Sstt . . . , Undang-Undang Melindungi, Istri Boleh “Kepo” Isi Ponsel Suami
JAKARTA – Banyaknya kasus perselingkuhan di kalangan selebritas akhir-akhir ini membuat banyak para istri ketakutan dan menjadi ingin memeriksa ponsel suami. Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah sang suami masih komitmen dalam menjalani bahtera rumah tangga atau tidak.
Namun ada sebagian suami yang menganggap perilaku istri melanggar privasinya. Di sisi lain, banyak istri yang memilih untuk tidak memeriksa ponsel suami demi keutuhan rumah tangga atau memberi kepercayaan pada suami.
Selanjutnya, apakah sebenarnya boleh tidak sih istri memeriksa ponsel suami? berikut dasar hukum dan beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti melansir suara.com.
Boleh Cari Tahu Asal Bukan untuk Mencari Kesalahan
Seperti diketahui, sebenarnya hukum membuka ponsel tanpa izin termasuk pelanggaran data pribadi.
Hanya saja, untuk hubungan keluarga sedarah, yaitu antara suami dan istri, antara anak dan orang tua, antar saudara sedarah, merupakan hubungan yang memiliki karakteristik khusus, sehingga memerlukan pendekatan yang tersendiri pula.
Menurut Pasal 1 angka 1 UU Perkawinan, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perbuatan istri ataupun suami yang membuka ponsel tanpa izin pasangannya tidak dapat dikatakan melakukan perbuatan ‘tanpa hak’, sepanjang perbuatan tersebut masih merupakan batas yang wajar.
Batasan ‘batas yang wajar’ memang dapat menjadi persoalan tersendiri, dan harus dipahami kasus per kasus.
Oleh sebabnya, dalam suatu hubungan pernikahan sebaiknya ada kesepakatan yang dibuat antara suami istri tersebut terkait akses terhadap privasi milik suami atau istri.
Batasan Mengakses Ponsel Pasangan
Selanjutnya, apakah suami atau istri dapat mengakses (membuka, membaca, membalas, atau menghapus SMS, dan menerima panggilan) telepon selular istri atau suami?
Menurut Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) merupakan delik laporan.
Pasal ini dimaksudkan untuk melindungi properti dan juga privasi seseorang. Hanya pemilik atau yang memiliki hak yang dapat mengakses suatu Sistem Elektronik.
Selanjutnya, di dalam satu Sistem Elektronik terdapat informasi, dan tiap informasi memiliki nilai, baik nilai yang bersifat pribadi maupun nilai ekonomis, sehingga privasi dan kepentingan pemilik atau pihak yang berhak tersebut dilindungi oleh ketentuan Pasal 30 ayat (1) UU ITE.
Berdasarkan Pasal 30 ayat (1) UU ITE, yang dimaksud “dengan sengaja” ialah tahu dan menghendaki suatu perbuatan yang dilarang, atau mengetahui dan menghendaki timbulnya akibat yang dilarang.
Penjelasan pasal ini, sengaja memiliki makna mengetahui dan menghendaki mengakses Komputer atau Sistem Elektronik milik orang lain.
Tanpa hak maksudnya tidak memiliki hak baik menurut peraturan perundang-undangan maupun alas hukum lain yang sah, seperti perjanjian perusahaan, atau perjanjian jual beli. Sedangkan, unsur melawan hukum dapat bersifat formil maupun materiil.
Melawan hukum secara formil maksudnya melanggar peraturan perundang-undangan, sedangkan melawan hukum materiil maknanya tidak hanya terhadap pelanggaran menurut undang-undang, tetapi juga melawan hukum yang tidak tertulis.
Unsur mengakses mengandung makna melakukan interaksi dengan Sistem Elektronik, termasuk berada (secara virtual) dalam Sistem Elektronik yang dimaksud.
Oleh karena itu, perbuatan membuka, membaca, membalas, atau menghapus SMS, dan menerima panggilan termasuk dalam kategori mengakses menurut Pasal 30 UU ITE.
Kembali kepada pertanyaan dasar apakah istri atau suami memiliki hak untuk mengakses Sistem Elektronik milik suami atau istri?
Penting untuk dimengerti bahwa hubungan keluarga sedarah dekat, yaitu antara suami dan istri, antara anak dan orang tua, antar-saudara sedarah, merupakan hubungan yang memiliki karakteristik khusus sehingga dalam penerapan ketentuan Pasal 30 ayat (1) UU ITE memerlukan pendekatan yang tersendiri pula.
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ikatan lahir batin yang dimaksud tentunya menghasilkan hak dan kewajiban yang tidak perlu diatur secara tertulis lebih lanjut.
Setiap orang memiliki hak privasi, tetapi, ikatan lahir batin antara suami istri yang timbul akibat hubungan perkawinan membuat privasi suami dan istri menyatu sampai pada batas tertentu.
Maksudnya, ada perbuatan-perbuatan yang menurut umum, dan menurut batas kewajaran, dapat dilakukan oleh suami atau istri meskipun perbuatan tersebut ‘mengganggu’ atau ‘melanggar’ privasi istri atau suami. Hal ini juga dapat diberlakukan terhadap hubungan keluarga sedarah dekat lainnya.
Oleh karena itu, perbuatan istri (dan suami) yang membuka hp atau sms milik suami (atau istri) tanpa sepengetahuan suaminya (atau istrinya) tidak dapat dikatakan melakukan perbuatan ‘tanpa hak’, sepanjang perbuatan tersebut masih merupakan batas yang wajar.
Ruang lingkup ‘batas yang wajar’ dapat menjadi permasalahan tersendiri, dan harus dipahami kasus per kasus. []