April 26, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Penganiayaan Audrey, Antara Cinta Monyet dan Tayangan Tak Mendidik

7 min read

JAKARTA – Bagi sebagian remaja, drama dan konflik yang disebabkan oleh cinta seolah hal yang biasa. Drama asmara remaja sering kali terlihat dalam tayangan televisi ataupun pada layar lebar. Berbagai macam bentuk konflik yang dihadirkan dalam sejumlah tayangan seolah menjadi legitimasi bahwa konflik antar remaja karena cinta adalah hal biasa dan dapat diterima.

Misalkan saja adegan melabrak dalam tayangan televisi. Adegan ini biasanya ditandai dengan seorang atau sekelompok remaja putri yang mendatangi remaja putri atau kelompok lainnya. Dalam adegan itu biasanya berisi dengan kata-kata perundungan (bullying) untuk mengganggu psikologi lawannya.

Penyebab aksi perundungan yang digambarkan dalam tayangan televisi seperti ini bisa bermacam-macam. Boleh jadi persoalan eksistensi antar geng (kelompok), persoalan pertemanan, atau bahkan cinta monyet yang lengkap dengan bumbu drama asmara.

Sedikit banyak penayangan seperti itu dapat menjadi model yang ditiru oleh anak-anak yang menyaksikannya. Walaupun bisa jadi tayangan seperti itu juga adalah potret yang memang marak terjadi di tengah-tengah kehidupan remaja di Indonesia, atau bahkan di dunia.

Perkembangan media sosial pun turun mengambil peranan dalam dunia sosial anak dan remaja. Kemudahan untuk mengekspresikan perasaan, menunjukkan eksistensi diri dan kelompok menjadi salah satu daya tarik media sosial. Termasuk mengekspresikan romantisme ala remaja pun sering kali terlihat di media sosial.

Tayangan negatif baik di televisi maupun di layar lebar dan penggunaan media sosial yang salah seolah saling berkait yang berdampak pada karakter anak. Terlebih, dalam urusan perasaan, remaja biasanya ingin mengekspresikan apa yang mereka rasakan sebebas mungkin, yang kemudian berujung pada konflik dengan remaja lainnya.

Terbaru, aksi perundungan di kalangan remaja dialami oleh remaja bernama Audrey. Siswi SMP ini menjadi korban penganiayaan oleh sejumlah remaja SMA. Di lokasi penganiayaan terdapat 12 orang remaja SMA di mana tiga di antaranya diduga kuat sebagai pelaku penganiayaan. Sementara sembilan orang lainnya ikut menyaksikan ketika Audrey dibully, dianiaya oleh para pelaku.

Audrey, bocah berusia 14 tahun itu kini terbaring lemah di rumah sakit. Ia harus memulihkan kondisi fisiknya yang mengalami sejumlah luka akibat penganiayaan. Belum lagi kondisi psikisnya yang begitu terpukul karena aksi keji para pelaku. Polisi menyatakan bahwa pihaknya tengah menangani kasus ini.

Berdasarkan pemberitaan di sejumlah media massa dan informasi yang beredar di media sosial, diketahui ada dugaan motif asmara yang melatarbelakangi peristiwa tersebut. Diduga kakak sepupu Audrey berkonflik dengan salah satu pelaku yang mana konfliknya berhubungan dengan persoalan asmara.

Kasat Reskrim Polresta Pontianak, Komisaris Polisi Husni Ramli dihubungi untuk memastikan hal itu. Namun Husni tak memberikan respons, termasuk saat ditanyai melalui pesan singkat.

 

Terlepas dari motif asmara yang masih sebatas dugaan dan belum terkonfirmasi, sejumlah pihak menyatakan bahwa motif asmara sangat mungkin menjadi alasan anak atau remaja melakukan aksi perundungan.

Hal itu salah satunya diungkapkan psikolog Caroline Sekarwati. Ia menyebutkan, pertikaian antar remaja bisa berasal dari kisah asmara. Bagi remaja, asmara bisa mendorong seseorang maupun kelompok untuk melakukan tindak kriminal, misalnya kasus yang terjadi pada Audrey.

“Ada pengaruh dengan apa yang mereka lihat dan mereka tonton. Apalagi usia remaja seperti itu terpengaruhi dan bisa membuat kasus bully yang sangat besar yang berimbas tindak kriminal,” jelas dia.

Sebab, sambung dia, keniscayaan dunia digital atau biasa disebut dengan dunia maya itu, sangat mudah terakses ke semua usia. Untuk itu, butuh peran orangtua secara signifikan. Sebab, dengan contoh kasus itu, peran orangtua tidak berfungsi.

“Untuk generasi sekarang adalah generasi kreatif. Harus ada peran orangtua. Kalau tidak diarahkan, bakal mudah terpengaruh,” tambahnya.

Mengacu pada usia pelaku dan korban, berada dikisaran usia 12-16. Artinya, di usia itu anak-anak pada kondisi yang labil. Caroline menjelaskan, lakukan cara pendekatan secara pendampingan emosional, seperti perlunya melakukan program dating.

