Istriku Kecanthol Lelaki Mirip Ariel Noah (Curhat Suami PMI Hong Kong Asal Jenangan Ponorogo )
“Mas saya sedang menghadapi masalah disini dan hanya saya yang bisa menyelesaikan masalah ini dari sini” begitulah pesan terakhir yang disampaikan oleh istriku pada lima silam.
Sebut saja Yuni, perempuan yang berasal dari tetangga kecamatan yang aku nikahi sejak 8 tahun silam. Belum genap setahun kami menikah, hadir di tengah-tengah kami seorang anak perempuan buah cinta kami berdua. Sebagai pasangan baru, tentu segala sesuatunya masih serba merintis. Termasuk merintis membangun pondasi ekonomi rumah tangga kami.
Rumah tangga kami saat itu memang belum mandiri dalam beberapa hal. Setidaknya aku masih menumpang di rumah orang tuaku sebagai tempat tinggalku bersama istri dan anak kami dan memang kedua orang tuaku menginginkan rumah tangga kami tinggal bersama mereka lantaran aku adalah anak tunggal. Penghasilan kami saat itu sumber utamanya adalah dari sebagian aset kedua orang tuaku, salah satunya beberapa bidang sawah yang pengerjaannya diserahkan kepadaku serta beberapa sumber lain.
Istriku yang sebelum aku nikahi pernah merasakan bekerja di luar negeri, beberapa bulan setelah anak kami lahir merasa tidak betah berdiam diri di rumah lantaran merasa tidak produktif. Istriku mengemukakan keinginannya untuk kembali bekerja ke luar negeri mencari modal masa depan rumah tangga kami. Berbagai pengertian aku berikan agar istriku tidak usah bekerja ke luar negeri, namun sifatnya yang keras memaksa aku berikut kedua orang tuaku untuk mengalah merelakan Yuni berangkat bekerja ke Hong Kong, meskipun berat, meskipun sebenarnya untuk memenuhi kehidupan sehari-hari pemasukan kami sudah cukup. Namun Yuni menginginkan kami bisa bikin rumah sendiri, meskipun kelak rumah itu peruntukannya untuk anak-anak kami serta ingin memiliki modal untuk membuka usaha agar sehari-hari dia merasa produktif.
Yang membuat aku melepas Yuni, salah satu pernyataan yang disampaikan Yuni padaku adalah, meskipun nanti bisa bikin dan punya rumah sendiri, meskipun nanti punya aset usaha sendiri, dia berjanji akan tetap ikut aku tinggal bersama kedua orang tuaku, menjadi sandaran hari tua kedua orang tuaku. Bahkan dia menegaskan kalau dia sangat memahami kondisiku sebagai anak tunggal.
Sesampai Yuni di Hong Kong pada tahun 2008, dia langsung mengabarkan tentang keberadaannya di Hong Kong. Bahkan selesai masa potongan gaji dia lewati, antara bulan ke delapan hingga bulan ke 23 dia bekerja di dua tahun pertama, setiap bulan uang gajinya selalu dia kirimkan pulang. Karena niatan awal, dia bekerja di Hong Kong adalah untuk memiliki rumah sebagai target pertama, maka seluruh uang kiriman Yuni tidak sepeserpun kami nikmati untuk di makan atau memenuhi kebutuhan sehari-hari lainnya di rumah. Seluruh uang kiriman aku kumpulkan, kemudian mendekati genap dia bekerja dua tahun pertama, hasil pengumpulan tersebut aku wujudkan menjadi sebuah pondasi rumah yang posisinya di depan rumah kedua orang tuaku saat ini.
Sebagai bentuk perhatian, kedua orang tuaku menambahi hasil kerja istriku dengan sejumlah biaya sehingga bangunan tersebut benar-benar berdiri menjadi sebuah rumah meskipun masih sangat apa adanya. Dengan bahagia aku menyampaikan kabar ini kepada istriku “rumah kita telah berdiri”. Beberapa lembar foto perwujudan rumah aku kirimkan ke istriku dengan harapan dia bisa ikut melihat meskipun hanya dalam foto.
Kira-kira sebulan sebelum jadwal kepulangan istriku menikmati liburan untuk pulang ke kampung kami, tiba-tiba istriku mengabarkan bahwa dia tidak jadi pulang karena harus ngurus kontrak kerja yang baru. Setelah itu, istriku tidak pernah menghubungi aku lagi sampai sebulan kemudian, tiba-tiba istriku menelpon aku menyampaikan bahwa dia sedang menghadapi masalah berat di Hong Kong, dan hanya dia sendiri yang bisa mencari jalan keluarnya, kemudian sambungan telpon ditutup.
Aku yang terkesima mendengar kalimat istriku tersebut berusaha menelpon balik, namun nomer telpon istriku masih tidak aktif, sampai berkali-kali aku melakukan panggilan, tetap saja tidak aktif. Bahkan sms yang aku kirimpun beberapa hari kemudian aku ketahui tidak terkirim.
Karena Wabah SARS, Mantan PMI Hong Kong Menjadi Praktisi Akupuntur
Sembari memendam beribu pertanyaan, aku berusaha menenangkan diri dan tetap tenang tidak menceritakan kepada siapapun pernyataan yang disampaikan oleh istriku agar tidak membebani pikiran kedua orang tuaku, kedua mertuaku dan mungkin juga akan berakibat baik langsung maupun tidak langsung kepada anak perempuanku. Seminggu, sebulan, setahun bahkan sampai beberapatahun, istriku tetap tidak ada kabarnya. Nomer istriku juga telah mati.
Setiap tetangga kami sekampung yang aku tahu nomer HP nya seluruhnya aku tanyai perihal istriku, namun tak satupun dari mereka yang mengetahui dimana dan bagaimana keadaan istriku. Setiap malam kutumpahkan sesak didadaku kepada Allah SWT. Aku selalu memanjatkan doa untuk kebaikan istriku. Aku memohon agar dimudahkan untuk bertemu istriku dalam keadaan apapun.
Beban batinku menjadi semakin berat, saat anak perempuanku pada perkembangannya menyadari kalau ibunya pergi bekerja ke Hong Kong kemudian hilang kabarnya. Aku yang saat sebelumnya bisa dan biasa meninggalkan anakku dalam pengasuhan kedua orang tuaku untuk bekerja dari pagi hingga petang hari, menjadi kesulitan untuk melakukan rutinitas tersebut. Anakku sebenarnya tidak melarang aku bekerja, tapi dia menjadi tidak mau pergi ke sekolah dan hanya duduk di teras rumah dari pagi hari sampai petang hari sampai aku pulang kembali ke rumah. Perasaanku hancur, pedih, sesak bercampur menjadi satu. Aku menyadari kekhawatiran anak perempuanku karena dia tidak ingin kehilangan aku. Bersambung halaman selanjutnya >>> KLIK DISINI