Status Hukum Pernikahan yang Proses Awalnya dari Perselingkuhan
JAKARTA – Menikah adalah kesunahan yang mulia yang bisa dilakukan oleh setiap orang yang sudah siap dan mampu. Bahkan, menikah bisa menjadi kewajiban, manakala dikhawatirkan terjerumus kepada lembah perzinaan.
Akan tetapi di masa sekarang, ada orang yang ingin menikah dengan orang lain, karena setelah melakukan perselingkuhan. Padahal, merusak hubungan antara suami dan istri adalah perbuatan yang sangat dibenci oleh Islam.
Dalam sebuah hadits dikatakan:
Artinya: “Dan barang siapa yang merusak hubungan seorang istri dengan suaminya maka ia bukan termasuk dari golongan kami”. (H.R. an-Nasai).
Imam Malik, mengatakan, jika ada orang yang menikah karena hasil perselingkuhan, maka hendaknya dibatalkan. Muhammad bin Ahmad bin Muhammad ‘Alisy, dalam Fath al-‘Ali al-Malik fi al-Fatwa ‘ala Madzhab al-Imam Malik, juz, 1, h. 397, mengatakan:
Artinya: “Syaikh Ali al-Ajhuri ra berkata—bunyinya adalah—bahwa al-Abiyyu menjelaskan masalah orang yang merusak hubungan seorang istri dengan suaminya, bahwa pernikahan keduanya (lelaki yang merusak dan wanita yang dirusak) itu harus dibatalkan walau setelah akad nikah. Pandangan ini sebenarnya dinukil dari Ibnu Arafah yang menyatakan, bahwa barang siapa yang berusaha memisahkan seorang perempuan dari suaminya agar ia bisa menikahi perempuan tersebut, maka tidak mungkin baginya (tidak diperbolehkan, pent) untuk menikahinya. Dan hal ini menjadi jelas bahwa jika lelaki menikahihnya maka pernikahannya harus dibatalkan baik sebelum atau sesudah akad karena hal itu menyebakan kerusakan dalam (akad, pent).”
Meski demikian, ada sebagian ulama yang membolehkan, dan tidak menjadikan itu sebagai keharaman atau hal yang harus dibatalkan. Ali al-‘Adwi, Hasyiyah al-‘Allamah asy-Syaikh ‘Ali al-‘Adwi pada Hamisy Abi ‘Abdillah Muhammad al-Kharsyi, dalam Syarh al-Kharsyi ‘ala Mukhtashar Khalil, juz, 3, h. 170-171, mengatakan:
Artinya: “Barang siapa merusak hubungan seorang istri dengan suaminya kemudian si suami menceraikannya, lalu si lelaki perusak tersebut menikahinya setelah selesai masa iddah maka keharaman perempuan tersebut atas si lelaki perusak tidak menjadi selamanya. Dan hal itu tidak bertentangan dengan pandangan yang menyatakan bahwa pernikahannya harus dibatalkan sebelum akad atau sesudahnya.”
Sama seperti pandangan di atas, ualama Mazhab Hanay dan Syafi’i, berpandangan bahwa pernikahan yang dihasilkan dari proses perselingkuhan tidak diharamkan. Hanya saja, orang yang melakukan perselingkuhan ini dianggap sebagai orang yang munafik.
Artinya: “Para ulama Madzhab Hanafi dan Syafii berpendapat bahwa perusakan hubungan seorang istri dengan suaminya tidaklah menyebabkan haram bagi pihak laki-laki yang merusakknya untuk menikahinya, bahkan menikahinya itu halal bagi bagi si lelaki perusak. Tetapi si perusak ini termasuk orang yang paling fasik, tindakannya termasuk salah satu kemaksiatan yang paling mungkar, dan dosa yang paling keji di sisi Allah swt kelak pada hari kiamat.”
Wallahu A’lam.[]