Zakat Fitrah, Berapa dan Kapan Dibayar ?
JAKARTA – Setiap memasuki bulan ramdhan, maka di dalamnya kita pasti mengenal zakat fitrah. Salah satu kewajiban yang harus ditunaikan oleh setiap umat Muslim yaitu zakat. Zakat fitrah adalah zakat pertama yang diwajibkan di bulan Ramadhan pada tahun kedua hijriyah. Secara bahasa fitrah adalah mensucikan diri atas badan atau jiwa dan secara istilah berarti sedekah wajib atas jiwa di Bulan Ramadhan sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia (al-lagh) dan kata-kata kotor (al-rafast).
Para ‘Amil di wilayah RW masing-masing sangat berperan penting dalam pengelolaan Zakat Fitrah ini baik melalui lembaga zakat yang resmi ataupun melalui mushalla dan masjid. Salah satu faktor keberhasilan dalam pengelolaan zakat fitrah adalah pemahahaman masyarakat akan zakat fitrah dan pengelolaannya yang baik. Karena itu penting memberikan pemahaman pengelolaan zakat fitrah harus menjadi perhatian para ‘amil zakat. Ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan oleh para ‘amil tentang zakat fitrah.
Ketentuan-ketentuan zakat fitrah yang harus menjadi perhatian para ‘amil dan muzakki adalah siapa yang wajib zakat, siapa yang berhak menerima zakat, apa yang dizakatkan dan berapa kadarnya. Mereka yang wajib zakat adalah setiap Muslim yang dalam banyak hadits telah dijelaskan bahwa zakat fitrah adalah wajib atas setiap Muslim baik orang yang bebas atau hamba sahaya, lelaki atau perempuan, dan anak atau dewasa. Ghina (berkecukupan) adalah syarat yang kedua dan belum banyak orang yang memahaminya sehingga perlu penjelasan lebih komprehensif.
Selama seseorang mempunyai lebih makanan lebih dari satu sha’ untuk memenuhi kebutuhan di malam hari ‘idul fitri, maka wajib membayar zakat fitrah dan masuk dalam kategori ghȃni (orang yang cukup). Nabi Muhammad Saw bersabda:
”Barang siapa meminta-minta, padahal dia memiliki sesuatu yang mencukupinya, maka sesungguhnya dia telah mengumpulkan bara api.” Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana ukuran mencukupi tersebut? Rasulullah SAW bersabda, “Seukuran makanan yang mengenyangkan untuk sehari semalam.” (HR: Abu Daud).
Permasalahan lain yang perlu menjadi perhatian di masyarakat perkotaan yang mayoritasnya banyak menggunakan tenaga para pembantu yang hidup bersama dengan satu keluarga. Sebaiknya, zakat fitrahnya menjadi tanggung jawab majikan, karena terkadang mereka lupa disibukkan dengan acara rutinan mudik ke kampung. Selain itu juga mereka telah hidup bersama dengan majikan dengan waktu yang lama di suatu daerah tertentu. maka sebagian pendapat ulama, pembantu wajib dibayarkan zakat fitrahnya oleh majikannya.
Diantara hikmah zakat yang dikemukakan oleh Wahbah Zuhaily, secara umum menghilangkan kesenjangan penghasilan dan rizki mata pencaharian dikalangan manusia merupakan kenyataaan yang tidak bisa dipungkiri, seperti firman Allah SWT dalam surah al-Dzariyat ayat 19 :
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”
Orang miskin yang tidak mendapat bagian Maksudnya ialah orang miskin yang tidak meminta-minta. Secara terperinci bahwa hikmah zakat adalah:
Menyucikan jiwa manusia dari sifat keji, kikir, pelit, rakus, dan tamak.
Zakat bisa membersihkan dan menyucikan orang yang menunaikannya karena zakat membersihkan akhlaknya dan menyucikan serta membersihkan jiwanya dari rasa bakhil dan berbagai akhlak tercela. Zakat juga menumbuh kembangkan akhlaknya sehingga dia akan memiliki sifat-sifat orang yang dermawan, yang suka berbuat baik dan yang pandai bersyukur. Zakat diantara indikasi nyata rasa syukur seseorang kepada Allâh Swt, sementara dengan syukur, nikmat akan terus bertambah.
Zakat juga menumbuhkan kembangkan pahala dan ganjaran orang yang melakukannya. Karena zakat dan nafkah dilipatkan gandakan pahalanya beberapa kali sesuai kadar keimanan, keikhlasan orang yang nelakukannya, sesuai manfaat dari zakat itu sendiri serta ketepatan sasarannya.
Zakat juga melapangkan dada, memberikan kebahagiaan, menyelamatkan hamba dari berbagai macam bencana dan penyakit.
Memberikan pertolongan bagi orang-orang fakir miskin yang sangat memerlukan bantuan.
Seperti firman Allah Swt dalam surah Al-Maidah ayat 2 :
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”19
Ada sebuah do’a yang diajarkan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang isinya: Allahumma inni as-aluka fi’lal khoiroot wa tarkal munkaroot wa hubbal masaakiin … (Ya Allah, aku memohon kepada-Mu untuk mudah melakukan kebaikan dan meninggalkan kemungkaran serta aku memohon pada-Mu sifat mencintai orang miskin). Dari do’a ini saja menunjukkan keutamaan seorang muslim mencintai orang miskin.
Mendorong orang untuk bekerja keras agar mampu memberikan zakat pada orang yang membutuhkan, serta kepedulian orang kaya terhadap orang miskin.
Dalam firman Allah SWT surah al-Hasyr ayat 7:
“Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. “21
Merupakan perwujudan syukur atas harta yang dititipkan kepada seseorang.
Allah SWT. memberikan nikmat kepada kita adalah untuk menguji apakah kita bersyukur atau tidak, jika kita bersyukur maka Allah akan melipatgandakannya, sebaliknya, jika kita mengkufurinya maka sesungguhnya siksaan pedih yang akan kita dapatkan.
Allah SWT. berfirman: “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7).
Diantara nikmat Allah yang terbesar adalah nikmat kesehatan dan kekayaan sebagai modal beribadah kepada Allah SWT.
Menghilanghkan sifat kebakhilan atau kekikiran dengan perwujudan zakat.
Sebagaimana hadits Rasulullah Saw :
Dari Anas bin Malik ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, sifat pengecut, pikun, bakhil, dan aku berlindung kepada-Mu dari azab kubur dan fitnah hidup dan mati.” (HR. Muslim). Wallahu a’lam. []