April 27, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Pak Harto : “Membawa Bendera Republik, Garuda Harga Diri Bangsa”

6 min read

JAKARTA – Bobroknya kinerja Garuda Indonesia dibawah kepemimpinan eks dirut Ari askhara patut disayangkan. Karena jika saja Ari Askhara tak berbuat amoral maka Garuda Indonesia bisa ia bawa ke level lebih tinggi.

Namun harta, tahta dan tentunya si gundik membuatnya lupa daratan. Kasus ini dinilai telah merugikan pihak Garuda ataupun juga Negara Indonesia. Ternyata tak hanya kali ini saja, melansir dari Historia, Garuda Indonesia pernah nyaris bangkrut karena utang yang besar kepada para keditur asing.

Utang dalam dolar digunakan untuk menutupi kerugian selama tujuh tahun maskapai penerbangan nasional itu. Kondisinya menjadi sangat parah ketika krisis ekonomi pada 1998.

Nilai tukar rupiah meroket menjadi Rp 15.000 per dolar Amerika Serikat. Presiden Soeharto menugaskan Menteri BUMN pertama, Tanri Abeng, untuk menyelamatkan Garuda.

“Ini tentang Garuda yang akan dibangkrutkan oleh krediturnya. Tugas saudara menyelamatkan agar Garuda tidak di–grounded karena Garuda membawa bendera Republik,” kata Soeharto.

Soeharto menyerahkan map berisi berkas Garuda kepada Tanri Abeng. Setelah mempelajari berkas itu, dia menyimpulkan bahwa tidak satu pun dari direksi Garuda saat itu yang tahu akar permasalahannya. Maka seluruhnya harus diganti. Namun, Dirutnya mantan ajudan Soeharto.

Konon tidak ada yang bisa menggeser mantan ajudan yang ditugaskan Pak Harto di suatu tempat. Ternyata, Soeharto menyetujui pergantian semua direksi Garuda.

“Mengapa hanya dirutnya? Ganti seluruh direksi, di situ sudah lama ada mafia,” kata Soeharto yang menyerahkan sepenuhnya perombakan direksi Garuda kepada Tanri Abeng.

Tunjuk Robby Djohan jadi Dirut Garuda

Dalam “No Regrets”, Tanri Abeng menyebut tiga kriteria dalam memilih Dirut Garuda yang baru.

Pertama, agar keuangannya tidak berdarah–darah lagi, maka dia harus tahu keuangan. Kalau bisa dia berasal dari perbankan. Orangnya harus kredibel agar dapat dipercaya kreditur.

Kedua, dia harus jujur agar dapat memberantas KKN

Ketiga, kepribadiannya harus kuat karena dia harus melakukan perubahan.

“Kriteria itu hanya ada di Robby Djohan,” kata Tanri Abeng yang telah mengenalnya selama 20 tahun.

“Robby ketika saya tawari posisi tersebut menyatakan bahwa dia tak butuh kerjaan karena dia sudah kaya dan ingin pensiun.”

Tanri Abeng membujuknya.

Robby bersedia dengan dua syarat,“Beri saya kewenangan mengambil orang–orang yang saya mau dan kasih waktu enam jam per hari.”

Tanri Abeng menyetujuinya dengan mengatakan, “Anda butuh enam, dua atau dua puluh jam sehari terserah asal pekerjaan selesai.”

Menurut Rhenald Kasali dalam “Change!” Robby sendiri mengakui tak tahu apa–apa tentang bisnis penerbangan.

Satu–satunya pengalaman yang dia miliki hanyalah menjadi penumpang. Selebihnya dia menghabiskan hidupnya di dunia perbankan (Bank Niaga) dan perhotelan. Wajar saja dia risau.

Apalagi utang Garuda saat itu telah mencapai 1,2 miliar dolar, lebih besar dari seluruh asetnya.

