Wakil Ketua Komisi IX Dorong Percepatan Penerbitan Perpres Perlindungan PMI
JAKARTA – Hasil kerja Tim Pengawas DPR terhadap Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) secara umum menemukan berbagai masalah dalam implementasi penempatan dan pelindungan. Hal itu terungkap dalam laporan Tim Pengawas DPR yang dibacakan Wakil Ketua Komisi IX DPR, Nihayatul Wafiroh dalam rapat paripurna pemungkas DPR 2019-2024, Senin (30/9/2024) kemarin.
Dia menjelaskan pembentukan tim ditujukan untuk mengawasi kinerja pemerintah dalam kebijakan penempatan dan pelindungan PMI berdasarkan UU No.18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Tim telah melakukan identifikasi masalah dalam kebijakan penempatan dan pelindungan PMI baik sebelum, selama bekerja dan pulang ke Indonesia.
“Merumuskan rekomendasi akhir kepada pemerintah dalam rangka pembenahan dan perbaikan kebijakan penempatan dan pelindungan PMI sesuai hasil identifikasi, monitoring, dan pengawasan yang telah dilakukan,” ujarnya.
Sejumlah rekomendasi tim antara lain pemerintah perlu melakukan pemetaan masalah yang dihadapi PMI dari hulu sampai hilir sesuai tugas dan fungsi masing-masing kementerian/lembaga. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian diminta segera mempercepat pengesahan Rancangan Peraturan Presiden tentang Tata Kelola Penempatan dan Pelindungan PMI.
Politisi Partai Kebangkitan Bangsa itu menilai, kementerian/lembaga dan pemerintah daerah perlu meningkatkan koordinasi dan kolaborasi dalam mengatasi setiap persoalan terkait penempatan dan pelindungan PMI. Penguatan koordinasi antar lembaga sangat diperlukan baik koordinasi antara pemerintah pusat, daerah, dan lembaga terkait lain. Koordinasi dibutuhkan dalam mengembangkan mekanisme yang lebih efisien terkait penanganan kasus PMI bermasalah, melibatkan lebih besar pemerintah daerah dalam menyediakan layanan dan pelindungan.
Sebagai upaya meminimalkan PMI tidak sesuai prosedur, Nihayatul menyebut sosialisasi program penempatan dan pelindungan PMI serta edukasi perlu ditingkatkan. Terutama terkait hak-hak dan kewajiban PMI baik bagi calon PMI dan anggota keluarganya. Sosialisasi membantu mencegah terjadinya penempatan ilegal dan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang risiko yang terkait dengan bekerja di luar negeri.
“Dari aspek penegakan hukum, pemerintah perlu memperkuat pengawasan terhadap penempatan PMI, khususnya dalam mencegah oknum pejabat yang terlibat dalam aktivitas ilegal harus dilakukan untuk memberikan efek jera,” usul Nihayatul.
Mengenai jaminan sosial, tim pengawas DPR merekomendasikan penguatan regulasi melalui revisi PP No.85 Tahun 2013 tentang Tata Cara Hubungan Antar Lembaga BPJS dengan mengatur kerjasama BPJS dengan lembaga jaminan sosial di luar negeri, terutama negara penempatan PMI. Revisi PP No.76 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP No.101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan sehingga memasukan memasukan PMI dan calon PMI kategori miskin sebagai peserta penerima bantuan iuran (PBI). Iurannya dibayarkan pemerintah pusat atau daerah.
Serta memasukan kepesertaan PMI dalam revisi Perpres No.82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan dengan mengatur sistem iuran dan pembiayaan jaminan kesehatan yang sakit bukan akibat kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja di negara tujuan. Termasuk mempertimbangkannya sebagai cost structure biaya penempatan PMI sebagaimana diatur Pasal 30 ayat (2) UU PPMI.
Nihayatul menjelaskan tim pengawas DPR usul pengaturan tentang JKN bagi PMI dalam bentuk Peraturan Menteri Kesehatan terkait proses bisnis jaminan kesehatan bagi PMI. Hal ini penting karena kepesertaan PBI JKN berakhir ketika dia bekerja sebagai PMI. Apalagi ada perbedaan mendasar kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan.
“Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan mewakili 1 orang pekerja, tapi PBI JKN mencakup satu keluarga sehingga berakhirnya kepesertaan PBI berdampak pada PMI dan keluarganya,” bebernya.
Dalam rangka meningkatkan kualitas PMI, Nihayatul menjelaskan perlunya peningkatan kualitas pelatihan dan sertifikasi bagi calon PMI. Pemerintah daerah harus lebih aktif menyediakan pelatihan yang relevan dan sertifikasi yang diakui secara internasional untuk meningkatkan daya saing PMI di pasar kerja global.
Layanan terhadap PMI perlu ditingkatkan dengan mengalokasikan anggaran yang mendukung fasilitas dan layanan. Seperti Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA). Fasilitas itu perlu didukung sumber daya manusia yang memadai untuk kebutuhan PMI mulai dari persiapan sebelum bekerja sampai pemulangan dan purna kerja.
Desa PMI perlu ditetapkan sebagai desa migran produktif (desmigratif), mengingat desmigratif cukup efektif dalam pelindungan PMI. Terakhir, tim merekomendasikan regulasi khusus yang mengatur daerah embarkasi debarkasi seperti Provinsi Sulawesi Selatan yang mengatur anggaran dan kebijakan penanganan PMI karena ada potensi terjadinya masalah PMI yang besar.
Dalam kesempatan itu seluruh anggota DPR yang hadir menyatakan setuju terhadap laporan Tim Pengawas DPR terkait Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI). Ketua DPR sekaligus pimpinan sidang paripurna, Puan Maharani, mengetuk palu sidang setelah meminta persetujuan anggota DPR terhadap laporan tersebut.
“Terima kasih Timwas DPR terkait Pelindungan Pekerja Migran Indonesia terhadap laporannya. Apakah dapat disetujui? Setuju! Selanjutnya laporan Timwas akan ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku,” imbuh politisi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan itu. []