April 26, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Sudah Keluar Biaya Besar, Internet Indonesia Masih Tertinggal, kemana Larinya Uang Ratusan Milyar ?

10 min read

JAKARTA – Pandemi COVID-19 menyadarkan kita bahwa jaringan internet dan telekomunikasi memiliki peran penting untuk menunjang produktivitas masyarakat di tengah wabah. Kementerian Komunikasi dan Informatika, melalui sebuah lembaga yang bernama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI), sudah sepuluh tahun terakhir mengelola dana triliunan rupiah untuk pemerataan dan inklusivitas teknologi telekomunikasi di seluruh wilayah Indonesia. Namun catatan merah beberapa proyek yang gagal di masa lalu terus menghantui program besar masa kini yang digembar-gemborkan sebagai proyek Tol Langit.

Jika ada sebuah pertanyaan, berapa sebetulnya tingkat kemajuan teknologi telekomunikasi dan internet di Indonesia saat ini? Jawabannya tentu belum memuaskan. Di antara negara-negara ASEAN saja, Indeks Pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi (IP-TIK) Indonesia berada di peringkat ke-7. Kita kalah dari negara tetangga seperti Singapura, Thailand, dan Malaysia. Hanya lebih baik dari negara yang baru merintis seperti Myanmar, Laos, dan Kamboja.

Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan, di saat negara-negara maju sudah mengejar target 100 Megabit per Second (MBPS), Indonesia masih tertatih-tatih mencapai target 20 MBPS.

“Tahun 2025, Thailand sudah menargetkan 100 MBPS. Di Indonesia, rata di kota-kota besar kecepatan internet kita hanya 8 MBPS. Di daerah-daerah terpencil lebih parah lagi. Makanya jangan heran kalau zoom masih sering putus-putus,” kata Heru Sutadi dikutip dari Law Justice, Kamis (12/11/2020).

Padahal, kata dia, Indonesia bukan termasuk negara yang baru memulai dalam mengembangkan teknologi telekomunikasi. Tingkat ketercapaian seharusnya bisa lebih masif dibandingkan saat ini. Terlebih lagi, masih banyak daerah-daerah tertinggal yang belum bisa menikmati akses internet.

Pemerintah sebetulnya memiliki jumlah dana yang besar untuk pemerataan teknologi telekomunikasi di seluruh wilayah Indonesia. Setiap tahunnya, perusahaan penyedia jasa telekomunikasi yang mendapatkan lisensi izin usaha, wajib menyetorkan 1,25 persen pendapatan kotor mereka ke negara. Dana itu disebut Universal Service Obligation (USO). Oleh Kementerian Keuangan, dana USO masuk dalam kas negara dan menjadi bagian dari Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).

USO adalah konsep internasional yang juga diatur oleh lembaga di bawah Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), International Telecommunication Union. Semangatnya adalah memberikan keseimbangan teknologi komunikasi, terutama di daerah-daerah tertinggal.

“Perusahaan operator telekomunikasi tentu hanya ingin membangun di daerah komersial seperti di kota-kota besar. Sebagai gantinya, mereka harus berkontribusi untuk membangun di daerah tertinggal. Dana USO ini sebetulnya sumbangan semua pengguna telekomunikasi melalui operator telekomunikasi. Duit masyarakat itu,” ujar Heru.

Di Indonesia, dana USO dikelola khusus oleh sebuah lembaga yang berada di bawah naungan Kemenkominfo. Pada mulanya, lembaga itu pada 2006 disebut Balai Telekomunikasi dan Informatika Pedesaan (BTIP), lalu berubah jadi Balai Penyedia dan Pengelola Pembiayaan Telekomunikasi dan Informatika (BP3TI), sampai akhirnya menjelma menjadi BAKTI.

Dari Kemenkeu, dana USO yang turun ke BAKTI tidak kurang dari Rp 2 Triliun rupiah setiap tahunnya. Oleh BAKTI, dana USO dikelola dengan cara pembukaan tender pengadaan atau pembangunan layanan telekomunikasi. Perusahaan swasta yang memiliki program pembangunan teknologi telekomunikasi di daerah terpencil, akan mendapat bayaran jasa secara berkala dari dana USO.

