April 25, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Yang Mengenaskan itu Bukan Kemiskinannya, Tapi Ketimpangannya

10 min read
Kiai Afifuddin Muhajir, Wakil Rais Aam PBNU (Foto Istimewa)

Kiai Afifuddin Muhajir, Wakil Rais Aam PBNU (Foto Istimewa)

JAKARTA – “Assalamualaikum,” ucap saya menyapa Kiai Afifuddin Muhajir, Wakil Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Saat itu, Rabu siang 12 April 2023, saya bertemu dengan Kiai Afif, begitu sapaan akrabnya, di salah satu hotel dekat markas besar PBNU. Ia baru tiba di Jakarta sehari sebelumnya dari Banyuwangi untuk agenda rapat pengurus harian organisasi Islam terbesar itu. Ketika lepas turun tangga hotel, tampak ia mengenakan pakaian khas warga Nahdliyin: Koko biru dengan sarungan hijau plus songkok putihnya.

Di hotel itu, ia bertemu dengan Abdul Ghafur Maimoen atau Gus Ghofur, anak dari tokoh NU, Kiai Maimoen Zubair. Ia berkelakar soal kedatangannya ke Jakarta yang lebih cepat kepada Gus Ghofur, yang juga punya agenda rapat sama. “Serius, niat (rapat), saking seriusnya datang sehari sebelumnya,” kata dia kurang lebih yang ditanggapi gelak tawa oleh Gus Ghofur.

Bicara keseriusan di NU, ulama yang ahli kitab fiqih dan ushul fiqih ini sempat tak ingin berkiprah lebih lanjut. Momen Muktamar ke-33 di Jombang yang dianggap tidak sesuai syariat atau tidak adil menjadi musabab ia enggan masuk kepengurusan.  “Tapi akhirnya saya didesak-desak. Ketika pengurusan tinggal 1 tahun mungkin, saya diminta masuk lagi,” tuturnya.

Mendengar kata adil, ulama kelahiran tahun 1955 itu, berkata keadilan masih menjadi hal yang mahal di negeri ini. Politik Islam yang semestinya bisa menjadi suluh keadilan, justru belum kelihatan esensinya bagi kemaslahatan umat. Alih-alih kebaikan untuk semua, yang terjadi adalah penyimpangan kekuasaan dan distribusi kekayaan tidak merata sehingga berakibat mempertebal jurang ketimpangan antara si miskin dan si kaya.

Sekira 30 menit, saya berbincang dengan Kiai Afif seputar banyak hal ihwal politik Islam hingga nilai keadilan dan kesetaraan. Dalam konteks itu, ia berbagi pandangan terkait relasi ulama dengan pemerintah. Tak lupa, ia bercerita soal perjalanan hidupnya sebagai santri sampai dengan titik pengabdian di NU.

Berikut petikan wawancara kami.

Bisa ingatkan kami soal perjalanan hidup Kiai?

Kalau di Pesantren al-ihsan, Jrangoan Sampang, tidak mondok karena memang tempat tinggal saya di sana, saya lahir di sana, Jrangoan, Sampang. Ketika sekolah kelas 1, saya diajak oleh ibu ke Situbondo, terus tak pulang lagi. Di Situbondo di (Pondok Pesantren) Salafiyah Syafi’iyah ya masuk madrasah dari awal dari kelas 1 MI (Madrasah Ibtidaiyah). Kemudian tsanawiyah (MTs), Aliyah (Madrasah Aliyah).

Aliyah kelas 2, saya sudah diangkat jadi guru. Alhamdulillah. Pada waktu yang bersamaan saya menjadi kepala kamar. Kan tiap kamar ada kepalanya. Ada kepala asrama, ada kepala kamar. Dan pada saat saya menjadi kepala kamar, saya mengajar. Mungkin saat itu umur 20 tahun. Kemudian ngajar, saya langsung ngajar di MI kelas 4, dari kelas MI langsung naik ngajar Aliyah, yang diajarkan itu Bahasa Inggris.

Setelah di Aliyah, turun lagi ngajar di kelas 3 MI. Jadi guru kelas 3 MI saya merasakan mendapatkan kesulitan untuk memahamkan kitab jurumiyah kepada murid-murid kelas itu. Akhirnya saya membuat buku, karangan yang saya anggap sebagai tangga menuju jurumiyah dan sampai sekarang kitab itu masih dipakai di pondok, namanya Al-Luqmah al-Sāighah di bidang nahwu, jauh di bawah jurumiyah tingkatannya.

