Zahid Hussein, Penabuh Gaung Aliran Kepercayaan yang Menemukan Hidayah
ApakabarOnline.com – “Sejak sebelum Indonesia merdeka, aliran kepercayaan telah tumbuh subur di Indonesia, bahkan sejak zaman kerajaan di abad pertengahan,” begitulah pandangan dari seorang Mantan Ketua Umum Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK), Zahid Hussein.
Ia meyakini, sebelum agama-agama masuk ke Indonesia, sudah ada kepercayaan yang hidup di bumi pertiwi ini. Kepercayaan terhadap Tuhan baginya sudah ada sejak manusia lahir di dunia.
Kita, tuturnya, tidak diajar orang tua untuk bersedih. Namun kala manusia bersedih, manusia secara alami mengingat Tuhan. Jadi, ia meyakini sebetulnya kepercayaan manusia terhadap Tuhan telah terbentuk sejak lahir.
Zahid memahami aliran kepercayaannya sebagai “suatu keyakinan bahwa manusia dan dunia seisinya diciptakan oleh Tuhan.” Karenanya, dirinya selalu mempercayakan hidupnya kepada Tuhan. Kepercayaan itu yang membuat dirinya patuh kepada Tuhan dan menjauhi larangan-larangan Tuhan.
Dari situlah, ia menyebut hal tersebut sebagai iman. Baginya, iman selalu menyangkut pada keyakinan rohani, penghayatan kepada Tuhan, bukan lagi ilmu pengetahuan yang didefinisikan secara pasti.
Untuk itu, ia menekankan, soal kepercayaan itu adalah soal rohani, bukan rasio atau akal sehat. Rohani baginya adalah masalah gaib, seperti jiwa, batin atau nyawa. Namun, rasio adalah persoalan lahiriah.
“Jadi untuk dapat memahami masalah rohani harus juga memakai alat rohani, yaitu hati nurani,” katanya.
Atas dasar itu pula, ia tidak mau membeda-bedakan antara agama dan kepercayaan. Sebab jika manusia sudah membeda-bedakan hal tersebut, artinya dia sudah terpatri oleh rasio.
Seharusnya, lanjut dia, dicarilah persamaannya agar timbul persatuan, daripada mencari perbedaan yang menimbulkan percekcokan. Zahid meyakini di Indonesia bisa tercipta kerukunan beragama.
“Di Indonesia bermacam agama bisa rukun, karena bertemu dalam keimanan kepada Tuhan,” tuturnya.
Berpetualang
Begitulah secuplik gagasan dari Zahid Hussein, salah satu tokoh penghayat kepercayaan di Indonesia. Pria yang lahir di Yogyakarta pada 19 Mei 1925 itu, mengabdikan dirinya dalam ajaran kepercayaan Sumarah, salah satu aliran kepercayaan di Indonesia selain Madraisme, HPK Masade, Sapto Darmo, Aluk To Dolo, Kaharingan dan Boda Sasak.
Sekadar informasi, praktik ajaran Sumarah lahir pada 27 Desember 1897 oleh Raden Ngabei Soekino Hartono atau disebut Sukino Hartono, guru Sekolah Dasar Kesultanan, Yogyakarta. Ajaran ini menuntun penghayaatan kepada Tuhan Yang Maha Esa (YME) melalui sujud sumarah atau meditasi yang ditujukan kepada Tuhan YME.
Ajaran ini tetap membolehkan penganut agama seperti Islam, Kristiani, dan Hindu-Budha untuk menganut agamanya. Jadi, sebagai contoh, seorang muslim pun bisa menganut penghayatan ajaran ini guna memperkuat batinnya.
Ajaran sumarah diketahui bersifat netral. Artinya, ajaran ini tidak mewajibkan seseorang untuk mensosialisasikan ajaran Sumarah kepada orang lain. Hanya menyampaikan nasehat lisan yang diperbolehkan dalam ajaran ini.
Sekilas cerita, kala itu ajaran Sumarah masih digeluti Sukino pada masa sebelum kemerdekaan. Sukino memainkan peran sebagai pimpinan Sumarah, seperti dikutip dari buku Kejawen Modern: Hakikat dalam Penghayatan Sumarah.
Pada masa Jepang, Sukino yang suka bermeditasi melalui sujud sumarah, mendapatkan visi gaib tentang nasib Jepang yang akan segera berakhir. Ia meyakini, kaum Sumarah akan menjadi bagian dari pembebas kemerdekaan Indonesia.
