April 18, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Undang Undang Perlindungan Pekerja Migran Nomor 17 Tahun 2018 Dinilai Masih Merugikan PMI

2 min read

JAKARTA – Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (Aspataki) Saiful Mashud menyayangkan pemberlakuan Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI), yang dinilai merugikan pihaknya.

Menukil Indopos, terhitung mulai 22 November 2019, Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) hanya bisa mencarikan job order, tak boleh merekrut dan tak boleh melatih.

Padahal, kontribusi P3MI selama ini cukup besar bagi keberadaan PMI sampai di negara tempatnya bekerja.

“Proses pekerja migran, sejak dari awal sampai lulus dapat sertifikat kompetensi, sampai ditempatkan ke luar negeri, itu adalah kerja keras kami. Selain membantu pekerja migran kesana-kemari, akomodasi dan sebagainya, keluarga yang ditinggal pun masih kita pinjamkan uang sesuai dengan kebutuhan masing-masing,” bebernya, pada diskusi publik, di Jakarta, Kamis (26/09/2019).

Lebih lanjut Saiful mengatakan UU 18 Tahun 2017, juga tak menjelaskan secara rinci mengenai pengurusan dokumen. Mereka harus mendatangi terlebih dahulu pihak Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker), guna mendapatkan penjelasan dan apa yang dibutuhkan. Termasuk beberapa hal yang nantinya diperlukan pemerintah.

Saiful menilai kondisi tersebut merugikan calon pekerja migran, sebab mereka harus memikirkan cara mengurus dokumen ke luar negeri tanpa bantuan lembaga.

Aturan turunan UU tersebut, yakni Permenaker Nomor 9 Tahun 2019, juga lebih banyak mengatur peran pemerintah dalam melaksanakan pelatihan untuk calon PMI. Sayangnya, pelatihan itu tak serta-merta bisa dilakukan, karena keterbatasan anggaran pemerintah.

Dampaknya, calon PMI yang sudah siap berlatih di BLK, harus menunggu. Atas itu Aspataki berharap Jokowi mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk menggantikan UU Pelindungan PMI.

“Jadi kalau anggarannya belum ada, kalau keluarganya lapar, meskipun keluarganya butuh duit, tetap tidak bisa pergi. (Harus) nunggu dulu, antre. Inilah yang menurut kami, warga negara, migran kita didiskriminasi,” jelasnya.

Ketua Pelaksana Konvensi Kabinet Jilid II sekaligus Ketua Umum Baranusa, Adi Kurniawan, menjelaskan masih banyak persoalan kekerasan dan pelecehan seksual yang dihadapi pekerja, yang harus diselesaikan ke depan.

“Berkaitan dengan nasib masyarakat Indonesia yang ada di luar negeri, apalagi banyak kasus yang dihadapi, baik itu hukuman mati atau disiksa oleh majikannya. Ini bagi kami sebagai pendukung pemerintah patut kita soroti dan awasi. BNP2TKI menata atau mengembangkan potensi yang ada di pekerja migran Indonesia,” pungkasnya. []

Advertisement
Advertisement