“Model bisnisnya itu disebut Public Private Partnership. Dibuka tender yang dimenangkan oleh operator yang menawarkan subsidi paling rendah dari pemerintah. Subsidi itu bisa dibilang sebagai uang sewa dari pemerintah,” jelas Heru.

Saat ini, beberapa program yang sedang diusung oleh BAKTI adalah Program 4000 Base Transceiver Station (BTS) dan proyek pembangunan Palapa Ring. Di masa lalu, saat masih berbentuk BP3TI, beberapa program yang sempat menjadi perhatian publik adalah program Desa Dering, pusat Layanan Internet Kecamatan (PLIK), dan Mobil Pusat Layanan Internet Kecamatan (MPLIK).

Program-program tersebut pernah membuat heboh karena dianggap gagal dan rawan dikorupsi. Tidak tanggung-tanggung, korupsi pengadaan mobil internet kecamatan kala itu bahkan sampai menjerat kepala BP3TI, Santoso Serad. Nama mantan Menteri Kominfo Tifatul Sembiring pun sempat terseret-seret dan kantornya pernah digeledah oleh penyidik Pidsus Kejaksaan Agung.

Saking banyaknya masalah, Komisi I DPR RI akhirnya mengambil keputusan untuk memoratorium proyek PLIK dan MPLIK pada akhir 2014. Program yang baru berjalan selama kurang lebih tiga tahun itu pun resmi dihentikan dengan adanya Surat Menteri Keuangan No. S-11/MK.02/2015 tanggal 26 Januari 2015.

Penghentian program tersebut menimbulkan masalah sampai saat ini. Klaim dari beberapa perusahaan penyedia jasa layanan PLIK/MPLIK yang memenangkan tender saat itu, belum dibayarkan oleh pemerintah. Total klaim dari seluruh penyedia jasa tersebut sebesar Rp 2,40 triliun dan US 1,64 juta dolar.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI dalam IHPS II tahun 2019 memberikan catatan merah bahwa klaim hutang piutang tersebut masih berlarut-larut hingga saat ini. Salah satu perusahaan pemenang tender, PT Aplikanusa Lintasarta dan rekanannya PT. Wira Eka Bakti (WEB), bahkan sampai mengadukan masalah ini kepada Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). BPK juga menemukan bahwa beberapa penyedia jasa masih melanjutkan beberapa program dengan harapan klaim mereka segera dibayarkan pemerintah.

“Secara keseluruhan hasil pemeriksaan mengungkapkan 35 temuan yang memuat 40 permasalahan. Permasalahan tersebut terdiri dari 30 permasalahan kelemahan sistem pengendalian internal dan 10 permasalahan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan sebesar Rp 99,67 miliar,” demikian bunyi laporan BPK.

Berdasarkan audit BPK, nilai wajar prestasi kerja yang dapat dibayarkan kepada penyedia jasa adalah hanya Rp 1,44 triliun dan US 1,12 juta dolar. BPK tidak mengakui klaim dari penyedia jasa sebesar Rp 611,50 miliar karena tidak didukung dokumen-dokumen penting, serta mengoreksi besaran klaim lainnya Rp 347,44 miliar dan US 513,27 ribu dolar sebab tidak ditemukan prestasi kerja.

“Selain itu, diketahui bahwa BAKTI belum menerima pengembalian uang muka dari sejumlah perusahaan kemitraan sehingga merugikan BAKTI sebesar Rp 92,26 miliar.”

Heru Sutadi mengatakan, sudah tepat jika persoalan ini dibawa ke BANI. Pemerintah dan BPK harus menghormati keputusan yang dicapai dalam mediasi tersebut. Sudah sepatutnya ada hitung-hitungan yang tepat tentang berapa jumlah klaim piutang yang seharusnya dibayarkan oleh pemerintah.

“Sejak awal proyek ini memang bermasalah. Ada pemenang tender yang tidak punya pengalaman di bidang telekomunikasi. Memang harus ada upaya hukum apakah klaim itu pantas dibayarkan atau tidak,” kata dia.

Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Al-Masyhari mengaku tidak begitu mengerti duduk persoalan masalah piutang pemerintah dengan para penyedia jasa telekomunikasi dalam proyek PLIK/MPLIK. Namun dia meminta persoalan ini segera dituntaskan sehingga tidak menjadi batu ganjalan proyek-proyek telekomunikasi di masa mendatang.

“Sebetulnya kewajibannya ada di Kementerian Keuangan. Perlu segera dibayar. Kalau tidak, ini akan terus menjadi catatan BPK,” kata dia.

Sementara itu, Ketua Komisi I DPR periode 2014-2016 Mahfudz Siddiq mengatakan, saat itu sempat dibuat Panja karena ditemukan beberapa penyimpangan dalam pelaksanaan proyek USO PLIK/MPLIK.

“Ada temuan dan dugaan awal tentang pelaksanaan yang tidak efektif dan terjadi penyimpangan. Panja sudah buat laporan yang disahkan komisi I,” ucap dia.

Mantan Menteri Kominfo Tifatul Sembiring menolak berkomentar tentang masalah tersebut yang masih berlarut-larut hingga saat ini.

“Tanya ke Kominfo saat ini saja,” ucap dia.

Sedangkan beberapa perusahaan pemenang tender yang klaimnya belum dibayar pemerintah, sampai tulisan ini diturunkan belum bisa memenuhi permintaan wawancara dari tim redaksi Law-Justice.co.

 

Catatan Merah BPK

Kini, BAKTI harus tersandung kembali setelah Badan Pemeriksa Keuangan mengeluarkan hasil auditnya yang isinya triliunan uang upeti dari penyelenggara layanan telekomunikasi itu tidak jelas peruntukannya. Bahkan, ada klaim dari perusahaan pemenang tender layanan sarana telekomunikasi yang nilainya mencapai Rp 2,40 triliun dan US$1,64 juta.

Catatan merah dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI tercantum dalam IHSP II tahun 2019. BPK telah menilai sejauh mana BP3TI dan penyedia jasa patuh terhadap Perjanjian Kerja Sama dalam Program KPU/USO Tahun Jamak (multiyears).

Dalam dokumen audit Badan Pemeriksa Keuangan tahun 2019, lembaga audit negara itu menjelaskan ada pemborosan keuangan negara yang digunakan dalam penganggaran dan realisasi dana operasional Badan Layanan Umum Badan Aksebilitas Telekomunikasi dan Informatika (BLU BAKTI) yang belum mendapatkan persetujuan dari Kementerian Keuangan sebesar Rp 1,17 miliar.

Selain itu, BPK juga menghitung berapa nilai klaim yang wajar dari para penyedia jasa kepada BP3TI, setelah adanya surat Menteri Keuangan Nomor S-11/MK.02/2015 tanggal 26 Januari 2015 yang menyatakan izin kontrak kerja sama berakhir pada 31 Desember 2014.

BPK juga mencatat ada klaim penyedia jasa yang tidak didukung dokumen sehingga klaim tidak dapat diakui oleh BPK sebesar Rp 611,50 miliar.

BPK juga melakukan koreksi hasil pemeriksaan sebesar Rp 347 miliar dan US$13,27 ribu karena tidak adanya prestasi kerja berdasarkan log data yang diuji lembaga audit negara tersebut.

Sehingga BPK menyimpulkan nilai wajar prestasi kerja yang dapat dibayarkan kepada penyedia data sebesar Rp 1,44 triliun dan US$1,12 juta.

Untuk itu, BPK memberikan rekomendasi kepada Menteri Komunikasi dan Informatika serta Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI dahulu BP3TI) agar berkoordinasi dengan Menteri Keuangan untuk menyelesaikan klaim penyedia jasa sesuai dengan hasil pemeriksaan.

BPK juga mendesak agar Menteri Komunikasi dan Informatika memerintahkan Direktur Utama BAKTI, untuk menyusun mekanisme penyelesaian penyerahan

aset sesuai dengan klausul perjanjian kerja sama, yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan berlaku.