Untuk itu, pada pertemuan Halal bi Halal di Kampung Terban Yogyakarta tahun 1943, Sukino menganjurkan para pemuda Sumarah agar masuk menjadi anggota PETA (Pembela Tanah Air), prajurit militer bentukan Jepang yang berasal dari rakyat pribumi. Tujuannya, untuk mendapatkan latihan kemiliteran sebagai persiapan membangun tentara nasional, sekaligus juga mewujudkan kemerdekaan Indonesia.
Salah satu yang kemudian menuruti anjuran tersebut adalah Zahid. Ia merupakan pemuda Sumarah, sekaligus juga guru Sekolah Rakyat Muhammadiyah, yang banting stir menjadi prajurit PETA.
Sekira 89 tahun lalu, tepatnya 1930-an, Zahid mulai menyelami aliran kepercayaan Sumarah, setelah dianjurkan oleh ayahnya, Abdullah Muhsin. Ia sendiri merupakan anak angkat dari Bariunhartono, salah satu pengurus dalam perkumpulan Sumarah. Zahid sendiri pernah diramalkan Sukino, kelak bakal memiliki tanggung jawab penting dalam aliran Sumarah.
Dari situlah, ia menapakkan jejak petualangannya. Setelah menjadi PETA, Zahid turut berkecimpung dalam perang kemerdekaan pada 1945–1949. Ia juga turut serta terlibat dalam Serangan Umum 1 Maret yang dipimpin Suharto. Waktu itu, Zahid adalah Letnan Dua TNI berusia 24 tahun
Melalui keterlibatan inilah, Zahid mulai menjalin keakraban dengan Suharto, yang kemudian menjadi Presiden Republik Indonesia kedua setelah Sukarno.
Perkumpulan Kebatinan
Untuk diketahui, kala itu belum terbentuk perkumpulan kebatinan secara formal. Mengutip Perkembangan Paham Keagamaan Lokal di Indonesia, dibentuklah suatu perkumpulan yang resmi guna mewadahi hal tersebut. Seluruh aliran kepercayaan berkumpul menjadi satu dan diwadahi dengan nama Badan Kongres Kebatinan Indonesia (BKKI).
Seiring waktu, nama perkumpulan berubah menjadi Badan Koordinasi Karyawan Kebatinan, Kejiwaan, Kerohanian Indonesia (BK5I) yang bertempat di Jakarta. Kemudian, organisasi tersebut berjalan seadanya hingga akhir tahun 60-an.
Baru pada tahun 70-an, tepatnya kala Orde Baru berkuasa, barulah organisasi kepercayaan itu mendapatkan wadah melalui kedekatan politik. Pada saat itu, BK5I masih dipegang oleh tiga pimpinan, yakni Arymurthy, Soediyono dan Pranyoto. Mereka juga tergabung dalam perkumpulan Sumarah.
Zahid mulai terlibat dalam organisasi tersebut pada 1970–1974. Ia menjadi ketua bidang organisasi dan pengembangan. Posisi Zahid penting, mengingat ia merupakan orang dekat Suharto dan juga punya posisi penting di kemiliteran. Bersama rekan-rekannya, ia mampu membawa aliran kepercayaan memiliki wadah di daerah-daerah.
Pada Desember 1970, diselenggarakan Munas Kepercayaan I yang melahirkan Sekretariat Kerjasama Kepercayaan (SKK). Zahid bersama Arymurthy dan Soejipto menjadi pelaku sejarah dalam mengembangkan aliran kepercayaan di daerah-daerah nusantara.
Mulai dari SKK itulah, terbentuk kepengurusan Dewan Pimpinan Daerah di 11 daerah, yakni Jakarta, Bandung, Semarang, D. I Yogyakarta, dan Surabaya. Kemudian, daerah Kediri, Madiun, Ponorogo, Solo, Nganjuk dan Magelang.
Berdasarkan Perkembangan Paham Keagamaan Lokal di Indonesia, jumlah anggota Sumarah pada waktu itu sekitar 8.000 orang. Sementara di DI Yogyakarta, diperkirakan sejumlah 499 orang, terdiri dari 157 orang wanita dan 342 pria.
Ada beberapa hasil yang dicapai Zahid dalam memperjuangkan eksistensi aliran kepercayaannya. Posisi Zahid yang menjadi pengawal Suharto penting sebagai lobi-lobi kekuasaan di pemerintahan Orde Baru dalam menaungi aliran kepercayaan.
Pemerintah Orde Baru pun juga menyambut positif langkah Zahid dan kawan-kawan, ditandai dengan selalu ada sambutan Presiden Soeharto dalam setiap musyawarah nasionalnya. Pemerintah Orde Baru juga mewadahi mereka dengan memfasilitasi pengembangan organisasi tersebut.