Selain itu, Garuda memiliki karyawan hampir 13.000. Padahal kebutuhannya hanya sekitar 6.000 orang. Banyak rute yang tidak produktif, sepi penumpang tetapi dibiarkan bertahun–tahun. Citra pelayanannya buruk, sering delay tanpa pemberitahuan.

Sehingga Garuda diplesetkan sebagai “Garuda Always Reliable Until Delay Announced”.

“Singkatnya, Garuda telah salah urus,” tulis Rhenald.

Menurut Roby Djohan dalam bukunya, “The Art of Turn Around”, manajemen Garuda tidak pernah diurus secara profesional; pengangkatan CEO tidak berdasarkan keahlian manajerial, keputusan–keputusan strategis tidak diambil oleh direksi tapi oleh siapa saja dari Cendana, BPPT, Menteri Perhubungan, atau Menteri Keuangan.

Akibatnya, banyak kontrak aneh.

Misalnya, pesawat Airbus 330 disewa dengan harga 1,2 juta dolar padahal hasilnya paling tinggi 800 ribu dolar. Belum lagi perilaku para direksi sebelumnya yang mencampuradukkan keperluan bisnis dengan keperluan pribadi.

Pada hari–hari pertama kerja, Robby disambut dengan demonstrasi karyawan Garuda.

Kepada mereka yang menamakan diri Tim Reformasi, Robby mengatakan, “Kesulitan utama memang adalah tidak adanya acceptance, karena organisasi seperti ini biasanya sudah dikuasai oleh establishment yang kuat.

Sulit bagi mereka menerima seorang stranger yang dianggap belum tentu mampu dan jangan–jangan akan membubarkan establishment yang sudah dibangun. Tapi saya tidak mau mundur.

Saya malah menyatakan bahwa Garuda sebenarnya sudah bangkrut dan saya di sini akan berusaha memperbaikinya.”Robby meminta Tim Reformasi atau serikat pekerja tidak ikut campur soal manajemen.

Soal kesejahteraan diselesaikan bersama. Tim Reformasi akhirnya tak terdengar lagi. Malahan juru bicaranya belakangan menjadi teman yang baik dalam pembenahan manajemen. Terkejut Garuda Untung Ratusan Miliar

Menurut Tanri Abeng, untuk menerbangkan Garuda agar bertahan di udara, Robby butuh uang Rp 800 miliar untuk rasionalisasi karyawan. Dia berjanji selama satu tahun uang akan kembali.

Kendati dalam kondisi yang sangat sakit, Robby Djohan secara mengejutkkan bisa memperbaiki kinerja Garuda setelah genap tiga bulan mengambil alih kepemimpinan. Melansir dari Kompas.com, dalam laporan yang dirilis, Garuda Indonesia pada Agustus bisa meraup laba Rp 200 miliar.

Banyak yang tidak percaya mengingat selama bertahun–tahun, BUMN ini terkenal selalu merugi.

“Untung! “Uangnya benar ada, bukan rekayasa,” kata Robby ketika ditemui di ruang kerjanya menanggapi respons sumir publik saat ini.

Robby menjelaskan, perolehan laba tersebut sebenarnya bukan hal istimewa. Sebab, pada bulan peak season Agustus–September, umumnya Garuda Indonesia memang selalu untung dari penerbangan internasional. Rata–rata pada bulan peak season itu, load factor Garuda mencapai 87 persen dibandingkan dengan 55–60 persen pada bulan–bulan lain.

Dari pendapatan jalur internasional kedua bulan tersebut, bila dikurskan dengan nilai dollar yang sedang meroket (waktu itu), laba Garuda memang jadi lumayan besar sampai Rp 200 miliar.

Namun, diingatkan pada bulan low season, load factor Garuda hanya berkisar 40–55 persen sehingga angka musim peak season bukanlah patokan.

Diakuinya bahwa dirinya bukanlah pesulap yang dapat mengubah Garuda langsung meraup untung seketika.

Keberanian juga dibutuhkan untuk menghadapi kreditur. Sebagai bankir, Robby tahu caranya memperlakukan debitur–debitur saat mengalami kesulitan membayar.