Selain itu, BPK meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika melalui Direktur Utama BAKTI memerintahkan perusahaan kemitraan terkait agar mempertanggungjawabkan sisa uang muka dan melakukan pemutusan kontrak serta memberikan sanksi hitam kepada perusahaan kemitraan.

Secara keseluruhan hasil pemeriksaan mengungkapkan 35 temuan yang memuat 40 permasalahan. Permasalahan tersebut terdiri dari 30 permasalahan kelemahan sistem pengendalian intern dan 10 permasalahan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundangundangan sebesar Rp99,67 miliar.

Menanggapi hasil audit itu, Anggota Badan Pemeriksa Keuangan Achasnul Qosasi meminta agar hasil audit dan rekomendasi yang diberikan kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika agar ditindaklanjuti.

“Proyek USO sudah di Audit. Hasilnya sudah saya serahkan ke DPR dan Pemerintah. Saat ini mereka sedang menindaklanjuti rekomendasi BPK,” kata Achsanul Qosasi.

Ketika ditanya lebih lanjut apakah akan menindaklanjuti hasil audit ke tingkat lebih tinggi seperti melakukan audit investigatif, Achsanul menjelaskan masih menunggu tindak lanjut dari hasil rekomendasi dari pemerintah dan DPR.

“Biarkan mereka menyusun dan menyelesaikan dulu tindaklanjutnya,” ungkap Achsanul.

“Saat ini Kominfo sedang menindaklanjuti dengan Kemenkeu. BPK sudah menghitung nilai klaim yang harus dibayar oleh BAKTI. BPK merekomendasikan agar dilakukan pembayaran, karena mereka (para mitra) sudah mengerjakan jasanya, dan fasilitas yang dikerjakan sudah dinikmati oleh rakyat dan negara,” tambah Achsanul terkait adanya utang BAKTI kepada para penyedia jasa layanan telekomunikasi pendukung program BAKTI.

Untuk itu Achsanul meminta adanya koordinasi BLU BAKTI dan Kemenkominfo serta Kementerian Keuangan untuk tindaklanjut pembayaran utang tersebut. Agar, lajut dia, tidak muncul dalam catatan audit BPK.

“Karena untuk pengeluaran dana besar harus koordinasi dengan Kemenkeu,” ungkapnya.

Selain itu, Achsanul juga menyorot soal perkara wanprestasi dari perusahan penyedia layanan telekomunikasi yang belum dibayarkan jasanya.

“Iya. Tentang pembangunan jaringan internet yang belum dibayar oleh BAKTI,” ungkapnya.

 

Direksi BAKTI Memilih Diam

Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kominfo terus menggenjot percepatan transformasi digital di Indonesia. Pada 2021-2022 saja, BAKTI menargetkan pembangunan 7.904 BTS di wilayah tedepan, tertinggal, terluar (3T) dan perbatasan.

Belum lagi target Palapa Ring yang menitikberatkan konektivitas dan penetrasi broadband internet hingga pelosok negeri di 57 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Namun siapa sangka, dibalik ‘mimpi’ yang wah ini, BAKTI yang dulu bernama Balai Penyedia dan Pengelola Pembiayaan Telekomunikasi dan Informatika (BP3TI) ini masih menyisahkan rapor merah.

Program BP3TI semisal mobil pusat layananan internet kecamatan (MPLIK), Desa Dering, Nusantara Internet Exchange (NIX), hingga jasa akses telekomunikasi dan informatika di daerah perbatasan dan pulau terluar (Telinfotuntas) dihentikan menyusul Surat Menteri Keuangan pada 31 Desember 2014.

Surat penghentian kontrak kerjasama dengan penyedia jasa dilakukan karena tidak terpenuhinya syarat-syarat perpanjangan kontrak tahun jamak sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No.157/PMK.02/2013.

Direktur Utama BAKTI, Anang Latif, saat dikonfirmasi Lawjustice menolak berkomentar ihwal program masa lalu BAKTI tersebut.

“Kenapa tanya lagi soal ini? Yang lalu kan cerita sedih, menterinya (Menkominfo) sudah dua kali ganti, masa diangkat terus?” katanya.

