Waduh, Hasil Studi DJSN Memperlihatkan Jutaan PMI Tak Terlindungi BPJS Ketenagakerjaan
JAKARTA – Kajian yang dibuat Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) menemukan bahwa sekitar 60 persen atau 5,4 juta pekerja migran Indonesia (PMI) tidak terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan atau BP Jamsostek.
Perbaikan regulasi dan data PMI adalah solusi kunci untuk memastikan jutaan Pahlawan Devisa itu mendapat jaminan sosial.
Ketua tim Kajian Efektivitas Penyelenggaraan Jaminan Sosial Terhadap PMI di Masa Pandemi Covid-19, Sugeng Bahagijo, mengatakan jumlah PMI mencapai 9 juta orang. “Sekitar 60 persen lebih para PMI itu belum menjadi anggota BP Jamsostek,” ujarnya saat pemaparan hasil kajian di Jakarta, Selasa (28/06/2022).
Mengacu pada angka yang dipaparkan Sugeng, berarti ada sekitar 5,4 juta PMI yang tak terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. Jumlah PMI yang tak terlindungi layanan jaminan sosial ini akan lebih besar jika mengacu pada pernyataan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker).
“Kalau kita lihat datanya ada 9 juta PMI … tapi yang jadi peserta BPJS itu cuma 200 ribu sekian orang,” kata Sub Koordinator Bidang Kepesertaan Jaminan Sosial Penerima Upah Kemenaker, Nindya Putri dalam kesempatan sama.
Berdasarkan hasil kajian, terdapat banyak faktor penyebab rendahnya jumlah PMI yang terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. Sugeng mengatakan, terdapat tiga faktor utama.
Pertama, para PMI tidak mendapat informasi, atau tidak mendapat akses untuk menjadi peserta maupun melanjutkan kepesertaan. Bentuk konkritnya adalah tidak adanya kantor BPJS Ketenagakerjaan di negara penempatan PMI. “Layanan sistem online BPJS Ketenagakerjaan juga sulit diakses atau hampir tidak bisa melayani,” ujarnya.
Bagi Sugeng, faktor pertama ini cukup menggelitik sebab, para PMI itu sebenarnya punya kemampuan finansial untuk membayar iuran, tapi malah tidak terdaftar hanya karena minimnya informasi dan tak adanya kanal layanan kepesertaan di luar negeri.
Faktor kedua, para PMI tak berminat menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan karena manfaat yang ditawarkan tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Contohnya, para PMI mau membayar iuran dan mendapatkan manfaat program Jaminan Hari Tua (JHT), tapi BPJS Ketenagakerjaan tidak menyediakannya.
Selain itu, imbuh dia, para PMI merasa lebih cocok dengan manfaat yang diberikan konsorsium asuransi yang dulu mereka pakai sebelum adanya BPJS Ketenagakerjaan. Sebab, lebih banyak jenis pembiayaan yang di-cover konsorsium itu jika dibandingkan BPJS Ketenagakerjaan.
“Jadi selain kurangnya informasi, ada juga faktor tidak cocok dengan menu yang ditawarkan BPJS Ketenagakerjaan. Agar mereka mau menjadi peserta, kita harus menyesuaikan programnya sesuai kebutuhan mereka,” kata Sugeng.
Faktor ketiga, adanya kendala regulasi, institusi, dan operasi. Dua faktor sebelumnya, sebenarnya muncul karena faktor ketiga ini.
Sugen menyebut, regulasi yang berlaku sekarang tak mengakomodasi kebutuhan PMI. Seharusnya, Kemenaker segera merevisi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 Tahun 2018 tentang Jaminan Sosial Pekerja Migran Indonesia. Revisi itu harus memuat ketentuan terkait penyediaan program-program BPJS Ketenagakerjaan yang sesuai dengan kebutuhan PMI seperti JHT.
Sedangkan kendala institusi banyak ragamnya. Mulai dari tak adanya unit layananan BPJS Ketenagakerjaan di negara penempatan PMI, kurangnya sosialisasi dari pihak terkait, belum terlembaganya materi jaminan sosial PMI saat Orientasi Pra Pemberangkatan (OPP), dan tidak adanya aplikasi layanan online yang mumpuni.
Menurut Sugeng, seharusnya BPJS Ketenagakerjaan membuka unit layanan di negara-negara penempatan lewat kerja sama dengan dengan bank-bank pelat merah yang sudah berkantor di sana. Selain itu, BPJS Ketenagakerjaan juga harus membuat aplikasi layanan daring yang mudah diakses.
“Tapi perbaikan atas institusi maupun operasi ini harus lewat revisi Permenaker. Sebab, missing link-nya adalah regulasi,” ujarnya.
Regulasi dan data
Merespons hasil kajian tersebut, Direktur Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan Zainuddin mengungkapkan sejumlah kendala yang dihadapi pihaknya. Terkait perlunya membuka unit pelayanan di luar negeri, Zainudin mengaku sudah berupaya mewujudkannya.
“Tapi di luar negeri itu tidak semudah di dalam negeri,” ujarnya. Untuk membuka unit layanan BPJS Ketenagakerjaan di Kedutaan Besar Indonesia, kata dia, perlu terlebih dahulu diatur dalam konvensi antar kedua negara. Begitu pula dengan wacana membuka unit layanan di kantor bank pelat merah, untuk mewujudkannya perlu izin dari pemerintah setempat terlebih dahulu.
Terkait cakupan program yang berbeda dengan konsorsium asuransi, Zainuddin menegaskan bahwa hal itu merupakan amanat undang-undang. Misalnya, BPJS Ketenagakerjaan tak meng-cover klaim kesehatan bukan karena kecelakaan kerja, lantaran masuk dalam domain BPJS Kesehatan.
Dia menambahkan, meski program BPJS Ketenagakerjaan dinilai tak sesuai dengan kebutuhan PMI, tapi pihaknya tak bisa membuat program baru begitu saja. Sebab, jenis-jenis program ditentukan oleh Kemenaker. “Karena itu lah perlu segera diselesaikan revisi Permenaker 18/2018,” ujarnya.
Sub Koordinator Bidang Kepesertaan Jaminan Sosial Penerima Upah Kemenaker, Nindya Putri mengatakan, pihaknya sedang merevisi Permenaker 18/2018. Poin-poin revisi mencakup peningkatan besar manfaat klaim BPJS Ketenagakerjaan, menambah program yang sesuai kebutuhan PMI, penyederhanaan proses administrasi, penyediaan kanal pendaftaran daring, dan penintegrasian sistem layanan.
Hanya saja, kata dia, penyediaan program JHT belum diputuskan apakah bersifat wajib atau sukarela saja. Sebab, tak semua PMI sanggup membayar iurannya.
Selain revisi regulasi, kata Nindya, upaya menambah jumlah PMI peserta BPJS Ketenagakerjaan juga harus disertai pembenahan data.
“Data jumlah PMI kan ada 9 juta orang. Tapi, sampai saat ini kami belum bisa memverifikasi di mana saja sebaran mereka,” ungkap Nindya. Tanpa data sebaran itu, maka BPJS Ketenagakerjaan akan sulit menarik mereka menjadi peserta. []