Tak Jarang, Karena ‘Shock Culture’ Suami Ditinggalkan
NGAWI – Tidak sedikit jumlahnya wanita Indonesia mengadu nasib di luar negeri sebagai pekerja migran Indonesia (PMI). Mereka rela meninggalkan keluarga di Tanah Air menjadi pahlawan devisa tentunya mereka pun bukan tanpa sebab merantau ke luar negeri. Tidak lain karena himpitan ekonomi di negerinya sendiri.
Bisa dicatat, bukan lagi dalam hitungan bulan para wanita PMI ini meninggalkan keluarga, tapi bertahun-tahun lamanya sesuai periodenya. Keinginan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik niscaya harus dibayar mahal dengan hilangnya waktu bersama keluarga yang ia cintai.
Titik sentralnya pertama meninggalkan suami dan menyerahkan tanggung jawab asuh anak ke sanak keluarga merupakan satu konsekuensi ‘kontrak kerja’ yang terpaksa harus ditandatangani dengan pihak agen penyalur tenaga kerja maupun sang majikan.
Dalam perjalanan waktu semua yang digadang si wanita PMI dalam bentuk materi terbilang ‘cukup’ setelah mengeluarkan keringat hingga tak terhitung. Gayung bersambut tidak segelintir dari mereka berubah total gaya hidupnya dari semula. Kemampuan beradaptasi dengan kehidupan modern berangkat dari sebelumnya sebagai tolak ukurnya.
Disinilah terjadi ‘shock culture’ suatu perubahan budaya dan gaya hidup yang kurang terkontrol. Tidak jarang mereka mulai lupa akan janji dengan suami jika ‘sukses’ akan memperbaiki taraf perekonomianya bersama keluarga dirumah dan masa depanya. Dan sebaliknya, tidak segelintir juga pihak yang ditinggalkan pun ‘suami’ mengalami suatu perubahan.
Terlena Dalam Pelukan Majikan, Shepia Mantab Ceraikan Suami Saat Pulang Ke Kampung Halaman
Misalkan mendapat transfer uang yang tidak sedikit mungkin relative besaranya dari si istri PMI malah sang suami bisa jadi ‘leyeh-leyeh’ sesekali mengurus anak tanpa tahu jerih payahnya istrinya itu.
Kita tidak menjustice semua demikian, mendasar fakta yang tidak perlu disebut otentik jati dirinya yang jumlahnya dalam satu kampung bisa dua atau tiga orang wanita PMI menikah lagi dengan pria lain setelah menganggap suami tidak bisa lagi menjadi soko guru keluarga. Alasan mereka sulit digali penyebabnya akan tetapi demikian faktanya. Pada dasarnya, faktor SDM dalah hal ini pendidikan dan agama paling menentukan.
Hingga sekarang ini permasalahan sosial tersebut sulit dipecahkan jalan keluarnya. Bahkan pihak pemerintah seolah mendiamkan kejadian itu hingga berulang-ulang. Dalam pemahaman penulis, pemerintah bisa membuat satu regulasi tentang proteksi moral terhadap para pahlawan devisa itu.
Misalkan bisa memberikan satu aturan terhadap Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) yang notabene agen maupun PMI untuk lebih memberikan nilai-nilai kesiapan moral apabila nanti meraih sukses di negeri rantau. Jangan sampai pamit menjadi wanita PMI justru bermuara ke hal lain meninggalkan dalam tanda kutip suami.
Namun sekali lagi tidak semua wanita PMI bisa dipukul rata mempunyai ‘karakter’ sedemikian ini. Banyak dari mereka yang benar-benar membawa manfaat bagi keluarga baik anak serta suami dan bisa menyumbangkan pundi-pundi devisa Negara. Tidak sebatas itu, para wanita PMI menjadi satu pembawa perubahan terhadap kehidupan yang lebih baik.[]
Penulis Agus Fathoni Aktifis LSI Ngawi