December 23, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Terlilit Hutang Luar Negeri, Srilanka Menyeru Pada Warganya yang di Luar Negeri untuk Mengirim Uang

2 min read
Antrian panjang warga Srilanka untuk mendapatkan minyak (Foto Reuters.com)

Antrian panjang warga Srilanka untuk mendapatkan minyak (Foto Reuters.com)

JAKARTA – Negara Sri Lanka dihadapkan dengan krisis ekonomi akibat gagal bayar utang sebesar 51 miliar dolar AS (Rp 732 triliun, kurs Rp 14.300).

Pemerintah Sri Lanka meminta warganya yang berada di luar negeri untuk mengirimkan uang ke negaranya demi memenuhi kebutuhan bahan pangan dan bahan bakar.

Gubernur Bank Sentral Sri Lanka, Nandalal Weerasinghe mengatakan, memerlukan bantuan para warga di luar negeri untuk mendukung negara pada masa genting ini dengan menyumbang devisa. Seruan itu dia sampaikan sehari setelah pemerintah mengumumkan penangguhan pembayaran seluruh utang luar negeri.

Penundaan pembayaran utang ini akan menghemat anggaran Sri Lanka sebesar USD 200 juta (Rp 2,8 triliun) yang semestinya untuk membayar bunga hutang yang jatuh tempo pada Senin lalu. Anggaran yang ada akan dialihkan untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar, obat-obatan, serta kebutuhan dasar lainnya yang menipis.

Menurut Weerasinghe, Bank Sentral telah membuat rekening di AS, Inggris, dan Jerman untuk menampung sumbangan dari para ekspatriat.

Dia berjanji kepada para ekspatriat bahwa uang itu hanya akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak.

“Bank memastikan bahwa transfer mata uang asing tersebut hanya akan digunakan untuk mengimpor kebutuhan pokok termasuk makanan, bahan bakar, dan obat-obatan,” kata Weerasinghe, dikutip dari BBC Indonesia.

Lantas, apakah ada kemungkinan Indonesia akan mengalami hal serupa?

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Didik J Rachbini mengatakan kasus Sri Lanka harus menjadi pelajaran bagi Indonesia dalam permasalahan utang.

Indonesia harus berhati-hati dalam mengelola utangnya dengan tidak menggampangkan utang tersebut.

“Jadi saya tidak mengatakan akan terjadi, tapi harus hati-hati. Sri Langka itu jadi pelajaran. Tidak hanya Sri langka, Pakistan juga berat,” kata Didik dilansir Kompas.com.

Didik menilai pemerintah Indonesia terlalu menggampangkan permasalahan utang selama enam tahun terakhir ini.

Padahal dalam kurun waktu dua tahun saja utang Indonesia meningkat secara signifikan.

“Bagaimana menggampangkan, utang kita ini dalam waktu dua tahun, dalam waktu yang sangat pendek itu meningkatnya sangat cepat sekali,” ungkapnya.

Pemerintah selalu membandingkan utang Indonesia dengan negara lain seperti Jepang dan Amerika Serikat. Hanya karena negara-negara maju tersebut memiliki utang yang lebih besar dibandingkan Indonesia.

Hal ini kurang tepat menurut Didik, karena negara maju sudah memiliki kematangan dalam mengelola utang.

Walaupun Jepang diketahui memiliki utang yang lebih banyak daripada Indonesia, akan tetapi memiliki bunga utang yang lebih kecil sebesar 0,2 persen.

Bandingkan dengan Indonesia yang memiliki bunga utang kisaran 6,7/6,8 persen.

“Lha iya lah mereka sudah matang dan bunga di Jepang cuman 0,2 persen.

Kalau di Indonesia nanti Jokowi selesai katakan 10.000 (trlliun rupiah) bunganya saja 700 persen itu hampir 700 trilliun, kan 6,7/6,8 bunga dari hutang kita,” tegasnya.

“Di Jepang itu 0,2 jadi kalau di Jepang punya 10.000 trilliun utang itu cuman 14 trilliun,” lanjutnya.

Didik juga menyayangkan perihal buzzer-buzzer yang ikut campur menjelaskan masalah utang dari pada menteri-menteri terkait.

“Jadi itu yang dijadikan alasan oleh pemerintah dan itu tidak dijelaskan oleh humas, tapi buzzer-buzzer-nya saja yang menjelaskan. Orang melakukan kritik itu dihambat-hambat, melakukan check and balance dihambat,” jelasnya. []

Advertisement
Advertisement