April 27, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Hamil Menjadi Alasan PRT Asing Bertahan di Hong Kong

6 min read

HONG KONG – Seiring dengan semakin tuanya rata-rata usia warga Hong Kong, semakin banyak pula diperlukan pekerja rumah tangga asing untuk mengurus kaum manula. Menurut statistik Pemerintah Hong Kong, saat ini ada sekitar 340.000 pekerja rumah tangga asing di Hong Kong. Dari jumlah itu, lebih dari 95% di antara mereka adalah perempuan.

Jumlah itu diperkirakan masih akan bertambah. Kantor Tenaga Kerja Hong Kong mengatakan bahwa setelah 30 tahun, diperkirakan akan ada 600.000 pekerja rumah tangga asing di Hong Kong untuk mengurus keluarga atau individu yang membutuhkan. Namun, banyak analisis menunjukkan bahwa ketika Hong Kong semakin tergantung pada perempuan pekerja rumah tangga asing, kehamilan menjadi masalah penting.

Lily (bukan nama sebenarnya), mantan pekerja rumah tangga dari Indonesia, menuturkan kepada BBC Chinese tentang pengalamannya.

 

Melahirkan di Hong Kong

“Saya bertemu dengan mantan majikan perempuan di jalan. Dia melihat saya menggendong seorang bocah perempuan dan bertanya kepada saya,”Mengapa kamu masih di Hong Kong? Mengurus keluarga orang lain?”

“Saya hanya mengatakan beberapa patah kata, karena dia tidak tahu bahwa bocah itu sebenarnya adalah putri saya, dan putri saya satu sekolah dengan putrinya, kelas yang sama,” kata Lily sembari tersenyum.

Lahir pada 1980, dari sebuah desa di Indonesia, Lily fasih berbahasa Kanton dan China sederhana. Dia pernah bekerja di Taiwan selama bertahun-tahun. Setelah kembali ke kampung halamannya, 10 tahun lalu dia merantau ke Hong Kong.

Selama beberapa tahun pertama di Hong Kong, Lily berganti empat majikan dan akhirnya menjadi pekerja ilegal. Menurutnya, dia melarikan diri dari kekerasan fisik majikan keempat. Untuk mencari nafkah, dia dicarikan pekerjaan di restoran oleh seorang teman.

“Pada waktu itu, majikan perempuan saya melahirkan seorang anak dan memiliki masalah emosional. Mudah marah. Sedikit tidak senang, dia berteriak kepada saya. Ketika dia marah, dia mengambil gantungan baju dan memukuli saya,” tutur Lily

“Majikan laki-laki telah meminta maaf kepada saya. Saya mengerti bahwa suasana hati majikan perempuan sedang buruk dan ingin saya bersabar. Tetapi setelah sekitar satu tahun, saya tidak tahan dipukuli dan memutuskan untuk melarikan diri,” tambahnya.

Setelah kabur dan bekerja di restoran, Lily dikenalkan kepada seorang pria Hong Kong. Dia berpikir bahwa hubungan ini akan langgeng. Tetapi beberapa minggu kemudian, pacarnya menghilang entah ke mana.

Beberapa bulan berselang, Lily menyadari dirinya hamil, tetapi pada saat yang sama dia juga dilaporkan bekerja secara ilegal. Karena kehamilannya, Layanan Imigrasi Hong Kong tidak segera memulangkan Lily ke Indonesia.

Seorang teman memperkenalkannya ke lembaga amal Pathfinders guna meminta bantuan. Pada 2012, Lily melahirkan putrinya di Hong Kong.

Lily mengatakan bahwa lembaga amal Pathfinders membantunya menemukan ayah dari anaknya sekaligus memastikan melalui pengadilan bahwa pria itu memang berhubungan darah dengan sang bocah. Hal ini dilakukan agar putrinya mendapatkan hak tinggal di Hong Kong.

Lily sendiri memegang kartu identitas sementara (sebuah dokumen yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hong Kong kepada orang yang “menunggu deportasi” atau “deportasi”).