Salah satu bentuk konkretnya adalah pengakuan negara terhadap aliran kepercayaan. Hal ini dibuktikan dengan terbitnya Tap MPR No.IV/MPR/l973 yang menyatakan pengakuan negara terhadap penghayat kepercayaan. Dengan demikian, agama dan kepercayaan masuk dalam status yang sejajar.
Zahid juga berkontribusi menjadi ketua pelaksana Musyawarah Nasional (Munas) II SKK di Purwokerto pada 1974. Bersama Arymurthy dan Soejipto, Zahid menghasilkan beberapa output dalam mengedepankan eksistensi aliran kepercayaannya.
Sebagai contoh, dibangunnya pendapa Sumarah yang terletak di tempat kediaman almarhum Sukirno Hartono. Pendapa Sumarah tersebut selain sebagai monumen peringatan ajaran Sumarah, juga berfungsi sebagai pusat kegiatan ritual dan organisasinya.
Kemudian, sinergi antar Lembaga. Terbentuknya SKK dapat menghimpun dan menyatukan potensi para penghayat Kepercayaan seluruh Indonesia. Kelak, SKK berubah nama lagi menjadi Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) di mana Zahid Hussein menjadi ketua umumnya pada tahun 1979 hingga 1989.
HPK kemudian bersinergi dengan Direktorat Pembinaan Penghayatan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Untuk diketahui, Direktorat Pembinaan Penghayatan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dibentuk pada tahun 1978. Lembaga ini bernaung di bawah Dirjen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (P&K).
Sinergi tersebut dimanfaatkan pemerintah Orde Baru untuk menyesuaikan aliran kepercayaan agar sesuai dengan Pancasila. Para penganut kepercayaan yang jumlahnya semakin meningkat itu tetap harus setia terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa, sila kesatu Pancasila.
HPK bersama Direktorat Pembinaan Penghayatan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa mengadakan kegiatan-kegiatan rohani. Dalam kegiatan itu, diketahui Direktorat Pembinaan Penghayatan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa menerbitkan beberapa publikasi.
Mengutip Skripsi Dinamika Paguyuban Sumarah di Surakarta pada 1970-1998, ada penerbitan 12 naskah seri pembinaan sebanyak 24 ribu eksemplar dari segi pembinaan. Sementara dari segi siaran, ada 12 naskah siaran Radio Republik Indonesia (RRI) dan 5 naskah siaran Televisi Republik Indonesia (TVRI).
Sejak saat itu, Zahid bersama Arymurthy menjadi tokoh spiritual dalam hal kebatinan. Mereka beberapa kali tampil di TVRI untuk memberikan ceramah-ceramah spiritual.
Tak Selalu Mulus
Seperti pribahasa tak ada gading yang tak retak, petualangan Zahid dalam mengeksistensikan aliran kepercayaan pun juga punya kekurangan. Tak selamanya apa yang dilakukan Zahid yang namanya kearab-araban, berjalan mulus.
Paul Stange dalam Kejawen Modern: Hakikat dalam Penghayatan Sumarah menganalisa, sebetulnya ada friksi dibalik duet perjuangan antara Zahid Hussein dan Arymurthy.
Soeharto, menurut Stange, menjadi dalang dari friksi itu. Pasalnya ketika tahun 70-an, Suharto terdesak oleh tekanan umat. Paul Stange mengatakan, Suharto mulai prihatin dengan kekuatan umat muslim yang ada saat itu, di tengah kondisi ekonomi Indonesia yang membaik.
Karena itu, Suharto mulai memberikan kenyamanan untuk umat Islam. Dana bantuan presiden (Banpres) disalurkan kepada pesantren-pesantren dengan iming-iming agar umat Islam bisa dekat dengan pemerintah.
Zahid yang kala itu menjadi pengawal Suharto pun dimanfaatkannya. Suharto menjadikan Zahid sebagai pihak yang menyalurkan dana-dana tersebut untuk umat. Dampaknya, aliran dana itu juga mengalir ke HPK miliknya, yang saat itu menjadi pimpinan organisasi.
Sementara, Arymurthy menurut Stange masih memperjuangkan advokasi untuk HPK secara idealis. Dia bersama rekan lain memperjuangkan hak orang-orang kebatinan untuk menunjukkan Ketuhanannya melalui pernyataan kartu penduduk ataupun perkawinan sebagai penghayat, tanpa keharusan supaya menyatakan “agama.”
Suharto mengetahui hal itu. Kemudian, ia perlahan-lahan mulai menyingkirkan Arymurthy. Mula-mula, tulis Stange, Suharto menghentikan Arymurthy dari pekerjaannya selaku Direktur Binhayat.
