Tidak Diakui, Dimata Hukum RI, Pasangan Nikah Siri Tetap Pasangan Kumpul Kerbau
JAKARTA – Nikah siri adalah pernikahan antara pihak laki-laki dan perempuan yang dirahasiakan dan tidak ditampilkan di muka umum. Dikutip dari situs Pengadilan Agama (PA), pengertian mengacu pada arti kata siri.
Selain pengertian dari aspek bahasa, nikah siri juga dijelaskan secara terminologi. Berikut pengertiannya:
- Nikah siri adalah pernikahan yang tidak dicatat Kantor Urusan Agama (KUA)
Artinya nikah siri tidak punya kekuatan hukum, sehingga KUA dan PA tidak bisa memutuskan atau menerima pengaduan perkara rumah tangga. Perkara ini misalnya perceraian, KDRT, warisan, atau hak asuh.
- Nikah siri adalah jenis pernikahan tanpa wali atau saksi
Nikah siri juga bisa terjadi dengan adanya wali tanpa saksi. Pihak yang hadir sepakat merahasiakan pernikahan yang terjadi antara pasangan laki-laki dan perempuan. Pernikahan ini berisiko menjadi ajang perzinahan atau ittikhazul akhdan.
- Nikah siri dalam sudut pandang Islam
Kebanyakan ulama menyatakan, nikah siri adalah hal yang bersifat makruh atau tidak sah. Makruh karena tidak sesuai dengan perintah Nabi SAW untuk mengumumkan pernikahan. Pengingkaran terhadap perintah Nabi berujung pada hukum nikah siri yang tidak sah.
- Syarat nikah siri
Nikah Siri adalah pernikahan yang dilaksanakan dengan syarat dan rukun yang terpenuhi seperti ijab-kabul, wali, dan saksi. Namun nikah siri kerap hanya dihadiri wali tanpa saksi atau sebaliknya.
Syarat pernikahan untuk muslim adalah beragama Islam, bukan muhrim, ada wali nikah untuk perempuan, dihadiri saksi, sedang tidak ihram, dan bukan paksaan. Sedangkan rukun pernikahan adalah pasangan yang tidak terhalang hukum syar`i, ada wali, saksi, dan diucapkannya ijab kabul dari pihak pengantin.
- Surat nikah siri
Sebagai pernikahan yang tidak dicatat KUA, bagaimana bentuk surat nikah siri?
Mesin pencari google menampilkan berbagai versi surat nikah siri. Namun jika ditelusuri lebih lanjut, surat tersebut tidak diupload situs formal yang berkaitan dengan pernikahan atau pelayanan masyarakat.
Surat nikah siri umumnya menyertakan pihak yang menikah, mereka yang terlibat, dan pernyataan pernikahan tersebut tidak dicatat KUA.
- Bagaimana hukum nikah siri di Indonesia?
Situs PA menyatakan, nikah siri adalah pernikahan yang tidak sesuai ketentuan peraturan yang berlaku. Artinya, nikah siri tergolong pernikahan yang ilegal dan tidak sah.
Untuk semua muslim, pencatatan pernikahan hukumnya adalah wajib syar`i. Sungguh keliru jika pernikahan umat Islam tidak dicatatkan sesuai hukum yang berlaku. Perbuatan yang tidak sesuai aturan hukum sesungguhnya berlawanan dengan Islam yang sangat mengutamakan ketertiban dan keteraturan.
Dasar Hukum
Pasal 279 KUHP ayat (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun: 1. barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu; 2. barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu.
Ayat (2) Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat 1 butir 1 menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Ayat (3) Pencabutan hak berdasarkan pasal No. 1 – 5 dapat dinyatakan.
Sayangnya, kata Chairul, karena Indonesia tidak menganut sistem yurisprudensi maka setiap hakim dapat menafsirkan secara berbeda-beda pasal tersebut. Menurutnya, ada yang menyatakan tidak menjadi masalah ketika yang dilakukan adalah kawin siri, namun ada juga yang menyatakan bersalah walaupun perkawinan yang dilakukan adalah kawin siri.
Nikah Siri dan Pidana Perzinahan
Di Indonesia, hukum mengenai perkawinan telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Maka UU Perkawinan dan turunannya diperlukan dalam menganalisis kasus perzinahan (overspel). Pada Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan disebutkan: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Selanjutnya, Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan menyebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam Surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan (diatur dalam KUHP).
Bagaimana dengan perzinahan? Berdasarkan Pasal 284 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), perzinahan diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan. Dalam Pasal 284 ayat (1) ke-1: “a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya; b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya.”
Dalam Pasal 284 ayat (1) ke-2 disebutkan bahwa: “a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin; b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.”
Sementara, dalam Pasal Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menjelaskan bahwa dalam waktu yang sama seorang laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai isterinya, seorang perempuan hanya satu orang laki sebagai suaminya.
Menurut R. Sughandi dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Penjelasannya (hal. 302), pengertian umum zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan atas dasar suka sama suka yang belum terikat oleh perkawinan.
Sementara R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 209) mendefinisikan zinah sebagai Persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya.
Soesilo juga berpendapat bahwa supaya masuk pasal ini (Pasal 284 ayat (1) KUHP), maka persetubuhan itu harus dilakukan dengan suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak. Menurut Soesilo, yang dimaksud dengan persetubuhan ialah perpaduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang bisa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota laki-laki harus masuk ke dalam anggota perempuan, sehingga mengeluarkan air mani, sesuai dengan Arrest Hooge Raad 5 Februari 1912.
Pertanyaanya, apakah menikah siri bisa dijerat dengan pasal perzinahan? Sebagai referensi, Pengadilan Negeri Solok pernah menjatuhkan hukuman pidana perzinahan terhadap pelaku nikah siri. Dalam Putusan Pengadilan Negeri Solok Nomor 56/Pid.B/2014/PN.Slk Tahun 2014, kedua terpidana dinyatakan bersalah karena memenuhi unsur dari Pasal 284 ayat (1) ke-1 huruf a dan ke-2 huruf b KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP dikarenakan ia melakukan zina/gendak (overspel) meskipun telah menikah secara siri.
Dalam kasus tersebut, nikah siri yang dimaksudkan adalah nikah yang tidak dicatatkan. Majelis Hakim menyatakan bahwa kedua terpidana tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “perzinahan dan turut serta melakukan perzinahan beberapa kali”, dimana terdakwa I masih terikat perkawinan yang sah dengan istrinya. Dalam amarnya, Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara masing-masing selama 4 (empat) bulan.
Jika menganalisa putusan tersebut, ratio legis dari Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan adalah pencatatan perkawinan dibutuhkan di kemudian hari sebagai validitas perkawinan.
Kawin yang dimaksud di sini adalah sebagaimana diatur di Pasal 2 UU Perkawinan, yakni dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, dan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah.[]