UU TPKS Berdampak Tingkatkan Perlindungan PMI Perempuan
JAKARTA – Ketua Pusat Studi Migrant Care Anis Hidayah menyampaikan, disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) diharapkan akan menjadi pelindung bagi para pekerja migran. Anis menyebut, pekerja migran perempuan selama ini rentan mengalani kekerasan seksual.
“Lahirnya UU TPKS itu bagi pekerja migran akan menjadi instrumen hukum yang melindungi. Karena pekerja migran yang perempuan itu kan selama ini rentan mengalani kekerasan seksual,” kata Anis dinukil dari Jawa Pos, Kamis (14/04/2022).
Menurut Anis, para pekerja migran tidak hanya mengalami kekerasan seksual saat sedang bekerja. Mereka juga banyak menghadapi kasus kekerasan seksual, pelecehan seksual, eksploitasi seksual dalam proses penampungan.
“Jadi dengan adanya UU ini, akan menjadi instrumen hukum yang melindungi mereka, menjerakan pelaku yang selama ini semena-mena,” tegas Anis.
Terlebih bagi korporasi yang selama ini tidak bertanggung jawab, kata Anis, dalam UU TPKS diatur jika terbukti bersalah Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) akan dicabut.
“Apalagi selama ini bagi korporasi yang juga terbukti ada pemberatan ada soal pencabutan SIUP dan sebagainya. Jadi ini akan jadi instrumen hukum yang melengkapi UU pekerja migran gitu,” tandas Anis.
Sebelumnya, DPR RI telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi Undang-Undang dalam rapat paripurna di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (12/04/2022). Berdasarkan draft UU TPKS, terdapat sembilan jenis tindak kekerasan seksual.
Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal (4) Ayat (1) UU TPKS. Adapun sembilan tindak pidana kekerasan seksual di antaranya pelecehan seksual nonfisik; pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; pemaksaan perkawinan; penyiksaan seksual; eksploitasi seksual; perbudakan seksual; dan kekerasan seksual berbasis elektronik.
Selain sembilan jenis tindak kekerasan seksual, dalam Pasal (4) Ayat (2) UU TPKS terdapat 10 jenis kekerasan seksual lain di antaranya perkosaan; perbuatan cabul; persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap anak; perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban.
Kemudian, pornografi yang melibatkan Anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual; pemaksaan pelacuran; tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual; kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga; tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan Tindak Pidana Kekerasan Seksual; dan tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. []