Setelah itu, Suharto menyingkirkan Arymurthy, menggantikannya dengan Zahid sebagai pimpinan utamanya di organisasi kebatinan HPK. Dengan demikian, Zahid menjadi ‘pemenang’ atas friksi tersebut.
Kendati hal tersebut masih dalam Analisa Stange, peran Suharto dalam mengeksistensikan aliran kepercayaan diakui Zahid. Hal itu terafirmasi dalam wawancara Tempo. Dalam wawancara tersebut, Zahid mengakui kinerja Suharto dalam menghimpun dan membina organisasi kebatinan.
“Pada tahun 1970, aliran penghayat kepercayaan dihimpun dan dibina oleh pemerintah. Jadi jika terjadi sesuatu yang kurang baik, ada yang bertanggung jawab,” lalu ia mengklaim, “Hingga saat ini jumlah penghayat kepercayaan ini ada jutaan.”
Selain itu, Zahid juga sempat diterpa isu miring, terkhusus ketika ia menjabat sebagai ketua HPK selama 10 tahun. Isu itu menerpa Zahid dan kelompoknya yang dituding ingin membentuk suatu agama baru oleh sejumlah pihak. Tudingan tersebut terjadi pada menjelang kegiatan Musyawarah Nasional (Munas) V HPK tahun 1989 di mana Zahid mulai melepas jabatannya.
Dalam arsip Antara (08/12/1989), Zahid menepis tudingan tersebut. Ia menegaskan, pihaknya tidak akan membuat agama baru. Sebab, kepercayaan yang diyakini oleh para penghayatnya itu memang bukan agama.
Ia melanjutkan, kepercayaan terhadap Tuhan YME merupakan keyakinan yang dilandasi oleh batin atau rohani. Para penghayatnya pun selama ini terdiri atas para penganut agama. Zahid memahami jika selama ini banyak orang yang salah mengartikan kepercayaan terhadap Tuhan YME, namun memaklumi hal tersebut.
“Karena tidak kenal maka tidak mengerti. Tetapi mereka yang belum mengerti itu lama-lama tentu akan mengerti juga,” katanya.
Menepis tudingan tersebut, ia menegaskan kembali, kepercayaan terhadap Tuhan YME tidak bisa diidentikkan dengan suatu tradisi atau adat masyarakat dari daerah-daerah tertentu yang berbentuk lahiriah. Bahkan, kepercayaan itu pula tidak identik dengan ilmu-ilmu klenik.
Namun, kepercayaan tersebut lebih menitikberatkan pada kegiatan doa dalam batin atau rohani dengan tujuan mencapai rasa kedamaian serta kebahagiaan.
Setelah Zahid melepas jabatannya pada Munas V tahun 1990, gaung dari HPK tak terlalu terdengar lagi. Laporan Koordinasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan Instansi Terkait menjelaskan, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) HPK secara organisatoris tidak banyak melakukan kegiatan.
Sehingga, para anggota HPK yang tersebar di daerah-daerah merasa tidak ada komunikasi antara daerah dan pusat maupun antar daerah dengan daerah lain. Kendati demikian, para pegiat HPK masih hendak membangkitkan kembali kepengurusan HPK melalui Munas VI pada 11-13 Oktober 2001.
Setelah Suharto jatuh pada reformasi 1998, isu miring HPK seperti yang terjadi pada 1989 kembali terulang. Sekelompok orang yang terhimpun dalam Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI) meminta kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) agar mencabut aliran kebatinan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dari GBHN 1998.
Mereka berpandangan, kebijakan itu berpotensi membentuk agama baru. Bagi KISDI, masih banyak penganut aliran kepercayaan yang ngotot bertahan dan menolak kembali ke agamanya masing-masing. KISDI khawatir kebijakan itu akan menimbulkan ekses buruk.
Menghadapi hal tersebut, Zahid meresponsnya dengan membantah pernyataan KISDI. Ia mengklaim aliran kepercayaan itu bukan membuat orang lari dari agamanya, tetapi justru membuat mereka semakin tekun beribadah.
“Ibaratnya, aliran kepercayaan memberi bekal orang beragama agar semakin dekat dengan Tuhan,” ungkapnya dalam arsip wawancara Tempo Apakah dengan Membunuh Organisasi, Aliran Kepercayaan Akan Mati itu.
Zahid justru mencoba membalikkan pernyataan KISDI, mereka tidak mengerti soal aliran kepercayaan.
“Inilah repotnya,” lalu ia melanjutkan, “Mereka yang meributkan kepercayaan kepada Tuhan biasanya tidak mengerti apa yang dimaksud dengan kepercayaan kepada Tuhan itu,” tandasnya. []