Dengan demikian, Lily bakal dipulangkan ke Indonesia sewaktu-waktu. Setiap tahun, Departemen Imigrasi akan memeriksa situasi Lily dan memutuskan apakah akan membiarkannya tinggal lebih lama.

Lily sejatinya tidak ingin kembali ke Indonesia. Alasannya, di kampung halamannya, warga tidak akan mentolerir perempuan hamil yang belum menikah. Jika dia pulang, menurut Lily, kemungkinan dia tidak diperlakukan dengan baik.

Lily mengatakan dia tahu kesulitan yang harus dia hadapi setelah melahirkan putrinya di Hong Kong. Namun, dia tetap merasa bingung ketika hamil, sulit untuk berpikir keras.

Beberapa kali dia sempat terpikir untuk bunuh diri, terutama setelah mendengar berita orang tuanya meninggal di Indonesia. Air mata Lily mengalir ke pipinya saat dia menuturkan hal itu.

Lily mengatakan bahwa biaya hidup untuk dia dan anaknya ditanggung oleh organisasi masyarakat sipil dan badan amal. Putrinya berperilaku sangat baik dan mampu belajar dengan baik di sekolah. Dia berterima kasih kepada teman-teman di Hong Kong yang telah membantu.

 

Kehamilan pembantu rumah tangga asing

Lembaga amal Pathfinders mengaku telah melayani lebih dari 6.000 pekerja rumah tangga asing dalam 10 tahun terakhir, sebagian besar berasal dari Indonesia atau Filipina. Layanan ini secara khusus membantu para pekerja rumah tangga asing menghadapi berbagai masalah medis atau hukum sebelum dan setelah kehamilan.

Direktur Layanan Jessica Chow mengatakan bahwa banyak pekerja rumah tangga asing sering memiliki banyak kesalahpahaman dan bahkan memunculkan perselisihan karena mereka atau majikan mereka tidak paham tentang hukum.

Jessica Chow mengatakan bahwa sebagian besar pekerja rumah tangga asing akan memilih untuk melahirkan anak di Hong Kong. Tetapi ada juga 5% kasus, di mana mereka memilih untuk menggugurkan janin.

Pekerjaan lembaga Pathfinders adalah menyediakan dana medis dan arahan di bidang hukum. Selain itu, lembaga tersebut memberikan pengetahuan mengenai kontrasepsi dan perawatan kehamilan. Ragam layanan ini begitu penting lantaran para pekerja rumah tangga asing yang mengandung kerap mengalami tekanan fisik dan mental, sehingga mempengaruhi kesehatan janin.

Pathfinders mengatakan kepada wartawan bahwa situasi semakin rumit ketika pekerja rumah tangga asing, yang tidak memahami aturan hukum di Hong Kong, khawatir bahwa mereka akan diberhentikan atau dikeluarkan dari negara tersebut karena hamil. Apalagi, ada tekanan dari warga di kampung halaman mereka yang tidak membiarkan perempuan hamil di luar nikah.

Dihadapkan pada situasi tersebut, tak jarang pekerja rumah tangga asing yang memilih untuk melarikan diri dan tinggal di Hong Kong secara ilegal. Jika sang pekerja rumah tangga melahirkan anak, baik dia maupun anaknya tidak mendapat akses medis dan kesejahteraan di Hong Kong sehingga kondisi kehidupan akan sangat buruk.

 

Pendapat majikan

Hong Kong memberikan cuti hamil selama 10 minggu kepada pembantu rumah tangga asing yang telah bekerja di Hong Kong lebih dari 40 pekan. Pekerja rumah tangga asing tersebut akan mendapat surat izin dari dokter sampai akhir cuti hamil dan majikan tidak dapat memecatnya. Akan tetapi, banyak majikan di Hong Kong menilai aturan ini bermasalah bagi mereka.

Beberapa majikan mengatakan bahwa begitu seorang pembantu rumah tangga asing diberikan cuti hamil selama 10 minggu, tidak ada yang merawat penghuni rumah, terutama anggota keluarga yang sakit di tempat tidur atau orang tua yang tinggal sendirian.