Kemudian, saya masuk perguruan tinggi (Di Institut Agama Islam Ibrahimy naungan Ponpes Salafiyah Syafi’iyah). Kira-kira tahun 85 atau 86 ada program  S1, 10 SKS. Itu kuliah di pondok, itu jurusan tafsir dan hadist. Kemudian, Unisma (Universitas Islam Malang) membuka (program) S2 tahun 97 (dan) masuk di sana. Kemudian 2 tahun yang lalu, saya mendapatkan anugerah doktor honoris causa di Semarang (Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang).

Kalau saya masuk NU, pertama-tama saya menjadi Katib Syuriah, itu hasil Muktamar Makassar. Kemudian Muktamar Jombang. Menganggap Muktamar Jombang berjalan tidak sebagaimana mestinya, tidak sesuai syariat, saya tak mau jadi pengurus. Tapi akhirnya saya didesak-desak, masuk lagi. Banyak kecurangan. Mungkin banyak orang yang tahu soal itu ya. Tapi akhirnya ketika pengurusan tinggal 1 tahun mungkin, saya diminta masuk lagi, masuk juga, dengan pertimbangan daripada mengkritik dari luar, lebih baik masuk sekalian ke sistem.

Terakhir Muktamar di Lampung, saya diminta (jadi) Wakil Rais ‘Aam. Tapi saya pernah menjadi Wakil Rais ‘Aam di PCNU Situbondo (2003) dan pernah menjadi Katib Syuriah PWNU Jawa Timur.

 

Disebut sejak kecil sudah mondok ke ponpes Kiai As’ad Syamsul Arifin, bagaimana relasi dengan Kiai dan pengaruhnya dalam membentuk struktur keilmuan?

Kalau belajar kitab, saya tidak pernah belajar kepada beliau (Kiai As`ad). Soalnya sewaktu saya di Sukorejo, beliau sudah tidak ngajar. Beliau sudah jadi tukang. Jadi alih-alih beliau ngajar kitab, tapi ndak, beliau jadi tukang bangunan. Jadi bersama-sama tukang yang lain, beliau kerja. Akan tetapi beliau secara berkala mengumpulkan semua santri, di situlah beliau memberikan bimbingan kepada santri, tapi bukan kepada kitabnya, jadi nasihat-nasihat, dawuh-dawuh. Akan tetapi meski saya tidak pernah ngaji kitab ke beliau, saya sangat akrab. Bahkan saya selalu dipantau, apakah saya sekolah atau tidak, bahkan pas di MI, saya sempat dihukum di bawah kolong dipan gara-gara tidak sekolah. Ya walhasil selalu dalam pantauan beliau, pendidikan saya.

Kalau soal ngaji kitabnya, saya kepada sepupu beliau, yang sekaligus sebagai menantunya, Kiai Dhofir Munawwar (Pengasuh Ponpes Salafiyah Syafi’iyah).

 

Kiai ditunjuk oleh Kiai As’ad untuk pembentukan lembaga pendidikan Ma’had Aly, ada ceritanya?

Secara alami saya masuk di situ dan direstui untuk menjadi salah seorang yang aktif membicarakan pentingnya Ma’had Aly (Cika-bakal lembaga pendidikan pascasarjana di ponpes). Mungkin yang perlu disampaikan adalah cikal bakal berdirinya Ma’had Aly. Dulu Kiai As’ad pernah mondok di (Ponpes) Tebuireng (Jombang), ketika mau pulang ada pesan khusus dari Hadratussyaikh Hasyim Asy`ari, kalau kamu pulang memperbanyak, mencetak fuqaha (ahli fiqih). Itu pesannya.

Kemudian pada awal tahun 90-an, ada beberapa kiai dari Madura, datang kepada beliau, mengeluhkan semakin merosotnya kualitas alumni pondok pesantren. Lalu mereka mengusulkan, kalau bagaimana kita ini mendirikan lembaga pendidikan yang khusus mengajarkan kitab-kitab salaf. Apa yang mereka usulkan itu, direspons positif oleh Kiai As’ad. Beliau mengirimkan beberapa kiai dan ulama, ya mungkin se-Indonesia. Tidak sekali-dua kali, akan tetapi beberapa kali, disimpulkan tentang mendirikan lembaga baru itu. Belum ada namanya saat itu belum ada Ma’had Aly.

