sudah tidak lagi mempedulikan dari sumber apa dia mendapatkan harta, dari sumber halal ataukah sumber haram” (HR Bukhari nomor 1954).
Ibnu at-Tīn mengatakan bahwa Nabi mengabarkan hal ini dalam rangka mengingatkan bahaya harta. Konten hadis ini juga merupakan salah satu bukti kenabian. Nabi mengabarkan hal yang belum terjadi di zamannya. Sasaran celaan dalam konteks ini adalah sikap menyamakan antara sumber pendapatan yang halal dan sumber pendapatan yang haram.
Ketiga, tidak menunaikan kewajiban harta. Ulama berselisih pendapat adakah kewajiban harta selain zakat. Pandangan yang diambil oleh diambil oleh Ibnu Rajab al-Hanbali, selain zakat ada tiga kewajiban harta yaitu:
- Untuk menyambung hubungan baik dengan kerabat. Kerabat yang paling dekat adalah orang tua. Anak yang berkecukupan wajib menafkahi ortu yang kekurangan.
- Jamuan tamu selama tiga hari yang merupakan hak menginap tamu yang berasal dari luar daerah.
- Bantuan bencana alam, kelaparan dll.
Keempat, tidak membelanjakan harta kepada sasaran yang tepat. Ada dua bentuk pembelanjaan harta yang tidak tepat, tabdzīr dan isrāf. Isrāf adalah pembelanjaan harta untuk hal yang sepatutnya namun dalam kadar yang berlebihan dan lebih dari sepatutnya. Sedangkan tabdzīr adalah membelanjakan harta dalam hal-hal yang tidak semestinya dan tidak sepatutnya (baca: maksiat)8. Isrāf itu terkait pembelanjaan harta dalam hal yang mubah atau hal yang dianjurkan namun dalam kadar yang over dosis dan berlebihan. Sedangkan tabdzīr adalah membelanjakan harta untuk kegiatan yang haram meski dengan nominal yang remeh.
Kelima, sombong dan bangga dengan harta.
“Berbangga-bangga dalam banyaknya harta dan lainnya telah melalaikan kalian” (QS at-Takātsur[102]: 1).
Mengenai makna ayat ini Saad asy-Syatsri mengatakan bahwa Allah mengabarkan dan mencela sikap banyak orang yang sibuk dengan takātsur, bersaing dalam kuantitas nikmat dunia yang didapatkan. Masing-masing orang menghitung-hitung nikmat duniawi yang Allah berikan kepadanya lantas mengklaim bahwa itu semua didapatkan semata-mata dengan usaha manusia (tanpa kemudahan dari Allah) sambil membanggakannya.
Kebanggaan semisal ini telah melalaikan banyak orang untuk menyadari bahwa tujuan penciptaannya adalah ibadah. Demikian pula kebanggaan ini melalaikan dari ibadah dan menyiapkan diri untuk kehidupan di akhirat nanti.
Melalaikan dalam konteks ayat ini bermakna menyibukkan dan menjauhkan banyak orang dari tujuan penciptaan. Yang dimaksud dengan takātsur adalah berlomba siapa yang terbanyak mendapatkan harta dan hal-hal yang menyenangkan diri.
Kesibukan mencari penghasilan atau kesibukan berbangga-bangga dengan kenikmatan dunia itu telah menyibukkan banyak manusia dari melaksanakan berbagai kewajiban agama. Dengan penuh bangga sebagian orang mengatakan kepada yang lain, “Saya punya ini dan itu. Saya punya harta dalam bentuk ini dan itu”.
Persaingan untuk mendapatkan kesenangan dunia yang terbanyak dan berbangga-bangga dengannya telah menyibukkan banyak orang untuk menunaikan hak-hak Allah dan melaksanakan berbagai kewajiban agama.
Bersaing untuk menjadi orang yang paling banyak mendapatkan kesenangan duniawi itu tercela baik persaingan itu dalam banyaknya harta dan anak, tingginya jabatan, jumlah pelayan dan anak buah dan lain-lain. Takātsur yang dimaksudkan dalam ayat ini semua nikmat dunia yang membuat orang bangga karena mendapatkannya atau bangga karena menjadi orang yang paling banyak mendapatkannya. []
Referensi Bacaan :
- Ahmad bin Muhammad bin Abdurrahmān bin Qudāmah al-Maqdisi, Mukhtashar Minhāj al-Qāshidīn, tahqīq Zuhair asy-Syāwīsy cet. ke-9 (Beirūt: al-Maktab al-Islāmy, 2000), 246.
- Muhammad bin Isa at-Tirmidzi, Sunan, tahqīq Masyhūr Hasan Salmān cet. ke-2 (Riyādh: Maktabah al-Ma’ārif, 2008), 556.
- Muhammad bin Isa at-Tirmidzi, Sunan, 795. At-Tirmidzi mengatakan, “Ini hadis hasan gharīb”.
- Muhammad bin Shāliḥ al-‘Utsaimīn, Tafsir al-Qur’ān al-Karīm Juz ‘Amma, cet. ke-9 (al-Qashīm: Muassasah Ibnu Utsaimin al-Khairiyyah, 1435), 319.
- Muhammad bin Ismā’īl al-Bukhāri, al-Jāmi’ash-Shahīh al-Mukhtashar, tahqīq Mushthofa Dīb al-Bughā cet. ke-3 (Beirūt: Dār Ibn Katsīr, 1987), II: 726.
- Ahmad bin ‘Ali bin Ḥajar al-Asqalāni, Fath al-Bāri, cet. ke-3 (Riyādh: Dār Thībah, 2010), V: 514.
- Thāriq bin ‘Iwadhullah, Rawā’it Tafsīr Tafsīr Ibn Rajab al-Hanbali, cet. pertama (Riyādh: Dār al-‘Āshimah, 2001), I: 513.
- Abdullah al-Fauzān, Minḥah al-Allām Syarh Bulūgh al-Maram, cet. ke-3 (Damām: Dār Ibn al-Jauzi, 1434), X: 76.
- Saad bin Nāshir asy-Syatsri, Tafsīr Juz ‘Amma, cet. pertama (Riyādh: Dār Kunūz Isybīlia, 2017), 319-320.