Waspada, Delapan Bentuk Pelanggaran Ini Sering Dilakukan PJTKI/PPTKIS
Perusahaan pelaksana penempatan TKI swasta (PPTKIS/PJTKI) punya kewenangan yang besar dalam melakukan perekrutan dan penempatan buruh migran ke luar negeri. Lebih dari itu, UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN) mengatur PPTKIS untuk bertanggung jawab dalam memberikan perlindungan kepada buruh migran. Kendati demikian peran PJTKI itu belum berjalan optimal, hasil kajian SBMI dan Infest Yogyakarta menunjukkan sedikitnya ada 8 bentuk pelanggaran yang berpotensi dilakukan PPTKIS/PJTKI.
Pegiat Infest Yogyakarta, Nisrina Muthahari, menjelaskan hasil kajian itu diperoleh dari ulasan buruh migran yang pernah menggunakan jasa PPTKIS/PJTKI. Ulasan itu dimuat dalam kanal pantaupjtki.id. “Ulasan itu tidak hanya berisi informasi yang mencakup pelayanan perusahaan perekrutan, tapi juga berisi keluhan buruh migran yang merasa bahwa terdapat tanggung jawab perusahaan perekrutan yang tidak ditunaikan kepada buruh migran,” katanya dalam diskusi di Jakarta, Selasa (11/12).
Selain masalah pelayanan, dari ulasan itu Nisrina mencatat sedikitnya ada 8 pelanggaran yang dilakukan PPTKIS/PJTKI.
Pertama, sebanyak 13,4 persen ulasan buruh migran menyebut PPTKIS/PJTKI tidak mengikutsertakan mereka dalam pembekalan akhir pemberangkatan (PAP).
Kedua, 37,8 persen buruh migran menyatakan tidak menerima penjelasan tentang perjanjian penempatan yang memuat hak dan kewajiban PPTKIS/PJTKI dan calon buruh migran.
Ketiga, 53,7 persen buruh migran tidak memegang salinan kontrak kerja. Padahal UU PPTKILN mengamanatkan perjanjian penempatan buruh migran dibuat sekurangnya rangkap 2 dan masing-masing pihak mendapat 1 perjanjian penempatan. Perjanjian kerja itu paling tidak memuat nama dan alamat pengguna, nama dan alamat buruh migran, jabatan atau jenis pekerjaan, hak dan kewajiban para pihak, kondisi dan syarat kerja seperti jam kerja, upah, hak cuti dan waktu istirahat serta jangka waktu perjanjian kerja.
Keempat, bentuk pelanggaran lainnya terkait overcharging atau pembiayaan penempatan oleh PPTKIS/PJTKI kepada buruh migran. Nisrina mencatat dari 86 buruh migran sebanyak 97 persen membayar biaya penempatan sekitar Rp24 juta, hanya 24 persen yang membayar sesuai Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) No.98 Tahun 2012 tentang Biaya Penempatan Buruh Migran ke Hongkong.
Kelima, ada 32,7 persen buruh migran mengaku tidak mengantongi Kartu Tanda Kerja Luar Negeri (KTKLN).
Keenam, 69,2 persen buruh migran tidak didaftarkan asuransi. UU PPTKILN mengancam sanksi bagi pihak yang menempatkan buruh migran tanpa program asuransi yakni pidana paling singkat 1 tahun paling lama 5 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp1 milyar paling banyak Rp5 milyar.
Ketujuh, 52,8 persen buruh migran tidak memperoleh salinan perjanjian kerja dan tidak menyimpannya.
Kedelapan, 24,3 persen buruh migran mengerjakan pekerjaan yang tidak sesuai dengan perjanjian kerja yang ditandatangani sebelum berangkat ke negara penempatan.
Mengacu temuan itu Nisrina mengatakan penempatan pekerja migran sekalipun melalui jalur prosedural tidak sepenuhnya menjamin buruh migran terhindar dari pelanggaran hak dan perdagangan orang. Pencegahan itu bisa dilakukan pemerintah dengan melakukan penindakan tegas terhadap setiap pelanggaran yang dilakukan PPTKIS/PJTKI.
Sayangnya, sanksi yang diberikan pemerintah terhadap pelanggaran itu kebanyakan administratif, jarang menggunakan delik pidana. Selain itu Nisrina mengusulkan pemerintah untuk membuat mekanisme partisipatif yang melibatkan buruh migran dalam melakukan evaluasi terhadap PPTKIS/PJTKI.
Direktur Eksekutif IBC, Roy Salam, mengatakan UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia telah mencabut UU PPTKILN. Tetapi beleid yang diundangkan 22 November 2017 itu belum dapat dilaksanakan karena sampai sekarang belum ada peraturan turunannya. Kementerian Ketenagakerjaan dan BNP2TKI harus melakukan pengawasan yang baik agar PPTKIS/PJTKI patuh terhadap aturan.
Absennya peraturan pelaksana UU PPMI itu menurut Roy memicu munculnya perilaku koruptif aparat karena terjadi kekosongan hukum sehingga tidak adil bagi masyarakat khususnya buruh migran yang membutuhkan pelayanan. Roy melihat sejumlah lembaga pengawasan eksternal seperti Ombudsman dan Badan Pemeriksa Keuangan telah mendapatkan temuan dalam mekanisme pengelolaan migrasi tenaga kerja. Tapi hasil pengawasan itu dirasa belum memberi dampak yang signifikan terhadap perbaikan mekanisme perekrutan dan penempatan buruh migran.
Roy menyoroti soal akuntabilitas dan transparansi berbagai lembaga terkait perekrutan dan penempatan buruh migran antara lain Kementerian Ketenagakerjaan, BNP2TKI, pemerintah daerah dan PPTKIS/PJTKI. Transparansi dan akuntabilitas itu perlu dilakukan terhadap anggaran yang dialokasikan dari APBN dan APBD untuk pengelolaan proses migrasi tenaga kerja. Misalnya, pelatihan untuk buruh migran pada masa pra-penempatan yang sebelumnya dilakukan PPTKIS/PJTKI sekarang dialihkan kepada pemerintah. “Harus bisa dipastikan apakah anggarannya memadai atau tidak untuk melakukan pelatihan itu,” ujarnya.[Ady Thea DA]