Dalam waktu yang bersamaan, RMI (Rabithah Ma’ahid Islamiyah) itu mengadakan pertemuan di Watucongol, Jawa Tengah tentang pentingnya mendirikan Ma’had Aly, nama sesudah (Muktamar) itu. Apa yang diusulkan Ma’had Aly oleh RMI itu digunakan oleh lembaga Ma’had Aly yang ada di Situbondo. Dan Alhamdulillah, konsentrasi yang dipilih oleh Ma’had Aly Situbondo itu adalah fiqih dan ushul fiqih, sesuai dengan pesan Kiai Haji Hasyim Asy`ari. Itu pertimbangan pertama.

Pertimbangan kedua, fiqih dan ushul fiqih ini memiliki keistimewaan dibanding dengan yang lain. Berangkat dari Al-Ghazali, ilmu itu ada 3, yang pertama adalah ilmu yang aqli murni berdasarkan akal semata seperti matematika, fisika dan seterusnya. Ada yang aqli murni seperti tafsir riwayah dan hadits riwayah. Ada yang memadukan antara akal dan akal , tidak hanya berdasarkan kecerdasan intelektual saja, akan tetapi berdasarkan kemampuan, di dalam memahami quran dan hadist yaitu fiqih dan ushul fiqih.

Memang ushul fiqih ini diakui bisa membuat orang bisa berpikir logis-sistematis, bukan hanya penting untuk menyelesaikan persoalan hukum.

 

Bagaimana pendapat Kiai soal membangun Ukhuwah Islamiyah di tengah perbedaan mazhab dan politik?

Perbedaan di umat Islam itu kan perbedaan di bidang khuruj, bukan di bidang ushulul, bukan dalam hal-hal yang prinsip kan. Akan tetapi, pada hal yang sifatnya khuruj, tidak ada perbedaan di kalangan umat Islam yang menyangkut hal-hal yang sudah ada dalilnya yang sangat terang benderang di dalam Al-Quran- dan As-Sunnah. Seperti Imam Syafi`i mengatakan, ‘pendapatku ini benar, tetapi mungkin saja salah. Pendapat orang lain itu salah, tapi mungkin saja itu benar’. Oleh karena itu, tidak boleh ada klaim-klaim kebenaran. Apa yang namanya Ukhuwah Islamiyah bisa mencapai sebenar-benarnya kalau tidak ada klaim kebenaran.

 

Bagaimana tanggapannya terhadap umat muslim yang hanya membaca Al-Quran secara tekstualitas saja?

Memang ada hal yang menarik dari karangan orang-orang zaman dahulu bahwa Al-Quran itu memiliki wajah yang sangat besar. Atau dengan perkataan yang simple, banyak ayat-ayat yang multi tafsir, memang ayat-ayat Al-Quran itu ada yang maqamat ada yang mutasyabihat. Yang maqamat itu adalah induk dari Al-Quran yang harga mati yang tidak ada tafsiran lebih dari satu.

Akan tetapi, di pihak lain ada yang mutasyabihat, ada yang multitafsir dan penafsirannya itu bisa sesuai dengan situasi dan kondisi. Jadi multi wajah. Karena memang, anu, kita tahu bahwa setelah nabi (Muhammad SAW) ini tidak akan ada nabi lain, oleh karena itu, Al-quran harus abadi kan.

Bagaimana caranya Quran supaya abadi, makanya penafsirannya bisa disesuaikan dengan zaman. Sudah barang tentu menyangkut hal-hal yang multi tafsir, konsekuensi Quran ini abadi ya harus seperti itu. Jadi, Al-Quran itu bukan seperti kitab perundang-undangan yang sangat kaku.

 

Lalu bagaimana memperjuangkan setiap kandungan ayat dalam Al-Quran sehingga bisa hidup secara adil, tidak dzalim?

Kan yang ada istilah namanya teori multi-dimensi, jadi ayat-ayat Al-Quran yang sifatnya mutasyabihat itu lah yang melahirkan perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat itu lahir dari mana, ada kemungkinan lahir karena ada perbedaan waktu. Atau perbedaan tempat. Orang-orang zaman dahulu seperti para sahabat itu seringkali fatwanya bermacam-macam dengan pertanyaan yang sama, jawaban bisa berbeda.