Program dating itu yang dimaksudkan, misal ayah dengan anak perempuannya, begitu juga sebaliknya, ibu dengan anak laki-lakinya. Apabila tidak didapatkan di keluarga, maka lingkungan luar keluargalah yang bisa menyebabkan anak beringas, kriminil, kacau, sampai perkelahian.

“Sebab, orangtua saat ini kebanyakan cuek terhadap kondisi anaknya,” pungkasnya.

Apalagi jika sudah berposisi sebagai korban seperti Audrey, urai Caroline, peran orangtua sangat-sangat penting dalam mendorong dan menerima anak sebagai korban. Karena sangat sulit melepas trauma yang terbilang besar ini.

Pernyataan senada disampaikan Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait. Menurutnya, berdasarkan temuan Komnas PA selama ini, kasus perundungan dan aksi kekerasan di kalangan anak sering kali disebabkan karena persoalan asmara.

“Karena rebut-rebutan pacar, lalu saling singgung di media sosial, ini yang sering jadi pemicu,” kata Arist (10/04/2019)

Ia menambahkan, di lingkungan sekolah, sering kali para remaja tersebut memiliki geng atau kelompok yang sangat rentan terhadap konflik di kalangan remaja. Situasi tersebut menurutnya diperburuk dengan adanya media sosial yang disalahgunakan oleh anak.

“Ketika mereka bermasalah, ketika mereka berkonflik, atau apapun perasaan yang berhubungan dengan hati mereka, anak biasanya ingin menunjukkan kepada orang lain. Ini hubungannya dengan eksistensi diri mereka. Nah media sosial seolah mempermudah itu semua,” terangnya.

Situasi ini kemudian yang membuat anak-anak biasanya mulai saling sindir atau saling serang di media sosial. Dalam tahap ini perundungan sebenarnya sudah terjadi, meski kekerasan fisik belum dilakukan. Jika perundungan di media sosial dibiarkan, tidak jarang aksi kekerasan fisik kemudian terjadi.

Parahnya lagi, lanjut Arist, ada sejumlah tayangan-tayangan yang tidak edukatif yang dilihat oleh anak-anak. Cerita-cerita dan gaya bersosialisasi remaja di televisi sering kali ditiru oleh anak-anak yang menyaksikannya. Artinya, jika aksi perundungan ataupun konflik antar geng ditayangkan dan disaksikan oleh anak, sangat mungkin hal tersebut akan mereka lakukan dalam kehidupan mereka sehari-hari.

“Dunia anak adalah dunia meniru apa yang dilihat apa yang dirasakan dari sekitarnya. Jadi kalau dia melihat contoh yang tidak baik, dia akan melakukan yang tidak baik, dan itu dianggap hal yang biasa,” ungkap Arist.

 

Cium Kaki Korban

Ia juga menyampaikan bahwa dalam proses hukum atas kasus ini Polresta Pontianak harus menggunakan pendekatan keadilan restoratif dalam proses penyelesaiannya. Pasalnya pelaku masih dalam status usia anak. Ia menegaskan, hal ini diatur dalam ketentuan UU Nomor 11 Tahun 2012  tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), junto UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Ia menerangkan, dengan pendekatan keadilan restoratif tersebut selain meminta pertanggungjawaban hukum para pelaku atas tindakan pidananya, pihak kepolisian Polrestra Pontianak juga bisa menggunakan pendekatan “diversi” terhadap pelaku. Maksudnya, kata dia, pelaku bisa saja diberi sanksi sosial guna memulihkan harkat dan harga diri korban yang telah dilecehkan. Sanksi seperti ini menurutnya juga berdampak efek jera.

“Misalnya dengan cara para pelaku meminta maaf secara terbuka kepada korban di hadapan orangtua dan penegak hukum, misal minta maaf dan diikuti dengan mencium kaki korban,” ucap Arist.

Meski begitu, ia menegaskan bahwa sanksi sosial tidak serta-merta mengesampingkan proses pidana terhadap pelaku. Ia menjelaskan, dalam SPPA, memang ada diatur penganan hukum di luar jalur pengadilan. Namun hal ini menurutnya diterapkan terhadap anak sebagai pelaku kejahatan yang usianya di bawah 12 tahun.

Sementara dalam kasus Audrey, pelakunya berusia di bawah 18 tahun. Karena itu pendekatan yang dipakai adalah keadilan restoratif. Artinya pemidanaan tetap ada, namun tetap dalam perspektif perlindungan anak, dan bisa disertai dengan sanksi sosial. Karena itu ia menyebutkan bahwa pelaku dapat dikenakan sanksi sosial dan sanksi pidana sesuai dengan hukum yang berlaku.

Arist juga menegaskan, selain proses hukum yang harus tetap berjalan, ada hal lain yang tak boleh dilupakan. Yakni proses pemulihan kondisi psikis korban. Pemerintah menurutnya harus berperan aktif menyediakan pendampingan psikologi bagi Audrey.