“Kita ngomong sekarang dan ke depan saja. Ngomongin mimpi. Saya malas ngomongin yang lalu-lalu tetapi semangat omongin ke depan,” tegas Anang.

Anang setuju bila kekurangan pada program yang mendapat rapor merah dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dijalankan periode lalu harus diperbaiki agar program-program ke depan berjalan baik. Hanya dirinya tidak ingin menjelaskan lebih lanjut apa saja poin-poin dalam perbaikan tersebut.

“Itu pasti (Perbaikan kekurangan pada program lalu). Tetapi (Kekurangan) gak perlu di ekspose,” singkat dia.

BAKTI, sambung Anang, akan fokus pada program Akselerasi Transformasi Digital’ yang tidak hanya menyasar penyelesaian infrastruktur tetapi juga menyiapkan ekosistem dan Sumber Daya Manusianya (SDM). Program ini akan mengandeng Kementerian dan Lembaga hingga Pemerintah Daerah (Pemda) setempat.

 

Efektivitas Program BAKTI

Program BAKTI yang sudah dimulai sejak era Menkominfo Tifatul Sembiring sering menuai masalah. Bekas Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengakui beberapa proyek di Kementrian Komunikasi dan Informasi di era Tifatul Sembiring banyak yang bermasalah.

Proyek-proyek itu pun menurutnya kini dihentikan karena beberapa alasan seperti karena tersangkut permasalahan hukum, bermasalah dalam pencatatan administrasi sehingga audit BPK pun memberikan disclaimer di era itu. Akibatnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tidak lagi memberikan anggaran untuk melanjutkan proyek-proyek itu.

“Memang sudah berhenti dan diberhentkan karena tidak ada kepastian mengenai pembayarannya. Pembayaran dihentikan oleh kementrian keuangan karena ada beberapa proyek yang faktanya jadi kasus hukum. APBN pun dihentikan karena dari sisi alokasi pendanaan dan juga dan sisi akutansi dan administrasi jadi catatan tersendiri oleh BPK. Ini juga yang membuat Kominfo mendapatkan disclaimer dari BPK,” kata Rudiantara beberapa waktu lalu dilansir dari Warta Ekonomi.

Menanggapi persoalan itu, Anggota Masyarakat Telematika Indonesia, Taufik Hasan menilai efektivitas program BAKTI perlu ada perbaikan sehingga tidak saling tumpang tindih dengan program yang sudah dijalankan oleh operator selular.

“Kalau ada masalah menurut saya, efektivitas yang perlu diperhatikan. Karena kalau hanya mengelar jaringan tanpa perhatikan kegunaan dan pemanfaatannya oleh masyarakat maka tidak akan optimal. Perlu kajian kebutuhan kapasitas dan kebutuhan pemanfaatannya, harus sesuai dengan aktivitas dan gaya hidup masyarakat yang disasar,” ujar Taufik Hasan yang juga pengajar Institut Teknologi Telkom.

“Ada pengembangan layanan yang relevan, yang akan menggunakan jaringan yang dibangun. Sudah harus diubah konsep membangun jaringan saja. UU dan PP menyebut dengan jelas jenis jasa (layanan) yang harus disediakan oleh penyelenggara jasa telekomunikasi di setiap wilayah pelayanan universal,” tambah Taufik ketika dihubungi Law-Justice.co

Kata dia, beberapa program BAKTI seperti MPLIK dan Desa Berdering tidak tepat sasaran. Untuk itu perlu ada desain program yang efektif bermanfaat bagi masyarakat.

“Masalahnya dari program BAKTI lebih karena masalah prosedur dan aturan yang harusnya diikuti, bukan masalah program USO-nya sendiri.Tapi yang terang MPLIK, desa berdering itu masih pembangunan jaringan, yang pemanfaatannya tidak jelas, desa berdering misalnya, masyarakat desa akan menelpon siapa atau siapa yang akan menelpon mereka. Jadi ada faktor ekosistem juga yang perlu perhatian, agar jaringan berguna karena ada pemanfaatan,” ujarnya. []

Advertisement
Advertisement