 

Ada orang yang membaca Al-quran setiap hari, tapi pada kesehariannya dia tidak mengamalkan Al-Quran, bisa saja dia zalim, bagaimana hal itu bisa terjadi?

Tidak cukup hanya penghafal Al-Quran, akan tetapi diperlukan fahmil Quran, memahami Al-Quran. Fahmil quran tidak cukup, tapi harus al’amaru bil Quran, mengamalkan Quran. Ketiganya tidak dipisahkan. Memang penghafal Quran tidak niscaya sesungguhnya, yang niscaya itu adalah al amaru bil Quran, mengamalkan kandungan Al-Quran. Orang –orang yang berkategori sebagai hafidz sebagai qori itu harus berhati-hati, memiliki adab-adab yang harus dilaksanakan lebih daripada orang lain, seharusnya kalau jadi hafidz harus bagaimana, punya tata krama dan sebagainya.

 

Sebagai Wakil Ketua Majelis Syariah PPP, bagaimana Kiai melihat politik Islam yang seharusnya untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan?

Anu, saya perlu menjelaskan terlebih dahulu politik dalam Islam. Sebagaimana dikemukakan oleh seorang ulama besar dari kalangan mazhab Hambali bernama Ibnu Aqil Hambali, dia mengatakan, ‘Politik itu adalah setiap kebijakan, setiap aktivitas yang bisa membuat manusia atau masyarakat berada dalam kemaslahatan dan sebaliknya bisa menjauhkan masyarakat dari kerusakan. Meskipun tindakan itu tidak langsung oleh nabi dan tidak berdasarkan wahyu’. Artinya politik dalam Islam itu basic-nya adalah kemaslahatan. Masuk dalam kemaslahatan adalah keadilan. Keadilan berada dalam kemaslahatan. Oleh karena itu, inti dalam politik Islam ya itu. Meskipun kulitnya Islam tapi tidak berintikan keadilan dan kemaslahatan, ya bukan politik Islam.

 

Bagaimana relasi ulama dengan pemerintah dalam membangun kualitas hidup umat?

Idealnya, umara (Pemimpin) itu adalah ulama, dan sebaliknya ulama itu umara. Akan tetapi apa yang ideal ini pernah berlangsung tapi tidak lama. Kapan itu? Di masa Khulafaur Rasyidin ditambah zamannya Hasan bin Ali kemudian Umar bin Abdul Azis. Mereka-mereka itu kan umara, tapi sekaligus ulama.

Akan tetapi yang ideal ini tidak bisa dicapai, maka ada pilihan yang kedua yaitu, ada 2 kelompok manusia, yang apabila mereka itu baik maka manusia seluruhnya akan baik dan apabila dua kelompok itu rusak, maka manusia seluruhnya akan rusak. Siapa yang dimaksud 2 kelompok itu, al-ulama walumaro. Kalau ulama ini baik, maka masyarakat diyakini akan baik.

Al-Ghazali mengatakan, rusaknya rakyat ini karena rusaknya para penguasanya. Rusaknya penguasa karena rusaknya para ulama. Ini intinya para ulama dulu yang diperbaiki. Apa ada ulama yang tak baik? Ya ada. Ya ulama dan umara, harus kerja sama dalam menciptakan kebaikan dan keadilan ini.

 

Apakah perlu Ma’ruf amin selanjutnya di 2024?

Idealnya seperti yang saya sampaikan tadi. Tapi sebaiknya kalau orang seperti Ma’ruf bukan jadi orang nomor dua, nomor satu mestinya. Ya untuk mengawal.

Kiai menuliskan fiqih anti korupsi, nah sekarang ini marak terjadi kasus korupsi, bagaimana tanggapannya menjamurnya korupsi di Indonesia?

Ironisnya yang dikorup itu pajak, bukan sekadar uang negara. Memang uang negara, tapi pajak yang diambil dari rakyat. Saya menulis kemarin bahwa pada dasarnya itu tidak ada pungutan yang dipaksakan dalam Islam kecuali zakat. Akan tetapi ketika dana zakat itu tidak cukup untuk kebutuhan memberantas kemiskinan, maka para ulama mengatakan bisa ada kewajiban di luar zakat dalam keadaan emergency, negara bisa memungut pungutan di luar zakat. Apanya yang terpaksa? Karena tanpa ada penarikan pajak, tidak mungkin negara ini diselenggarakan, tak mungkin pemerintahan ini diputar tanpa pajak.

