Tatacara Mengadopsi Anak Baik Korban Bencana Maupun Bukan
ApakabarOnline.com – Sampai kemarin (23/10/2018), tercatat ada 101 anak korban gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah yang hilang. Mereka terpisah dari keluarganya.
Menurut Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta, mereka menjadi anak-anak sebatang kara (h/t Okezone).
Nasib anak-anak korban memang menggerakkan hati banyak orang untuk mengadopsi. Namun niat mulia itu disambut hoaks. Di Makassar, Sulawesi Selatan, awal bulan ini tersiar kabar 84 anak korban gempa dan tsunami menantikan orang tua angkat.
Maka sekitar 500-an warga pun tergerak, ingin mengadopsi. Padahal menurut Fitriana Basira dari Yayasan Akar Panrita Mamminasata, anak-anak yang ditampungnya itu masih memiliki keluarga. Bahkan sebagian anak itu diantarkan paman dan bibinya (h/t Kompas.com).
Soal adopsi inilah yang menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise tak masuk agenda. Ia pun mengingatkan agar masyarakat tak terburu-buru mengadopsi anak korban bencana.
Alasan Yohana, masyarakat Indonesia memiliki budaya keluarga; seorang anak diasuh dan dibesarkan oleh kerabatnya.
Maka pemerintah, kata Yohana, akan berkoodinasi dengan keluarga anak-anak itu. “Kami akan serahkan kepada keluarga atau tantenya,” katanya (h/t Kompas.com). Saat itu (10/10/2019) belum ada data anak hilang seperti versi menteri sosial.
Ramainya kabar adopsi pula yang menggerakkan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto untuk berbicara.
“Niat baik harus dilandasi dengan proses yang tepat. Masyarakat perlu mengetahui norma yang berlaku,” kata Susanto awal pekan lalu (h/t Antaranews.com).
Ringkasan beberapa pedoman dalam mengadopsi anak ada dalam infografik. Rujukannya adalah UU Perlindungan Anak, Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak (PP No. 54 Tahun 2007), dan Peraturan Menteri tentang Persyaratan Pengangkatan Anak (Permensos No. 110/Huk/2009).
Aturan-aturan tersebut tak hanya berlaku saat terjadi bencana alam namun juga hari-hari lain. Tentang adopsi anak warga negara Indonesia(WNI) oleh WNI, misalnya, punya rujukan utama kepada adat istiadat setempat, dan penetapan pengadilan tidak mutlak. Namun untuk WNA yang mengadopsi anak WNI, penetapan pengadilan itu mutlak. []