Ia juga meminta agar masyarakat tidak melakukan bullying terhadap para pelaku. Mengingat saat ini yang banyak terjadi di media sosial, banyak yang melakukan kekerasan verbal terhadap para pelaku. Ia mengingatkan bahwa apa yang dilakukan para pelaku tidak berdiri sendiri.

Menurutnya anak-anak melakukan sesuatu bisa jadi karena peran lingkungan sekitar, termasuk peran keluarga dan lingkungan sekolah. Karena itu masyarakat juga jangan memberikan ruang terhadap aksi bullying dengan menjadi pelaku bullying.

“Jangan sampai kita mengaku anti-bullying tetapi melakukan bullying,” tandas Arist.

Terkait penanganan kasus ini, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri, Brigadir Jenderal Polisi Dedi Prasetyo mengatakan, status kasus tersebut naik dari penyelidikan ke penyidikan. Meski, polisi belum menahan ketiga anak yang diduga sebagai pelaku.

“Polresta Pontianak sudah naikkan status hukum kasus itu ke tahap penyidikan. Proses hukum harus terus berjalan tapi karena para pelaku ini masih di bawah umur, maka perlu ada pendampingan dari KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia),” kata Dedi, di Mabes Polri, Rabu (10/4).

Dijelaskannya, peristiwa penganiayaan tersebut terjadi ketika korban dan pelaku cekcok di media sosial. Kemudian, para pelaku yang tidak terima. Mereka langsung mengajak korban ke suatu tempat dan dianiaya. Lalu, ketiga tersangka memukuli korban.

“Saya mendengar temannya pelaku ini merasa tidak nyaman dengan korban, kemudian mereka berselisih di media sosial, katanya.

Karena itu, Mabes Polri akan memerintahkan Polda Kalimantan Barat dan Polresta Pontianak untuk mengusut tuntas kasus tersebut agar peristiwa serupa tak terulang.

“Kami sudah berikan atensi terkait kasus yang jadi perhatian publik ini. Kami prihatin ada peristiwa seperti ini, apalagi korban dan pelaku masih pelajar,” ucap dia.

 

Tayangan Kekerasan

Polisi telah memastikan bahwa proses hukum akan berjalan. Kasus yang dialami Audrey akan dikawal oleh masyarakat Indonesia. Meski begitu, tidak ada jaminan bahwa tak akan ada lagi Audrey lain yang akan mengalami perbuatan serupa atau bahkan mungkin jauh lebih parah.

Jika tidak ada upaya yang dilakukan secara menyeluruh, sangat mungkin kasus serupa kembali terjadi. Tayangan televisi misalnya, harus ada upaya dan kesadaran bersama untuk membuat agar televisi Indonesia menyajikan acara-acara yang tidak mempertontonkan kekerasan ataupun perundungan.

Peneliti Muda Visi Teliti Saksama dalam tulisannya “Ancaman Kekerasan di Layar Kaca” menyebutkan bahwa pada tahun 1986, Albert Bandura, seorang guru besar psikologi di Stanford University, mengembangkan teori belajar sosial.

Teori yang pertama kali digagas oleh Neal E. Miller dan John Dollard (1941) ini memiliki asumsi bahwa proses belajar khalayak tidak hanya ditempuh melalui pengalaman langsung, namun juga dari peniruan dan peneladanan. Dalam pembelajaran sosial tersebut, ada empat tahapan yang perlu dilalui yaitu perhatian, pengingatan, reproduksi gerak, dan motivasi.

Teori belajar sosial Bandura cukup tercermin dari kemampuan televisi membentuk dan mengubah perilaku audiensnya. Pada tahap perhatian, para khalayak memerhatikan tingkah laku dari individu-individu yang ada di layar kaca. Setelah memberikan perhatian, audiens akan menyimpan nilai tertentu pada individu tersebut dalam sistem ingatannya. Dan akhirnya sikap dan tindakan pemeran berbagai tayangan di layar kaca pun direproduksi dalam bentuk tingkah laku yang sama. Reproduksi ini didukung pula oleh motivasi yang mendorong sang audiens tersebut dalam menjalankannya.

Tayangan-tayangan yang dikategorikan tidak layak tonton, seperti yang bermuatan kekerasan misalnya, tentu saja memberikan dampak buruk bila dikaitkan dengan teori Bandura. Terutama bila penontonnya belum dewasa sehingga belum dapat menentukan yang benar dan salah.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pun telah cukup lama gerah dengan masalah ini. KPAI pernah meminta stasiun televisi untuk menghentikan berbagai tayangan yang mengandung ajaran kekerasan pada anak. Apalagi banyak di antaranya yang memiliki waktu siar pada jam-jam utama sebelum anak-anak tidur.

KPAI juga mengajak pemangku kepentingan industri televisi untuk berkomitmen mengedepankan kepentingan anak dalam tiap tayangan dan menghentikan konten-konten kekerasan.[Tim Valid]

Advertisement
Advertisement