Sesuatu yang dibolehkan dengan alasan darurat ya harus diukur dengan keadaan darurat itu. Pajak ini harus tepat sasaran. Apalagi kalau dikorup, ya saya setuju kalau ada hukuman yang seberat-beratnya.

 

Kiai juga menulis buku fiqih tata negara, lalu bagaimana melihat tata kelola negara hari ini?

Saya menulis di situ tentang bentuk negara dan sistem pemerintahan. Pada dasarnya tidak ada bentuk khusus yang ditawarkan oleh Islam tentang bentuk-bentuk negara dan sistem pemerintahan. Islam itu hanya menawarkan prinsip-prinsip. Prinsip yang pertama itu tidak ada yang lain al-adl, kedua al-hurriyah kebebasan, yang ketiga almusawa, kesetaraan, yang keempat asy-syura, permusyawaratan. Yang kelima adalah riqayatul ummah, pengawasan rakyat terhadap pemimpinnya.

Itu prinsip-prinsip pemerintahan dalam Islam yang kalau diwujudkan insya Allah akan menjanjikan keadilan di tengah masyarakat. Tata kelola negara hari ini, ya mungkin tidak jelek-jelek amat, tidak baik-baik amat, artinya standar atau di bawah standar.

 

Dari segi apa?

Ya mungkin dari segi penegakkan keadilan.

 

Maksudnya pejabat negara tidak adil?

Ya. Indonesia kan dikenal negara kaya dilihat dari sumber daya alamnya, akan tetapi ironisnya banyak orang yang sulit cari makan. Jadi persoalannya, supply-nya sangat cukup akan tetapi distribusinya yang tidak beres. Artinya, kekayaan Indonesia sangat berlimpah, seandainya distribusinya adil, insya Allah tidak ada orang yang sulit cari makan.

 

Apa pengertian kesetaraan dan keadilan bagi Kiai?

Kesetaraan kadang-kadang semakna dengan keadilan. Keadilan itu artinya harus sama ketika kondisi mintanya harus sama dan harus berbeda di saat kondisi meminta harus berbeda. Itu namanya keadilan. Kesetaraan itu dari satu sisi semakna dengan keadilan, berbeda dengan tasawi itu setara persis. Seperti antara laki-laki dan perempuan itu musawah tapi bukan tasawi. Karena laki-laki dan perempuan memiliki khosois yang berbeda yang menuntut adanya perbedaan dalam hal-hal tertentu.

 

Lalu bagaimana membangun keberislaman secara ekonomi di tengah tantangan kemiskinan?

Yang paling menyakitkan itu bukan kemiskinan, akan tetapi ketimpangan. Kalau sama-sama miskin kan tidak begitu berat. Tetapi dari satu sisi ada yang kaya raya, di sisi lain ada yang miskin. Itu yang sangat ironis. Di sini ini mencari orang yang punya penghasilan satu milyar satu bulan, itu banyak, tapi cari orang yang tidak punya penghasilan sama sekali, kan lebih banyak. Kalau punya penghasilan satu milyar dari hasil jerih payah kan enggak persoalan. Yang jadi persoalan kalau itu berasal dari korupsi. Saya sangat menjerit ketika andai melihat orang tua menjual kayu bakar, (tapi) ndak ada yang beli.

 

Jadi, harus ditangani bagaimana ketimpangan ini?

Dalam Al-Quran sudah jelas, jadi keadilan dalam masalah distribusi. Al-Quran mengatakan jangan sampai harta itu berputar-putar hanya di kalangan yang kaya saja, akan tetapi harus didistribusikan secara adil dan merata.

Sekali lagi yang mengenaskan itu bukan kemiskinan tapi ketimpangan.

 

Pesan untuk pemimpin hari ini dan yang akan datang?

Ya mudah-mudahan orang yang maju jadi pemimpin benar-benar berangkat dari niat yang baik ingin memperbaiki keadaan, bukan untuk mencari kekayaan, bukan untuk yang lain-lain tapi demi memperbaiki negara. Harusnya seperti itu.  []

Sumber wawancara Justice.co dengan Kiai Afifuddin Muhajir, Wakil Rais Aam PBNU

 

 

Advertisement
Advertisement