Yuk menyambut pilpres tanpa kata-kata kasar
Para politikus boleh berkilah bahwa semua hamburan kata untuk menyerang lawan adalah bagian dari dinamika. Kompetisi kekuasaan tanpa sentuhan emosional yang sarkastis, bagi mereka, terasa hambar.
Pada masa lalu sempat muncul idiom “setan kota” dan “setan desa”. Bahkan kata “ganyang”, dari bahasa Jawa, yang semula berarti menyantap penganan, diserap ke dalam bahasa Indonesia dan beralih makna menjadi tindakan garang: mengenyahkan lawan — dengan cara kanibal?
Dua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden sudah mendeklarasikan diri kemarin di Jakarta. Hari ini mereka tinggal mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum. Inkumben Joko “Jokowi” Widodo menggandeng Ketua Majelis Ulama K.H. Ma’ruf Amin. Penantang lama Prabowo Subianto memilih Wakil Gubernur DKI Sandiaga Uno sebagai pendamping.
Semoga Pilpres 2019 tak sepanas Pilpres 2014. Pun tak segerah dan setegang Pilkada DKI 2017. Peta sekarang, mestinya, tak dapat digiring ke arah pemimpin pro ataukah anti-Islam.
Cawapres Ma’ruf adalah ulama yang menandatangani fatwa bahwa Gubernur DKI Basuki “Ahok” Tjahaja Pernama telah menistakan Alquran (surat Al Maidah 51) serta menghina ulama, dan tindakan itu berkonsekuensi hukum (2016).
Fatwa itulah yang berbuah gerakan bela agama, dengan pemuncak demo besar 212 (2 Desember 2016). Setelah itu kaum 212 mengidentikkan diri sebagai lawan Jokowi dan pendukung Prabowo.
Yang membuat fatwa mendampingi petahana Jokowi. Pihak pendukung fatwa mengusung Prabowo. Masih perlukah kata-kata keras atas nama apa pun? [Anto]