Dalam forum diskusi online terkenal di Hong Kong, sejumlah majikan mengeluh bahwa pekerja mereka tidak mau melakukan pekerjaan yang terlalu berat setelah lima bulan kehamilan. Mereka mengira para pekerja itu malas. Ada juga majikan yang tidak puas dengan pekerja rumah tangga asing yang punya pacar di Hong Kong, atau kehamilan yang “memengaruhi pekerjaan”.

Di Hong Kong, yang luas wilayahnya kecil, hunian tergolong sempit. Umumnya majikan tidak punya ruang bagi pembantu rumah tangga asing yang membawa serta bayi mereka.

Raees Begum Baig, asisten profesor kajian layanan sosial di Chinese University of Hong Kong, mengatakan kepada BBC bahwa dia dapat memahami pendapat majikan tentang kehamilan pembantu rumah tangga asing.

Tetapi, menurutnya, pemerintah Hong Kong harus menyediakan lebih banyak layanan kesejahteraan sosial, seperti pusat penitipan anak atau layanan masyarakat, alih-alih membiarkan majikan dan pekerja rumah tangga asing saling menyalahkan.

Dia menjelaskan bahwa kekerasan seksual atau diskriminasi rasial yang dihadapi pembantu rumah tangga asing tidak jarang. Komite PBB tentang Penghapusan Diskriminasi Ras pada 2018 menunjukkan bahwa masih ada banyak masalah diskriminasi rasial di Hong Kong.

Hasil penelitian yang diterbitkan oleh Pusat Migrasi dan Mobilitas Penduduk Chinese University of Hong Kong pada Februari tahun ini menunjukkan bahwa 43,9% pekerja rumah tangga asing aal Filipina dan Indonesia yang bekerja di Hong Kong pada tahun sebelumnya tidak memiliki kamar pribadi.

Kemudian, penelitian menunjukkan dan 70,6% dari jam kerja melebihi 13 jam per hari. Lalu 3,9% dari pembantu rumah tangga asing mengatakan mereka telah dipukuli oleh majikan.

 

Memerangi perdagangan manusia

Menurut laporan kerja kelompok-kelompok migran Hong Kong, banyak pekerja yang melarikan diri telah terlibat dalam narkoba, organisasi perdagangan seks, atau kelompok perdagangan manusia. Organisasi Hak Asasi Manusia Internasional Walking Freedom Foundation merilis “Indeks Perbudakan Global 2018” bagi pemerintah global untuk menangani masalah budak modern.

Hong Kong berada di peringkat ketiga dari urutan terakhir. Di Asia, hanya Korea Utara, Hong Kong, dan empat pemerintah lainnya yang belum memberlakukan undang-undang khusus tentang perdagangan manusia. Namun, pemerintah Hong Kong berdalih bahwa mereka memiliki lebih dari 50 undang-undang untuk memerangi perdagangan manusia.

Lembaga amal Pathfinders mengatakan bahwa pekerjaan mereka diprioritaskan untuk hak kesehatan anak-anak. Penampungan jangka pendek yang didirikan oleh organisasi itu juga mencari bantuan medis serta mengumpulkan makanan dan persediaan bayi dari pemerintah dan sektor swasta.

Beberapa kelompok migran juga melobi pemerintah Hong Kong untuk mengembangkan undang-undang dan kebijakan yang lebih komprehensif, seperti lebih banyak tempat penitipan anak, cuti hamil, dan pemberian penyuluhan untuk mendukung pekerja rumah tangga dan majikan, dan pada saat yang sama memerangi perdagangan manusia.

Selain itu, perwakilan lembaga-lembaga itu juga menghadiri seminar pendidikan hukum, medis, dan seks di komunitas atau konsulat di Indonesia atau Filipina.

“Tujuannya adalah untuk membuat setiap anak di Hong Kong tumbuh secara adil dan bermartabat,” sebut lembaga Pathfinders. [BBC]

Advertisement
Advertisement