Dengan Emirsyah Satar, direktur keuangannya yang juga seorang bankir, dia berangkat ke London untuk berbicara dengan Bank Exim negara–negara Eropa.

“Benar saja, mereka langsung menggebrak, mengintimidasi dengan suara keras, dan mengancam akan menyita pesawat A330 yang disewa,” tulis Rhenald.

Dengan tenang, Robby menjawab, “Saya datang bukan untuk memecahkan masalah saya tapi masalah Anda. Alasan utama mengapa Garuda kolaps adalah karena bank–bank internasional memberikan pinjaman kepada Garuda yang neraca keuangannya defisit. Dari pengalaman saya selama 30 tahun di bank, saya tidak dapat memahami itu. Dan jika Anda ingin mengambil kembali pesawat Anda, silakan lakukan karena tidak produktif bagi kami.”

“Negosiasi berlangsung alot awalnya, tapi Robby dan Emirsyah Satar tak mau mundur. Dia hanya mau membayar pinjaman dalam tempo 16 tahun dengan bunga satu persen di atas SIBOR (Singapore Interbank Offered Rate). Keras, tapi bisa berakhir dengan baik,” tulis Rhenald.

Tak sampai setahun Robby memimpin, Garuda selamat dari kebangkrutan. Baginya, restrukturisasi berarti membuang yang jemu–jemu dengan melakukan perubahan–perubahan mendasar.

Kepemimpinan, proses manajemen dan operasional, pemasaran, dan sebagainya diubah secara bersamaan.

“Namun, sekarang Garuda sudah enak, sudah gampang. Enggak ada lagi KKN keluarga Soeharto segala itu,” lanjut Robby di tengah acara penyerahan enam pesawat baru Boeing 737–300/–500 pada 2 Januari 1999.

Lanjutnya, fungsi manajemen bisa berjalan dengan benar. Program golden handshakes (pensiun dini) pun berjalan dengan lancar sehingga perumahan tahap pertama 1.596 tenaga kerja, dengan total pesangon Rp 110 miliar berlangsung mulus.

Estafet Dirut ke Abdul Gani

Karena manajemen Garuda sudah bisa keluar dari kesulitan, Tanri Abeng memutuskan untuk menarik Robby kembali ke habitatnya di perbankan.

Tanri Abeng.

Dia meminta Robby untuk memimpin proses merger empat bank bermasalah.

“Ketika saya tawarkan posisi ini ke Robby, dia tak mau kembali ke dunia perbankan. Dia sudah terlanjur kecantol cantik–cantiknya pramugari Garuda,” kata Tantri Abeng.

Namun, akhirnya Robby menerima tantangan untuk memimpin proses mega merger jadi Bank Mandiri.

Estafet dirut ke Abdul Gani Setelah kondisi Garuda mulai perlahan membaik, posisi Dirut beralih mulus kepada Abdul Gani, yang tentunya dengan persetujuan Tanri Abeng.

“Pak Gani sama saya sudah berkompetisi (di perbankan) selama 30 tahun. Jadi, saya tahu bahwa dia itu enggak orang enteng!” kata Robby Djohan mengenai penggantinya.

Saat itu, kata Tanri Abeng, kredibilitas Garuda sudah mulai pulih sehingga Bank Exim AS dan pabrik Boeing serta Pemerintah Indonesia sendiri mendukung pengadaan Boeing 737 senilai 368 juta dollar AS.

Pengadaannya merupakan refleksi dari kredibilitas direksi dan dewan komisaris Garuda yang baru.

Memuji direksi dan dewan komisaris Garuda, Tanri Abeng mengatakan, pengadaannya tidak mungkin kalau tanpa kredibilitas yang dibangun oleh Garuda Indonesia.

Kredibilitas memang kata kuncinya seperti pernah diucapkan Wiweko Soepono, mantan direktur utama yang pernah memegang kendali Garuda selama 16 tahun (1968–1984)[]

Berbagai sumber

Advertisement
Advertisement